Jumat, 12 Juli 2024

 


 

Persoalan harta bersama selalu menjadi kajian menarik di berbagai kalangan, terutama di kalangan akademisi yang memiliki konsentrasi di bidang hukum Islam. Apalagi persoalan harta bersama secara konsepsi fiqh tidak diatur di dalamnya. Pengaturan tentang harta bersama barulah diatur secara spesifik dalam UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Begitu pula dengan masyarakat yang kerapkali memiliki relevansi dengan topik harta bersama dengan alasan pasca terjadinya perceraian seringkali terjadi keributan dan perselisihan di antara pasangan suami isteri untuk memperebutkan harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.

Pemahaman tentang harta bersama haruslah mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan. Hal ini bertujuan supaya tidak terjadi konflik yang berkepanjangan antara pasangan suami isteri setelah bercerai yang masing-masing menuntut harta bersama. Para pihak yang terlibat haruslah memahami dengan betul ketentuan mengenai bagian yang diperoleh oleh masing-masing pihak pasca terjadinya perceraian. Secara regulasi yang berlaku di Indonesia, ketentuan tentang harta bersama diatur dalam Pasal beberapa Pasal dalam UU Perkawinan dan beberapa Pasal dalam KHI. UU Perkawinan mengaturnya dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37. Sedangkan dalam KHI diatur dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97.

Menurut Pasal 35 UU Perkawinan Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Kemudian Pasal 35 Ayat 2 menyatakan bahwa Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Berdasarkan Pasal 35 Ayat 1 dan Pasal 35 Ayat 2 tersebut dapat dipahami bahwa hukum positif yang berlaku di Indonesia membedakan dua kategori harta dari suami maupun isteri yakni harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama diperoleh pasca perkawinan di antara pasangan suami isteri tersebut tanpa mempersoalkan atas dasar nama siapa terdaftar dari harta tersebut. Sementara harta bawaan merupakan harta yang memang sudah diperoleh sebelum mereka menikah, baik diperoleh dengan cara membeli sendiri maupun diperoleh melalui hadiah, warisan maupun hibah. Harta bawaan menjadi milik masing-masing sepanjang tidak diperjanjikan lain oleh pasangan tersebut. 

Selain adanya perbedaan dari harta bersama dan harta bawaan dari sisi waktu perolehan dan cara perolehannya, perbedaan berikutnya dapat dilihat pada aspek penggunaannya. Harta bersama dapat digunakan secara bersama-sama dan salah satu pihak tidak dibenarkan menggunakan harta bersama tanpa adanya persetujuan dari pihak lain. Penggunaan secara sepihak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan bahkan dapat dituntut dengan tindak pidana penggelapan jika salah satu pihak menggunakan harta bersama tersebut, Sementara harta bawaan dapat dipergunakan secara langsung oleh para pihak tanpa memperoleh persetujuan dari salah satu pihak, karena harta bawaan menjadi sepenuhnya harta miliknya. Oleh karenanya penggunaan terhadap harta tersebut tanpa perlu persetujuan dari pasangannya. 

Pasal 36 Ayat 1 UU Perkawinan menyatakan bahwa Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Kemudian Pasal 36 Ayat 2 menyatakan bahwa Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa suami dapat bertindak terhadap harta bawaannya, begitu pula dengan isteri dapat bertindak sendiri tanpa memerlukan persetujuan dari suaminya. Sedangkan untuk penggunaan harta bersama harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari pasangannya masing-masing bila tidak ingin menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.

UU Perkawinan tidak mengatur secara detail mengenai harta bersama. Berbeda dengan KHI yang secara signifikan mengatur tentang harta bersama ini. Bahkan porsi bagian masing-masing dari harta bersama pun diatur secara detail. Hal ini dapat diperhatikan dari ketentuan Pasal 97 KHI menentukan bahwa Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Begitu pula dengan ketentuan Pasal 96 Ayat 1 yang menyatakan bahwa Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Merujuk pada kedua ketentuan di atas dapat dipahami bahwa KHI membagikan harta bersama dengan bagian 1/2 (setengah) bagi isteri dan 1/2 (setengah) bagi suami baik karena cerai hidup maupun cerai mati. 

Dalam perkembangannya di dunia peradilan, Pembagian harta bersama sudah tidak terlalu kaku lagi dalam pembagiannya. Ada sebagian Pengadilan yang sudah membagi dengan porsi yang tidak seimbang antara suami dan isteri. Bahkan ada yang pembagiannya lebih banyak diberikan kepada isteri dengan pertimbangan kontribusi isteri lebih banyak dari suami dan ada juga pertimbangan suami tidak pernah memberikan nafkah selama masih adanya ikatan perkawinan dan cenderung menghabiskan harta bersama yang telah diperoleh oleh pasangan suami isteri tersebut. Bahkan pembagian yang tidak berimbang tersebut sudah menjadi yurisprudensi Mahkamah Agung.  

Banda Aceh, 12 Februari 2023

Mansari


0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages

Blog Archive