Jumat, 12 Juli 2024

 



Pemberlakuan Qanun Hukum Jinayat (QHJ) di Aceh tidak hanya diberlakukan bagi orang dewasa, namun dapat pula dikenakan kepada anak. Meskpun demikian, ada perlakuan khusus yang telah diatur sedemikian rupa dalam QHJ serta mekanisme penanganannya yang sangat berbeda dengan perlakuan yang terhadap orang dewasa. Pertama sekali yang perlu diperhatikan ketika menangani anak yang berhadapan dengan hukum jinayat adalah usianya. Qanun Jinayat mengatur usia anak dalam Pasa 1 angka 40 QHJ yang menyatakan Anak adalah orang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah. 

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah anak yang berumur dari satu tahun sampai 18 tahun dapat dikenakan dengan hukum jinayat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diperhatikan ketentuan Pasal 67 Ayat 1 QHJ yang menyatakan Apabila anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum menikah melakukan Jarimah, maka terhadap anak tersebut dapat dikenakan ‘Uqubat paling banyak 1/3 (satu per tiga) dari ‘Uqubat yang telah ditentukan bagi orang dewasa dan/atau dikembalikan kepada orang tuanya/walinya atau ditempatkan di tempat yang disediakan oleh Pemerintah Aceh atau Pemerintah Kabupaten/Kota. Berdasarkan ketentuan tersebut mengandung makna yang implisit yang menunjukkan bahwa hanya anak yang berumur antara 12 tahun sampai 18 tahun yang dapat dikenakan dengan ancaman hukuman yang diatur dalam QHJ. Sementara anak yang berumur 12 tahun ke bawah tidak dapat dikenakan, akan tetapi dikembalikan kepada orangtuanya.

QHJ memperlakukan secara khusus terhadap anak yang berhadap dengan kasus jinayat, selain umurnya antara 12 sampai dengan 18 tahun, berkaitan dengan hukuman pun dibedakan dengan ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan kepada orang dewasa. Ketentuan Pasal 67 Ayat 1 sebagaimana yang telah disebutkan di atas yang memberikan pengurangan hukuman menjadi 1/3 (satu per tiga) dari hukuman orang dewasa, dikembalikan kepada orangtua/waliya atau ditempatkan di tempat yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Berdasarkan ketentuan tersebut ternyata adanya perbedaan perlakuan antara orang dewasa yang melakukan jarimah dengan anak yang melakukan jarimah sebagaimana yang telah diatur dalam QHJ. Perbedaan tersebut sebagai bentuk kekhususan pengaturan yang orientasi utamanya adalah untuk melindungi anak.  

Pengaturan yang mengatur pengurangan hukuman 1/3 (satu per tiga) di atas bila dianalisis secara lebih jauh dengan ancaman hukuman hudud kiranya dapat bermasalah. Prinsipnya dalam konteks jarimah yang ancaman 'uqubatnya (hukumannya) hudud seperti minum khamar, zina dan qazhaf tidak dapat dikurangi maupun ditambahkan oleh hakim yang mengadili perkaranya. Meskipun dalam QHJ sebenarnya ada penambahan hukuman ta'zir bagi pelaku yang mengulangi jarimah hudud atau dilakukan dengan anak yang ancamannya bisa ditambahkan oleh hakim. Lalu pertanyaan yang kemudian muncul bisakah untuk ketiga kasus tersebut digunakan khusus untuk anak. Jawabannya tentu lah tidak dapat dikurangi, karena menurut ketentuan Pasal 1 angka 18 QHJ yang menyatakan hudud adalah jenis ‘Uqubat yang bentuk dan besarannya telah ditentukan di dalam Qanun secara tegas. Ketiga kasus tersebut tegas ancaman hukumannya yaitu 40 kali cambuk bagi pelaku khamar, 100 kali cambuk untuk pelaku zina dan 80 kali cambuk bagi pelaku Qazhaf (menuduh orang berzina). Dengan demikian merupakan suatu dilema aturan dalam QHJ berkaitan dengan pengurangan ancaman hukuman bagi pelaku anak dalam konteks hukumannya hudud.

Perlakuan yang berbeda selanjutnya untuk kasus anak yang berhadapan dengan hukum jinayat adalah mekanisme penanganannya yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan lainnya yang dalam hal ini adalah UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Keharusan merujuk kepada peraturan yang lain itu merupakan perintag langsung dari Pasal 66 QHJ yang menyatakan apabila anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun melakukan atau diduga melakukan Jarimah, maka terhadap Anak tersebut dilakukan pemeriksaan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan mengenai peradilan pidana anak. Salah satu pedoman tersebut diatur secara spesifik dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Misalnya, hakim tidak boleh menggunakan toga, anak didampingi oleh Pekerja Sosial, hakim yang memeriksanya adalah hakim tunggal dan sejumlah perbedaan lainnya.


Banda Aceh, 12 Februari 2023

Mansari

 

  


0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages

Blog Archive