Jumat, 12 Juli 2024

 


Umumnya pola penyelesaian perkara yang dipraktikkan oleh masyarakat dapat dikategorikan menjadi dua yaitu litigasi dan non litigasi. Litigasi merupakan sebuah proses penyelesaian perkara yang dialami oleh masyarakat dengan mengedepankan proses secara formal dan prosedural melalui jalur pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berbeda dengan litigasi, proses penyelesaian perkara secara non litigasi merupakan proses penyelesaian perkara di luar jalur pengadilan yang tidak formal dan tidak ada proses yang rigit seperti yang telah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Jadi, ada perbedaan yang signifikan antara litigasi dengan non litigasi. Jika prosedur litigasi lebih kepada pengadilan sesuai dengan tahapan dan mekanisme yang telah ditetapkan oleh peraturan, sedangkan non litigasi merupakan penyelesaian perkara yang tidak mengedepan jalur pengadilan, tapi lebih dengan cara musyawarah, mufakat guna menghasilkan penyelesaian perkara yang berakhir dengan damai.  

Penyelesaian secara litigasi atau jalur pengadilan sangatlah prosedural dan harus diikuti seluruh mekanisme dan tahapan-tahapan yang telah ditetapkan. Konsekuensinya, efisiensi waktu sudah pasti tidak akan terjadi. Bahkan waktu yang dihabiskan sangatlah lama dibandingkan dengan proses non litigasi. Lamanya penyelesaian secara jalur pengadilan karena adanya tahapan yang harus dilalui secara sistematis sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Baik dalam konteks penyelesaian kasus pidana maupun dalam konteks penyelesaian kasus perdata. Kita contohkan saja kasus perdata yang diajukan oleh seseorang ke pengadilan. 

Langkah utama yang harus dilakukan adalah dengan mengajukan gugatan (surat yang berisi tuntutan hak) ke pengadilan sesuai dengan wilayah yurisdiksinya masing-masing. Setelah gugatan diajukan, tidak langsung diputuskan oleh majelis hakim yang telah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan, akan tetapi harus diikuti dengan proses mediasi (musyawarah untuk mencapai perdamaian melalui seorang mediator) terlebih dahulu, karena mediasi merupakan suatu tahapan yang wajib diikuti sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan. Mediasi yang dilakukan pun dapat menghabiskan waktu. Apalagi kalau ada pihak yang tidak berhadir sehingga mediasi tidak bisa dilaksanakan atau ditunda pada pertemuan berikutnya. Mediasi yang dilaksanakan pun tidak langsung mencapai kesepakatan damai, karena dapat dimungkinkan terjadi ketegangan dan tidak adanya pihak yang mengalah sehingga proses mediasi tidak mencapai kata damai. Langkah berikutnya yaitu pembacaan gugatan oleh Penggugat, kemudian Jawaban dari Tergugat, Replik dari Penggugat, Duplik dari Tergugat, Pembuktian Surat dari Penggugat dan Tergugat, Pembuktian melalui saksi dari Penggugat dan Kesimpulan dari Penggugat dan Tergugat. Setelah tahapan yang panjang dan melelahkan itu baru kemudian putusan yang dibacakan oleh hakim melalui putusan yang terbuka untuk umum.

Putusnya di persidangan tingkat pertama tidak lantas para pihak langsung menerima putusan yang diputuskan. Masih ada saja kemungkinan mengajukan banding dan kasasi sebagai upaya hukum bagi pihak-pihak yang tidak menerima putusan majelis hakim di tingkat pertama. Proses banding ke Pengadilan Tinggi juga menghabiskan waktu yang lumanyan lama, begitu pula dengan proses kasasi di tingkat Mahkamah Agung yang juga menyita waktu untuk menunggu putusannya. Setelah selesai diputuskan oleh Mahkamah Agung apa lantas perkara selesai, ternyata tidak demikian langsung selesai. Masih ada lagi upaya hukum luar biasa yang dapat ditempuh oleh para pihak yakni upaya hukum Peninjauan Kembali atau disingkat dengan PK bila di kemudian hari ditemukan adanya novum baru atau alat bukti baru terkait dengan persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat yang bertikai. Oleh karena banyak tahapanya yang diharus ditempuh sehingga pada tahun 2016 Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 agar proses penyelesaian perkara dapat dilakukan secara cepat di tingkat pertama dan berakhir dengan damai di antara para pihak.

Ciri khas utama dari hasil penyelesaian secara litigasi adalah win - lost yakni adanya pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Pihak kalah merasa senang dan bahagia, sebaliknya bagi yang kalah merasa marah dan tentunya memutuskan silaturahmi dan dendam yang berkepanjangan. Berbeda halnya dengan proses penyelesaian secara non litigasi yang memiliki karakteristik penyelesaian secara win - win solution yang artinya tidak adanya pihak yang menang dan tidak ada pula yang kalah. Sama-sama berada pada posisi yang menang. Rasa dendam tidak akan terjadi karena para pihak sudah saling menerima apa yang telah disepakati secara bersama-sama. 

Dari sisi biaya yang dikeluarkan juga sangat relatif minim dengan menyelesaikan kasus secara litigasi, karena tidak perlu membayar biaya perkara. Sebaliknya dalam kasus yang diselesaikan secara litigasi perlu biaya yang harus dikeluarkan. Bisa saja untuk bayar panjar biaya perkara, menghadiri ke persidangan. Untuk itu, dapat dipahami bahwa penyelesaian perkara secara litigasi banyak keuntungannya dibandingkan dengan proses penyelesaian secara non litigasi. Namun pilihan menggunakan kedua pola tersebut sangatlah tergantung para pihak yang bersengketa dan tentunya dengan sejumlah konsekuensi yang akan dialami.

Umumnya pola penyelesaian perkara yang dilakukan secara non litigasi itu dikenal juga dengan proses penyelesaian secara adat. Di kalangan masyarakat Aceh sering penyelesaian perkara dilakukan dengan cara bermusyarah yang sering dilaksanakan meunasah (mushalla) atau dapat juga dibalai. Proses tersebut digunakan dengan melibatkan kedua belah pihak agar mencapai kesebuah kesepakatan damai di antara para pihak.


Banda Aceh, 14 Februari 2023

Mansari



0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages

Blog Archive