Jumat, 12 Juli 2024

 


Hukuman cambuk merupakan salah satu bentuk hukuman atau dalam istilah yang digunakan dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat adalah 'uqubat. Pasal 1 Angka 17 QHJ menyatakan bahwa  ‘Uqubat adalah hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku Jarimah. Jadi, dapat dipahami bahwa 'uqubat adalah jenis hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap orang-orang yang telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan perbuatan yang dilarang oleh QHJ. Orang yang berwenang menjatuhkan hukuman cambuk tersebut adalah hakim yang diberikan kewenangan untuk mengadili perkara jinayat yang dalam hal ini adalah hakim Mahkamah Syar'iyah. 

Hukuman cambuk sebagai salah satu hukuman yang diberlakukan di Aceh merupakan sesuatu yang unik karena secara nasional hanya diatur dan diterapkan di Aceh. Secara nasional sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tidak mengatur hukuman cambuk sebagai salah satu hukuman yang dapat ditetapkan dalam UU maupun dalam Peraturan Daerah lainnya. Pemberlakuan hukuman cambuk tersebut merupakan sebuah konsekuensi dari penerapan syari'at Islam di Aceh. 

Meskipun hukuman cambuk tidak diatur dalam sistem hukum nasional, tapi keberadaan hukuman cambuk mendapatkan legitimasi dari UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Penegasannya dinyatakan dalam Pasal 241 Ayat 4 UU Pemerintahan Aceh yang merumuskan bahwa Qanun mengenai jinayah (hukum pidana) dikecualikan dari ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Sedangkan Ayat 1 dari Pasal 241 UU Pemerintahan Aceh menyatakan Qanun dapat memuat ketentuan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian, kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundangundangan. Kemudian di Ayat (2) merumuskan bahwa Qanun dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) dan terkahir Pasal 241 Ayat 3 menyatakan bahwa Qanun dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dipahami beberapa hal yaitu: Pertama, ancaman hukuman dalam qanun yang diatur di Aceh dibenarkan mencantumkan sanksi di dalamnya. Hukuman yang dapat ditentukan paling lama 6 bulan kurungan dan atau dengan paling banyak 50 Juta. Ketentuan tersebut berlaku untuk semua Qanun. Kedua, khusus untuk aturan yang mengatur tentang Jinayat ancaman hukumannya dapat diatur dengan hukuman yang berbeda atau dikecualikan dari ancaman hukuman 6 bulan penjara maupun 50 Juta. Inilah sebenarnya yang memberikan mandat kepada pemerintah Aceh untuk menyusun hukuman tersendiri khusus di bidang jinayat. Oleh karenanya, adanya aturan mengenai cambuk merupakan suatu hal yang dapat dibenarkan secara hukum, karena rujukan perumusan Qanun di Aceh selain melihat tatanan hukum yang berlaku secara nasional sebagaimana yang diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, juga melihat ketentuan yang diatur dalam UU Pemerintah Aceh. Jadi, hukuman cambuk yang diatur di Aceh mendapatkan legitimasi dari UU sehingga pemberlakuannya dapat diberlakukan bagi masyarakat di Aceh meskipun jenis hukumannya berbeda dengan sanksi yang diatur dalam sistem hukum nasional yang berlaku di Indonesia.

Hukuman cambuk khusus untuk kasus Khamar, zina dan Qadzaf diatur sebagai bentuk hukuman hudud yang hukumannya tidak dapat dilebihkan maupun dikurangi, yaitu 40 kali bagi pelaku peminum khamar, 100 kali untuk pelaku zina dan 80 kali untuk pelaku qadzaf (menuduh orang berzina tanpa bukti). Sedangkan dalam ketentuan zina yang dilakukan terhadap anak atau orang yang memiliki mahram selain ada hukuman hudud juga bisa ditambahkan dengan hukuman ta'zir. Hukuman ta'zir dalam Qanun Hukum Jinayat dibedakan menjadi beberapa kategori yaitu hukuman ta'zir utama dan hukuman ta'zir tambahan. Hukuman ta'zir utaman terdiri dari cambuk; denda; penjara; dan restitusi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa hukuman ('uqubat) cambuk dapat diklasifikasi menjadi hukuman ta'zir, meskipun dalam kasus yang ancaman hukumannya hudud seperti khamar, zina dan qazhaf itu sebagai hudud yang ancaman hukumannya tidak dapat dikurangi atau ditambahkan oleh hakim yang memutuskan perkaranya. 

Untuk ta'zir tambahan, Qanun Jinayat mengatur beberapa kategori yaitu: pembinaan oleh negara; Restitusi oleh orang tua/wali; pengembalian kepada orang tua/wali; pemutusan perkawinan; pencabutan izin dan pencabutan hak; perampasan barang-barang tertentu; dan kerja sosial.


Banda Aceh, 15 Februari 2023

Mansari


0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages

Blog Archive