Rabu, 21 Maret 2012


BAB 1
Pendahuluan

Setiap muslim diwajibkan oleh Allah untuk melaksanakan perintah Allah yang sudah diperintahkan oleh Allah dalam dalam al-qur’an dan perintah yang terdapat dalam sunnah nabi. Semua yang sudah diperintahkan oleh Allah dalam al-qur’an yang dinyatakan dengan kata-kata amar (kata-kata perintah) semuanya wajib dilaksanakan. Seperti yang terdapat Dalam kaedah fiqh :
ا لصل فى ا لا مر ى لالوجو ب  ولا تد لّ على غىر ه ا لاّ بقر ينة
“Pada dasarnya amar itu menunjukkan arti wajib, dan tidak menunjukkan kepada arti selain wajib kecuali terdapat qorinahnya (penyerta)”.
Menurut ijma’ Jumhur ulama bahwa hukum asal amar menunjukkan wajib[1]. Namun, apabila qarinah (penyerta) yang mennunjukkan bahwa amar itu untuk arti selain wajib, maka makna amar tersebut disesuaikan dengan konteksnya, misalnya : amar bermakna kebolehan (ibahah), seperti seruan makan dan minum (al-baqarah : 60), amar bermakna sunnat, misalnya seruan menulis atau membuat perjanjian dengan orang lain jika dipandang baik (an-nuur : 33).
Allah tidak menyusahkan hambanya dalam memerintahkan untuk melukukan sesesuatu kepada hambanya, namun Allah memudahkan hambanya dalam melaksanakan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah. Salah satu dalil yang menunjukkan bahwa Allah tidak menyusahkan nambanya dalam melaksanakan perintah syar’I, yaitu :
߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#
Artinya :
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan”.
Allah memudahkan bagi hambanya untuk melakukan sesuatu dan memberikan keringanan dalam melaksanakan perintah syar’I. misalnya Allah SWT mewajibkan puasa bagi umat islam pada bulan ramadhan, namun apabila seseorang musafir, maka bagi orang tersebut diperbolehkan untuk berbuka dan mengkadha’ puasanya di hari-hari yang akan datang. Oleh karena itu,kemudahan-kemudahan tersebut dalam ilmu ushul fiqh disebut sebagai rukhsah atau keringan yang diberikan oleh Allah untuk hambanya. Bahkan dalam kondisi-kondisi yang sangat mendesak Allah membolehkan makan yang haram, dengan tujuan untuk menyelamatkan nyawanya agar tidak menyebabkan kematian apabila tidak melakukan yang haram tersebut. Dalam kondisi tertentu Allah membolehkan makan yang haram dalam ilmu ushul fiqh disebut dengan adh-dharuriyah (dalam keadaan darurat).
            Syari’at islam diturunkan oleh Allah tidak menyulitkan hambanya, akan tetapi syari’at islam mempermudah umat islam dalam melaksanakan perintah Allah yang terdapat dalam al-qur’an dan as-sunnah, yang dalam ushul fiqh disebut hajjiah. Hajjiah merupakan keinginan yang diinginkan oleh umat islam dalam melaksanakan hukum islam untuk menghilangkan kesulitan, dan apabila ditinggalkan tidak masalah. Misalnya Allah SWT mensyari’atkan puasa bagi hambanya pada bulan ramadhan, sementara bagi orang musafir diperbolehkan untuk mengqadha’ puasa dibulan yang lain, dan apabila melaksanakan puasa dalam bulan ramadhan juga tidak masalah, meskipun dalam keadaan musafir.
            Selain adh-dharuriyah dan hajjiyah dalam islam juga dikenal tahsiniyah. Tahsiniyah merupakan tindakan yang mengatur tingkah laku umat islam untuk kemaslahatan umat islam. meskipun tahsiniyah tidak ada tidak akan menimbulkan kekacauan, tetapi tahsiniyah diperlukan agar terciptanya kehidupan yang baik. Kebutuhan tahsiniyah disebut juga dengan kebutuhan tertsier, karena boleh ada dan boleh tidak ada.

Rumusan masalah
Dari uraian diatas, penulis dapat merumuskan persoalan akan akan penulis bahas dalam makalah ini agar tidak luas dan membingungkan. Adapun yang ingin penulis bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
  1. Apa tujuan disyari’atkan adh-dharuriyah, rukhsah, tahsiniyah dan hajiah ?
  2. Apa yang dimaksud dengan adh-dharuriyah, rukhsah, tahsiniyah dan hajiah ?











BAB ll
PEMBAHASAN

Hubungan antara rukhsah, dharuriyah, hajiyah, dan tahsiniyah
Dalam ilmu ushul fiqh dikenal ada yang namanya, Rukhsah, dharuriyah, hajiyah dan tahsiniyah. Keempat istilah tersebut sangat mempengaruhi tercapainya tujuan pengsyari’atan hukum islam, dan keempat istilah tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Meskipun aspek yang sangat esensial adalah dharuriyah, tapi untuk kesempurnaannya harus dilengkapi dengan tahsiniyah, hajiyah dan rukhsah. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara rukhsah, tahsiniyah, hajiyah dan dharuriyah akan dijelaskan sebagai berikut :
1.      Rukhsah
Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia rukhsah diartikan sebagai pembebasan dari kewajiban berpuasa dan sebagainya[2]. Secara etimologi rukhsah berarti kemudahan, kelapangan,dan kemurahan. Secara istilah rukhsah adalah[3] :
ما ا ستثني من ا صل كلّي لعز ر شا قّ
Artinya :
Sesuatu hukum yang diatur syara’ karena ada satu keudzuran yang berat dan menyukarkan.
Dalam bukunya yang berjudul kaidah-kaidah hukum islam dan ilmu ushul fiqih Abdul wahab khallaf memberikan definisi rukhsah adalah hukum keringanan yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT atas orang mukallaf dalam kondisi-kondisi tertentu yang menghendaki keringanan atau sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah SWT karena uzur kesulitan dalam kondisi-kondisi tertentu[4].
Adapun Al-Baidawi memberikan definisi rukhsah sebagai hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya uzur[5]. Dalam islam diberikan keringanan oleh Allah untuk melaksanakan yang tidak boleh dikerjakan dalam kondisi biasa, namun dalam kondisi terpaksa diperbolehkan melaksanakan yang dilarang tersebut. Misalnya :
#sŒÎ)ur ÷Läêö/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçŽÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿtƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4 ¨bÎ) tûï͍Ïÿ»s3ø9$# (#qçR%x. ö/ä3s9 #xrßtã $YZÎ7B ÇÊÉÊÈ  
Artinya :
Dan apabila kamu musafir di muka bumi, maka kamu tidaklah berdosa "mengqasarkan" (memendekkan) sembahyang jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh Yang amat nyata bagi kamu.
( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ  
Artinya :
“maka sesiapa terpaksa (memakannya kerana darurat) sedang ia tidak mengingininya dan tidak pula melampaui batas (pada kadar benda Yang dimakan itu), maka tidaklah ia berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani”.
Menururt asy-syatibi[6] hukum menjalankan rukhsah adalah boleh, artinya kita boleh saja menjalankan rukhsah (keringanan), dan boleh juga meninggalkannya dan tidak berdosa bagi orang yang meninggalkan rukhsah.
Rukhsah yang disebabkan oleh udzur hanya ada pada empat hukum taklif, yaitu ijab, nadb, karahah, dan ibahah[7]. Misalnya :
1.      Rukhsah terhadap wajib, yaitu memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan dharurat. Hukum ini wajib menurut jumhur ulama.
2.      Rukhsah bersifat mandub, seperti mengkasar shalat bagi musafir. Menurut jumhur ulama ushul fiqh, mengqashar shalat dalam perjalanan hukumnya mandub, tetapi menurut ulama hanafiah mengkashar shalat bagi musafir tidak termasuk mandub, tetapi ‘azimah.
3.      Rukhsah bersifat mubah bagi dokter yang melihat aurat orang lain ketika berlangsungnya pengobatan. Melihat aurat orang lain haram hukumnya, namun untuk menolong orang tersebut, maka dibolehkan untuk melihatnya.
4.      Rukhsah bersifat makruh, apabila seseorang terpaksa mengucapkan kata-kata kafir, namun hatinya tetap beriman. Mengaku kafir adalah haram hukumnya karena dapat mengakibatkan ia murtad, sementara ia dipaksa maka hukumnya jadi makruh.
Dasar hukum rukhsah atau keringanan terdapat dalam surat al-baqarah ayat 185[8] :
߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#
Artinya :
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan”.
Dalam kaidah fiqh disebutkan bahwa rukhsah adalah “hukum yang pada praktiknya menyulitkan mukallaf, dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga beban tersebut berada dibawah kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.”

2.      Adh-dharurat
Adh-dharurat adalah jama’ dari kata dharurah, yang secara bahasa diartikan sebagai keadaan yang sangat sulit, dan merupakan isim masdar dari kata al-idhthirar. Secara istilah adh-dharurat diartikan sebagai keadaan yang memaksa untuk melakukan apa yang dilarang oleh syari’at islam[9]. Apabila tidak dilakukan akan mengakibatkan kemudharatan bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu para ulama membolehkan melakukan hal semacam itu dan dibenarkan oleh syara’. Para ulama jumhur mengartikan adh-dharurat adalah keadaan seseorang yang sampai pada batas apabila dia tidak melakukan apa yang dilarang akan menyebabkan dirinya mudharat[10].

Hikmah diperbolehkan yang diharamkan pada saat dharurat
Ada beberapa hikmah yang terdapat terhadap apa yang diharamkan oleh Allah, namun dalam kondisi tertentu dibolehkan seseorang untuk melakukan yang diharamkan oleh syara’[11]. Adapun hikmah dibalik itu adalah demi menjaga keselamatan nyawa orang yang bersangkutan. Seperti contoh, meminum arak, makan bangkai, darah, dan daging babi, sebenarnya mengkonsumsi barang tersebut adalah haram hukumnya (al-baqarah, ayat 173), namun kalau kondisinya sudah mendesak dan tidak ada makanan lain yang akan dikonsumsinya, maka hal tersebut dibolehkan. Sebab kalau dalam kondisi tersebut Allah tetap mengharamkannya, maka akan membawa dampak yang membahyakan baginya. Oleh karena itu Allah membolehkan memakan benda yang diharamkan dalam kondisi tersebut, dan tidak berdosa untuk mengkonsumsinya.
Selain itu, hikmah masalah ini juga bisa untuk kepentingan orang lain, seperti kasus kejahatan terhadap harta benda. Seseorang tentu mudharat apabila hartanya diambil oleh orang lain dengan cara yang tidak wajar, namun hal ini dibolehkan bagi seseorang yang merampas harta orang lain demi untuk mengatasi laparnya, dan tidak ada pilihan lain bagi orang tersebut kecuali merampas harta orang lain.
Kaidah-kaidah fiqh yang berkenan dengan kemudharatan
Ada bebrapa kaidah dan dalil yang mengatakan bahwa tidak semua kemudharatan dapat membolehkan yang haram. Adapun dalil-dalil dan kaidah-kaidahnya antara lain sebagai berikut :
ا لضر و ا ت تبيحو ا لمحضو ر ا ت
“Kemadharatan-kemadharatan itu dapat memperbolehkan keharaman[12]
Dasar nash kaidah diatas adalah firman Allah SWT :
 ôs%ur Ÿ@¢Ásù Nä3s9 $¨B tP§ym öNä3øn=tæ žwÎ) $tB óOè?ö̍äÜôÊ$# Ïmøs9Î) 3
“padahal Allah telah menerangkan satu persatu kepada kamu apa Yang diharamkanNya atas kamu, kecuali apa Yang kamu terpaksa memakannya” (al-an’am 119).
( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ  

4 komentar:

  1. makasih ya gan atas bhan makalahnya...
    makalah ini cukup membantu saya dalam memenuhi tugas akhir kuliah

    BalasHapus
  2. iya saama2,
    terima kasih udah mampir mas

    BalasHapus
  3. Lebih mantap lagi kalau makalahnya diperbaiki kembali dan disempurnakan sebisa mungkin

    BalasHapus

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages