BAB SATU
PENDAHULUAN
Aristoteles
pernah mengatakan bahwa manusia adalah makhluk social (zoon politicon)
yang ingin selalu hidup berdampingan dengan manusia lainnya. Dalam pergaulannya
sehari-hari antar individu akan berhadapan dengan konflik akibat
kepentingan-kepentingan antar individu tidak terealisasikan dengan baik.
Konsekuensi dari tidak terpenuhinya hak dan kewajiban akan menimbulkan sengketa
antar sesama yang membutuhkan penyelesaian melalui lembaga formal yang disebut
dengan pengadilan atau sebuah lembaga yang diberikan otoritas untuk
menyelesaikan dan mengakhiri perkara bagi para pencari keadilan.
Hakim
sebagai orang yang menerima dan mengadili perkara di Pengadilan memiliki peran
penting dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Kepada hakimlah para pencari
keadilan mencari agar hak-haknya dapat dikembalikan sebagaimana mestinya. Hal
ini didasarkan bahwa Negara Indonesia sebagai Negara hukum (rechtstaat)
yang harus menempatkan supremasi hukum di atas segala-galanya. Oleh karena itu,
sangat beralasan bagi para pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan.
Untuk
merealisasikan nilai-nilai keadilan kepada masyarakat, tentunya hakim tidak
hanya berpedoman pada hukum-hukum tertulis semata atau hakim tidak hanya
menganut paham positivism hukum yang menghendaki agar setiap putusan hakim
harus memutuskan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perundang-undangan.
Dalam pandangan tersebut menghendaki agar Hakim tidak memutuskan perkara di
luar seperti yang dirumuskan dalam undang-undang. Di samping itu, paham
tersebut telah menempatkan hakim sebagai terompet undang-undang yang tidak
boleh memutuskan melebihi seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
Berpegang
pada paham positivism, tidak akan mencapai nilai-nilai keadilan yang diiginkan
oleh masyarakat. Karena hakim yang menerima, memeriksa dan mengadili perkara di
pengadilan berhadapa langsung dengan masyarakat, sekaligus mengetahui secara
pasti terhadap peristiwa-peristiwa konkrit berdasarkan pemeriksaan di
persidangan. Sedangkan undang-undang masih bersifat abstrak sehingga bila
diterapkan langsung kepada kasus seperti yang dikehendaki oleh undang-undang
akan mustahil didapatkannya keadilan oleh masyarakat. Oleh karenanya, dalam
teori-teori hukum, selain adanya teori positivism yang menghendaki agar hakim
memutuskan seperti yang telah diatur dalam undang-undang, terdapat pula teori
realism hukum yang menghendaki agar setiap putusan itu didasarkan pada
kenyataan empiris (real). Karena hukum itu bersifat dinamis yang akan mengikuti
perubahan hukum dan masyarakat. Untuk itu, penulisan ini bertujuan untuk menjawab
pertanyaan apa substansi atau inti dari
teori realism hukum dan apa manfaatnya bagi para pencari keadilan.
BAB DUA
PEMBAHASAN
1.
Teori Realisme Hukum
Teori
realisme hukum merupakan teori yang lahir dari teori empirisme yang oleh David
Hume dipadukan menjadi pengetahuan yang pada intinya mempunyai pandangan bahwa
hukum itu didapatkan pada kenyataan empiris (real). Empirisme menolak
pengetahuan yang hanya mengandalkan penalaran logis ala rasionalisme abad 18.
Ide-ide rasional menurut empirisme bukanlah segala-galanya. Ia tidak bisa diandalkan
sebagai sumber tunggal. Ide-ide itu perlu dipastikan kebenarannya dalam dunia
empiris. Dari situlah kebenaran sejati dapat diraih.[1]
Realisme hukum adalah suatu aliran pemikiran
yang dimulai di Amerika Serikat. Teori ini dipelopori oleh tokoh-tokoh terkenal
dan terbaik dari kalangan realism seperti : John Chipman Gray, Oliver Wendel
Holmes, Jerome Frank, Dan Karl Llewellyn. Realisme berarti berhubungan dengan
dunia nyata, dunia sebagaimana ia nyatakan berlangsung. Realism hukum berarti
suatu studi tentang hukum sebagai sesuatu yang benar-benar nyata dilaksanakan,
ketimbang sekedar hukum sebagai sederetan aturan yang hanya termuat dalam
perundang-undangan, tetapi tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, sebagian
pakar memandang bahwa pendekatan realis merupakan bagian penting dari
pendekatan sosiologi terhadap hukum.[2]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa substansi dari teori realisme
adalah hukum itu didasarkan pada kenyataan empiris bukan didasarkan pada
peraturan perundang-undangan. Hal ini mengindikasikan hukum itu tidak mesti
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam bentuk tertulis. Akan tetapi menurut
teori ini, hukum itu apa yang sebenarnya terjadi dalam praktek empiris.
2.
Macam-Macam Realisme Hukum
Sebagaimana
yang telah dikemukakan di atas bahwa kajian dari teori Realisme hukum yaitu
mengkaji hukum dalam konteks realitas,
maka tidak terlepas kajiannya dengan praktek hakim di pengadilan sebagai
penegak hukum (law enforcement) dan prilaku manusia dalam kehidupan
empiris. Oleh karena itu, realism hukum itu dibagi menjadi dua kelompok, yakni
Realisme hukum Amerika yang menitikberatkan pada pengalaman-pengalaman praktis
hakim dalam mengadili perkara, dan Realisme hukum Skandinavia yang lebih
menekankan pada prilaku manusia sebagai suatu kenyataan empiris. Untuk lebih
jelasnya, kedua golongan tersebut akan digambarkan dalam uraian berikut ini:
a.
Realisme hukum Amerika
Aliran realisme hukum yang berkembang di Amerika memilki
teman sehaluan yang sama-sama menggunakan gerakan “realisme” adalah Realisme di
Skandinavia. Jika diamati beberapa ciri khas dari aliran realis
Skandinavia, aliran realisme tersebut mempunyai pandangan yang lebih
empirikal dari realisme hukum di bandingkan realism di amerika serikat.
Realisme
hukum Amerika menempatkan empirisme dalam sentuhan pragmatisme atau sikap hidup
yang menekankan aspek manfaat dan kegunaan berdasarkan pengalaman. Kehidupan
sehari-hari adalah dunia pengalaman. Dunia pengalaman tidak bisa dipotret lewat
skema ideal-ideal yang spekulatif. Ia hanya bisa ditangkap keutuhannya lewat
pengalaman. Itulah sikap realistis untuk memahami realita.[3]
Cirri utama dari realism Amerika didasarkan pada manfaat praktis (pragmanisme).
Pendekatan pragmatisme tidak percaya pada bekerjanya hukum menurut
ketentuan-ketentuan hukum di atas kertas. Hukum bekerja mengikuti
peristiwa-peristiwa konkrit.[4]
Sumber
hukum utama aliran ini adalah putusan hakim. Seperti yang diungkapkan oleh
Chipman Gray “all the law is judge made law”, semua yang dimaksudkan
dengan hukum adalah putusan hakim. Hakim lebih sebagai penemu hukum daripada
pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundang-undangan.[5]
b.
Realisme Hukum Skandinavia
Aliran
ini menempatkan empirisme dalam sentuhan psikologi. Aliran ini berkembang di
Uppsala, Swedia pada awal abad 20. Konsep penting dari realism hukum
Skandinavia adalah mencari kebenaran suatu pengertian dalam situasi tertentu
dengan menggunakan psikologi. Tidak seperti realisme hukum Amerika (yang
memberi perhatian pada praktek hukum dari para pelaksana hukum), realisme hukum
Skandinavia justrru menaruh perhatian pada prilaku manusia ketika berada dalam
“control” hukum. Dengan memanfaatkan psikologi, para eksponen aliran ini
mengkaji prilaku manusia (terhadap hukum) untuk menemukan arti hukum yang sebenarnya.
Ekponen penganut realism hukum realism hukum
Skandinavia di antaranya, Axel Hegerstrom, Olivecrona, Lundstet, dan Ross. Para
penganut ini secara tegas menolak metafisika hukum, dengan membela nilai-nilai
yang dapat diverifikasi secara ilmiah atas gejala hukum yang faktual. Di sisi
lain aliran ini juga menolak ajaran Positivisme
Hukum dari John
Austin, karena menurutnya; John Austin membiarkan begitu saja tanpa penjelasan
terhadap berbagai karakteristik yang hakiki dari hukum. Tegasnya, aliran
realisme Skandinavia memandang bahwa hukum itu berfungsi dalam masyarakat,
lebih dari hanya sekedar rasa takut (fear) kepada perintah atasan atau takut
terhadap sanksi dari pada penguasa. Padahal yang penting ditemukan adalah,
masyarakat mematuhi hukum adalah suatu tindakan yang baik dan benar.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa substansi penting dari
realisme hukum Skandinavia adalah lebih menekankan aspek psikologi hukum dalam
kenyataan empiris kehidupan manusia. Hukum memiliki relevansi erat dengan
perilaku masyarakat dalam kehidupan. Perbedaan
dari realisme Amerika dibanding dengan realisme Skandinavia yakni
“menitikberatkan” kepada “Perilaku-Perilaku Hakim”. Sementara aliran realisme
Amerika melakukan penyelidikan terhadap hukum yang tumbuh dari perhatian
hak-hak dan kewajiban subjek hukum atau dengan kata lain lebih banyak
memfokuskan diri pada “gejala hukum” di masyarakat.
3.
Hukum Itu Perilaku Hakim
Perlu
dikemukakan sekali lagi bahwa berbicara teori realisme hukum tidak pernah luput
tokoh yang mengembangkannya yakni hakim Oliver Wendel Holmes (1841-1935) dam
Jerome Frank (1889-1959), serta ahli ilmu social Karl Llewellyn (1893-1957).[6] Oliver
Wendel Holmes sebagai seorang hakim mengemukakan sebuah teori yang disebut
dengan teori “hukum itu perilaku hakim”.
Dalam
teorinya, holmes menjelaskan aturan hukum aturan hukum bukanlah poros sebuah
keputusan yang berbobot. Aturan tidak bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan
yang kompleks. Lagi pula kebenaran riil bukan terletak dalam undang-undang,
tapi pada kenyataan hidup. Inilah titik tolak teori tentang kebebasan hakim
yang diusung oleh Oliver Holmes dan Jerome Franks (eksponen realisme hukum
Amerika). Hukum yang termuat dalam aturan, hanya suatu generalisasi mengenai
dunia ideal. Tapi menurut Holmes, seorang pelaksana hukum (hakim) sesungguhnya
menghadapi gejala-gejala hidup secara realistis.
Teori
para pemikir realism bisa juga digolongkan sebagai salah satu versi teori di
bidang penerapan hukum. Karena ketika hukum diterapkan, hakim di hadapapkan
pada wilayah das sein, hukum tidak lagi berdiri dalam singgasana das
sollen. Artinya berdasarkan kasuistik hakim akan menerapkan aturan-aturan
hukum demi terwujudnya keadilan sebagaimana tujuan hukum itu sendiri yakni
mewujudkan keadilan bagi para pencari keadilan. Menurut Geny sebagai penganut
teori etis, tujuan hukum adalah untuk merealisasikan keadilan bagi masyarakat[7].
Sedangkan Jeremy Bentham dalam teorinya yang sangat popular yakni Teori Utilities
(endaemonistis) menerangkan bahwa tujuan hukum ingin menjamin
kebahagiaan yang terbesar bagi mausia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the
greatest good of the greatest number). Pada hakekatnya menurut teori initujuan
hokum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang
terbesar jumlahnya bagi orang.[8]
Oleh
karena itu, dalam melaksanakan tugas yudikatif power di Pengadilan,
hakim sering menggunakan pendekatan interpretion dalam menggali
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Interpretation adalah usaha untuk menggali, menemukan dan memahami nilai-nilai
dan norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, untuk dijadikan
sebagai bahan (dasar) pertimbangan dalam menyusun hukum dan menetapkan suatu
keputusan dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang timbul dalam masyarakat,
sehingga terwujud tujuan hukum itu sendiri, yaitu keadilan. Bila melakukan
suatu pendekatan dalam mengamati fenomena social dalam masyarakat, yang
kemudian hasil pengamatan itu digunakan untuk memecahkan suatu permasalahan
(dalam hal ini adalah permasalahan hukum meliputi penggalian, penyusunan,
pemeliharaan dan penegakan hukum, maka dapat disebut tercapai tujuan
interpretasi.[9]
Pendekatan interpretasi di dunia pengadilan telah menjadi bagian
dari kebiasaan yang tidak terpisahkan di dunia pengadilan. Karena sifat dari
hukum itu selalu berubah-rubah (dinamis). Roscoe Pound mengemukakan dalam
bukunya yang berjudul interpretation of legal history, bahwa law must
be stable and yet it cannot stand still. Pound memperlihatkan usahanya
untuk mengungkapkan mengapa hukum itu selalu “dinamis” dengan menelusuri
nilai-nilai dan norma-norma yang ada dan berkembang dalam masyarakat yang
selalu berubah-rubah sesuai perkembangan pemikiran masyarakat pada setiap waktu
dan tempat. Kedinamisan hukum yang demikian, membuat pound berasumsi bahwa
hukum itu relative. Yang dimaksudkan relative disini adalah berubah sesuai
dengan waktu dan tempat yang sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Namun
hukum memiliki sifat universal karena hanya ada satu ide dari hukum, yaitu
keadilan.[10]
Perubahan-perubahan social dan perubahan hukum atau sebaliknya tidak selalu
berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan
hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsure-unsur lainnya dari masyarakat
serta kebudayaannya atau mungkin hal yang sebaliknya terjadi. Apabila hal
demikian terjadi, maka terjadilah social lag, yaitu suatu keadaan di mana
terjadi ketidakseimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan
yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan.[11]
4.
Hukum Itu Rasa Wajib / Takut
Teori
hukum itu rasa wajib / takut dikemukakan oleh Alf Ross dari kalangan realism
Scandinavia. Ross menempatkan hukum dalam kerangka fisio-psikis. Menurut Ross,
semua gejala yang muncul dalam pengalaman tentang hukum harus diselidiki
sebagai gejala psiko-fisis. Bagi Ross dan para pengikut realism
Scandanivia seperti Axel Hangerstrom,
A.V. Lundstredt, K. Olivercrona, ilmu hukum harus bertitik tolak dari
kenyataan-kenyataan empiris yang relevan dalam bidang hukum. Kenyataan itu
didapatkan dalam perasaan-perasaan psikologis. Perasaan itu tampak pada rasa
wajib, rasa kuasa, ataupun rasa takut akan reaksi lingkungan.
Dalam
kerangka psikologis itulah, ross menjelaskan timbulnya hukum sebagai aturan
masyarakat yang bersifat mewajibkan karena ada hubungan antara perbuatan
yuridis dan sanksinya. Jika berbuat tidak sesuai seperti yang dituntut oleh
ketentuan hukum, maka akan dikenakan sanksi baginya, begitu juga sebaliknya
jika ia menaati aturan hukum, maka tidak akan dikenakan sanksi bagi dirinya.
Oleh karena adanya rasa takut yang dirasa oleh masyarakat terhadap sanksi
hukum, secara otomatis akan menaati aturan-aturan hukum yang berlaku.
Menurut Rossm timbulnya aturan yang bersifat wajib dapat diterangkan
melalui empat tahap, yaitu, adanya paksaan (an actual system of compulsion),
takut akan paksaan, situasi di mana orang-orang sudah mulai menjadi biasa
dengan cara hidup demikian dan lama kelamaan mulai memandang cara hidup itu
sebagai suatu yang seharusnya, dan yang terakhir situasi hidup bersama di mana
norma-norma kelakuan ditentukan oleh intansi-instansi yang berwibawa. Orang
akhirnya terbiasa merasa wajib untuk menaati apa yang diputuskan oleh pihak
yang berwibawa.
BAB TIGA
KESIMPULAN
Dari
berbagai pembahasan yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan beberapa
kesimpulan dalam uraian ringkas berikut ini.
1.
Teori
Realisme hukum merupakan sebuah teori hukum yang bertugas mengakaji hukum yang
berlaku dalam kenyataan empiris masyarakat. Dengan kata lain, praktek realitas
yang dilakukan masyarakat menjadi kajian penting dalam teori ini. Hukum bukan
hanya sekedar yang terdapat dalam produk hukum atau ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam perundang-undangan, akan tetapi hukum itu terlihat dalam tatanan
praktis.
2.
Teori
hukum realisme terbagi dalam dua bentuk, yaitu realisme Amerika dan Realisme
Scandinivia. Realism Amerika lebih menekankan pada praktek hukum dari pelaksana
/ penegak hukum (law enforcement) dalam hal ini pengadilan sebagai
lembaga Negara yang diberikan tugas yudikatif untuk menerima, mengadili dan
memutuskan perkara yang diajukan kepadanya. Hakim yang akan menilai berdasarkan
fakta-fakta konkrit yang terdapat dalam persidangan atas kesalahan-kesalahan
yang dilakukan oleh seseorang atau lebih. Sedangakan realisme Scandinivia lebih
menekankan pada prilaku manusia dalam kenyataan empiris untuk menemukan arti
hukum yang sebenarnya.
3.
Terdapat
dua teori hukum yang mengkaji hukum dalam kenyataan empiris, yaitu teori “hukum
itu Perilaku hakim” yang dikemukakan oleh Oliver Holmes dan teori “Hukum itu
rasa wajib / takut” yang dikemukakan oleh Alf Ross. Teori hukum itu perilaku
hakim menerangkan bahwa, hakim lah sebagai pelaksana undang-undang yang
menerapkan hukum pada kenyataan empiris. Hakim yang mengetahui duduk
persoalaannya ketika mengadili kasus-kasus yang diajukan kepadanya. Sedangkan
teori “hukum itu rasa wajib/takut” menerangkan bahwa adanya pengaruh timbal
balik antara sanksi hukum dengan perilaku manusia. Sehingga masyarakat merasa
wajib menaati hukum oleh karena takut akan adanya sanksi yang dikenakan baginya
bila tidak melaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki oleh undang-undang.
Referensi:
Achmad Ali, Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum (Kajian Empiris
Terhadap Pengadilan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012).
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori
Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Semarang: Genta
Publising, 2003).
Qodry Azizy, Elektisisme Hukum Nasional (Komptetisi Antara Hukum
Islam dan Hukum Umum), (Yogyakarta: Gama Media, 2004).
Sudikno
Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu
Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003).
Sukarno Aburaera, Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum (Teori dan
Praktek), (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2013).
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005).
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
2009).
[1] Bernard L.
Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Semarang: Genta Publising, 2003), hlm.
165.
[2] Achmad Ali,
Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum (Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 45.
[3]
Bernard L.
Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Semarang: Genta Publising, 2003), hlm.
165.
[4]
Sukarno
Aburaera, Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktek, (Jakarta:
Kencana Prenada media Group, 2013), 133.
[5] Sukarno
Aburaera, Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktek, (Jakarta:
Kencana Prenada media Group, 2013), hlm. 133.
[6] Qodry Azizy, Elektisisme
Hukum Nasional (Komptetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum), (Yogyakarta:
Gama Media, 2004), hlm. 206.
[7] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
(Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm. 77.
[8]
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
(Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm. 80.
[9] Zainuddin Ali,
Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 41.
[10] Ibid., hlm.
42.
[11] Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005), hlm. 115.
0 comments:
Posting Komentar