Sabtu, 14 Maret 2015

BAB SATU
PENDAHULUAN

Aristoteles pernah mengatakan bahwa manusia adalah makhluk social (zoon politicon) yang ingin selalu hidup berdampingan dengan manusia lainnya. Dalam pergaulannya sehari-hari antar individu akan berhadapan dengan konflik akibat kepentingan-kepentingan antar individu tidak terealisasikan dengan baik. Konsekuensi dari tidak terpenuhinya hak dan kewajiban akan menimbulkan sengketa antar sesama yang membutuhkan penyelesaian melalui lembaga formal yang disebut dengan pengadilan atau sebuah lembaga yang diberikan otoritas untuk menyelesaikan dan mengakhiri perkara bagi para pencari keadilan.
Hakim sebagai orang yang menerima dan mengadili perkara di Pengadilan memiliki peran penting dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Kepada hakimlah para pencari keadilan mencari agar hak-haknya dapat dikembalikan sebagaimana mestinya. Hal ini didasarkan bahwa Negara Indonesia sebagai Negara hukum (rechtstaat) yang harus menempatkan supremasi hukum di atas segala-galanya. Oleh karena itu, sangat beralasan bagi para pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan.
Untuk merealisasikan nilai-nilai keadilan kepada masyarakat, tentunya hakim tidak hanya berpedoman pada hukum-hukum tertulis semata atau hakim tidak hanya menganut paham positivism hukum yang menghendaki agar setiap putusan hakim harus memutuskan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perundang-undangan. Dalam pandangan tersebut menghendaki agar Hakim tidak memutuskan perkara di luar seperti yang dirumuskan dalam undang-undang. Di samping itu, paham tersebut telah menempatkan hakim sebagai terompet undang-undang yang tidak boleh memutuskan melebihi seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
Berpegang pada paham positivism, tidak akan mencapai nilai-nilai keadilan yang diiginkan oleh masyarakat. Karena hakim yang menerima, memeriksa dan mengadili perkara di pengadilan berhadapa langsung dengan masyarakat, sekaligus mengetahui secara pasti terhadap peristiwa-peristiwa konkrit berdasarkan pemeriksaan di persidangan. Sedangkan undang-undang masih bersifat abstrak sehingga bila diterapkan langsung kepada kasus seperti yang dikehendaki oleh undang-undang akan mustahil didapatkannya keadilan oleh masyarakat. Oleh karenanya, dalam teori-teori hukum, selain adanya teori positivism yang menghendaki agar hakim memutuskan seperti yang telah diatur dalam undang-undang, terdapat pula teori realism hukum yang menghendaki agar setiap putusan itu didasarkan pada kenyataan empiris (real). Karena hukum itu bersifat dinamis yang akan mengikuti perubahan hukum dan masyarakat. Untuk itu, penulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan apa  substansi atau inti dari teori realism hukum dan apa manfaatnya bagi para pencari keadilan.

BAB DUA
PEMBAHASAN
1.      Teori Realisme Hukum
Teori realisme hukum merupakan teori yang lahir dari teori empirisme yang oleh David Hume dipadukan menjadi pengetahuan yang pada intinya mempunyai pandangan bahwa hukum itu didapatkan pada kenyataan empiris (real). Empirisme menolak pengetahuan yang hanya mengandalkan penalaran logis ala rasionalisme abad 18. Ide-ide rasional menurut empirisme bukanlah segala-galanya. Ia tidak bisa diandalkan sebagai sumber tunggal. Ide-ide itu perlu dipastikan kebenarannya dalam dunia empiris. Dari situlah kebenaran sejati dapat diraih.[1]
 Realisme hukum adalah suatu aliran pemikiran yang dimulai di Amerika Serikat. Teori ini dipelopori oleh tokoh-tokoh terkenal dan terbaik dari kalangan realism seperti : John Chipman Gray, Oliver Wendel Holmes, Jerome Frank, Dan Karl Llewellyn. Realisme berarti berhubungan dengan dunia nyata, dunia sebagaimana ia nyatakan berlangsung. Realism hukum berarti suatu studi tentang hukum sebagai sesuatu yang benar-benar nyata dilaksanakan, ketimbang sekedar hukum sebagai sederetan aturan yang hanya termuat dalam perundang-undangan, tetapi tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, sebagian pakar memandang bahwa pendekatan realis merupakan bagian penting dari pendekatan sosiologi terhadap hukum.[2]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa substansi dari teori realisme adalah hukum itu didasarkan pada kenyataan empiris bukan didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Hal ini mengindikasikan hukum itu tidak mesti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam bentuk tertulis. Akan tetapi menurut teori ini, hukum itu apa yang sebenarnya terjadi dalam praktek empiris.
2.      Macam-Macam Realisme Hukum
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa kajian dari teori Realisme hukum yaitu mengkaji hukum dalam konteks  realitas, maka tidak terlepas kajiannya dengan praktek hakim di pengadilan sebagai penegak hukum (law enforcement) dan prilaku manusia dalam kehidupan empiris. Oleh karena itu, realism hukum itu dibagi menjadi dua kelompok, yakni Realisme hukum Amerika yang menitikberatkan pada pengalaman-pengalaman praktis hakim dalam mengadili perkara, dan Realisme hukum Skandinavia yang lebih menekankan pada prilaku manusia sebagai suatu kenyataan empiris. Untuk lebih jelasnya, kedua golongan tersebut akan digambarkan dalam uraian berikut ini:



a.      Realisme hukum Amerika
Aliran realisme hukum yang berkembang di Amerika memilki teman sehaluan yang sama-sama menggunakan gerakan “realisme” adalah Realisme di Skandinavia. Jika diamati beberapa ciri khas dari aliran realis Skandinavia,  aliran realisme tersebut mempunyai pandangan yang lebih empirikal dari realisme hukum di bandingkan realism di amerika serikat.
Realisme hukum Amerika menempatkan empirisme dalam sentuhan pragmatisme atau sikap hidup yang menekankan aspek manfaat dan kegunaan berdasarkan pengalaman. Kehidupan sehari-hari adalah dunia pengalaman. Dunia pengalaman tidak bisa dipotret lewat skema ideal-ideal yang spekulatif. Ia hanya bisa ditangkap keutuhannya lewat pengalaman. Itulah sikap realistis untuk memahami realita.[3] Cirri utama dari realism Amerika didasarkan pada manfaat praktis (pragmanisme). Pendekatan pragmatisme tidak percaya pada bekerjanya hukum menurut ketentuan-ketentuan hukum di atas kertas. Hukum bekerja mengikuti peristiwa-peristiwa konkrit.[4]
Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim. Seperti yang diungkapkan oleh Chipman Gray “all the law is judge made law”, semua yang dimaksudkan dengan hukum adalah putusan hakim. Hakim lebih sebagai penemu hukum daripada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundang-undangan.[5]

b.      Realisme Hukum Skandinavia
Aliran ini menempatkan empirisme dalam sentuhan psikologi. Aliran ini berkembang di Uppsala, Swedia pada awal abad 20. Konsep penting dari realism hukum Skandinavia adalah mencari kebenaran suatu pengertian dalam situasi tertentu dengan menggunakan psikologi. Tidak seperti realisme hukum Amerika (yang memberi perhatian pada praktek hukum dari para pelaksana hukum), realisme hukum Skandinavia justrru menaruh perhatian pada prilaku manusia ketika berada dalam “control” hukum. Dengan memanfaatkan psikologi, para eksponen aliran ini mengkaji prilaku manusia (terhadap hukum) untuk menemukan arti hukum yang sebenarnya.
Ekponen penganut realism hukum realism hukum Skandinavia di antaranya, Axel Hegerstrom, Olivecrona, Lundstet, dan Ross. Para penganut ini secara tegas menolak metafisika hukum, dengan membela nilai-nilai yang dapat diverifikasi secara ilmiah atas gejala hukum yang faktual. Di sisi lain aliran ini juga menolak ajaran Positivisme Hukum dari John Austin, karena menurutnya; John Austin membiarkan begitu saja tanpa penjelasan terhadap berbagai karakteristik yang hakiki dari hukum. Tegasnya, aliran realisme Skandinavia memandang bahwa hukum itu berfungsi dalam masyarakat, lebih dari hanya sekedar rasa takut (fear) kepada perintah atasan atau takut terhadap sanksi dari pada penguasa. Padahal yang penting ditemukan adalah, masyarakat mematuhi hukum adalah suatu tindakan yang baik dan benar.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa substansi penting dari realisme hukum Skandinavia adalah lebih menekankan aspek psikologi hukum dalam kenyataan empiris kehidupan manusia. Hukum memiliki relevansi erat dengan perilaku masyarakat dalam kehidupan. Perbedaan  dari realisme Amerika dibanding dengan realisme Skandinavia yakni “menitikberatkan” kepada “Perilaku-Perilaku Hakim”. Sementara aliran realisme Amerika melakukan penyelidikan terhadap hukum yang tumbuh dari perhatian hak-hak dan kewajiban subjek hukum atau dengan kata lain lebih banyak memfokuskan diri pada “gejala hukum” di masyarakat.
3.      Hukum Itu Perilaku Hakim
Perlu dikemukakan sekali lagi bahwa berbicara teori realisme hukum tidak pernah luput tokoh yang mengembangkannya yakni hakim Oliver Wendel Holmes (1841-1935) dam Jerome Frank (1889-1959), serta ahli ilmu social Karl Llewellyn (1893-1957).[6] Oliver Wendel Holmes sebagai seorang hakim mengemukakan sebuah teori yang disebut dengan teori “hukum itu perilaku hakim”.
Dalam teorinya, holmes menjelaskan aturan hukum aturan hukum bukanlah poros sebuah keputusan yang berbobot. Aturan tidak bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan yang kompleks. Lagi pula kebenaran riil bukan terletak dalam undang-undang, tapi pada kenyataan hidup. Inilah titik tolak teori tentang kebebasan hakim yang diusung oleh Oliver Holmes dan Jerome Franks (eksponen realisme hukum Amerika). Hukum yang termuat dalam aturan, hanya suatu generalisasi mengenai dunia ideal. Tapi menurut Holmes, seorang pelaksana hukum (hakim) sesungguhnya menghadapi gejala-gejala hidup secara realistis.
Teori para pemikir realism bisa juga digolongkan sebagai salah satu versi teori di bidang penerapan hukum. Karena ketika hukum diterapkan, hakim di hadapapkan pada wilayah das sein, hukum tidak lagi berdiri dalam singgasana das sollen. Artinya berdasarkan kasuistik hakim akan menerapkan aturan-aturan hukum demi terwujudnya keadilan sebagaimana tujuan hukum itu sendiri yakni mewujudkan keadilan bagi para pencari keadilan. Menurut Geny sebagai penganut teori etis, tujuan hukum adalah untuk merealisasikan keadilan bagi masyarakat[7]. Sedangkan Jeremy Bentham dalam teorinya yang sangat popular yakni Teori Utilities (endaemonistis) menerangkan bahwa tujuan hukum ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi mausia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest number). Pada hakekatnya menurut teori initujuan hokum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar jumlahnya bagi orang.[8]
Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas yudikatif power di Pengadilan, hakim sering menggunakan pendekatan interpretion dalam menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Interpretation adalah usaha untuk menggali, menemukan dan memahami nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, untuk dijadikan sebagai bahan (dasar) pertimbangan dalam menyusun hukum dan menetapkan suatu keputusan dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang timbul dalam masyarakat, sehingga terwujud tujuan hukum itu sendiri, yaitu keadilan. Bila melakukan suatu pendekatan dalam mengamati fenomena social dalam masyarakat, yang kemudian hasil pengamatan itu digunakan untuk memecahkan suatu permasalahan (dalam hal ini adalah permasalahan hukum meliputi penggalian, penyusunan, pemeliharaan dan penegakan hukum, maka dapat disebut tercapai tujuan interpretasi.[9]
Pendekatan interpretasi di dunia pengadilan telah menjadi bagian dari kebiasaan yang tidak terpisahkan di dunia pengadilan. Karena sifat dari hukum itu selalu berubah-rubah (dinamis). Roscoe Pound mengemukakan dalam bukunya yang berjudul interpretation of legal history, bahwa law must be stable and yet it cannot stand still. Pound memperlihatkan usahanya untuk mengungkapkan mengapa hukum itu selalu “dinamis” dengan menelusuri nilai-nilai dan norma-norma yang ada dan berkembang dalam masyarakat yang selalu berubah-rubah sesuai perkembangan pemikiran masyarakat pada setiap waktu dan tempat. Kedinamisan hukum yang demikian, membuat pound berasumsi bahwa hukum itu relative. Yang dimaksudkan relative disini adalah berubah sesuai dengan waktu dan tempat yang sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Namun hukum memiliki sifat universal karena hanya ada satu ide dari hukum, yaitu keadilan.[10] Perubahan-perubahan social dan perubahan hukum atau sebaliknya tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsure-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya atau mungkin hal yang sebaliknya terjadi. Apabila hal demikian terjadi, maka terjadilah social lag, yaitu suatu keadaan di mana terjadi ketidakseimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan.[11]
4.      Hukum Itu Rasa Wajib / Takut
Teori hukum itu rasa wajib / takut dikemukakan oleh Alf Ross dari kalangan realism Scandinavia. Ross menempatkan hukum dalam kerangka fisio-psikis. Menurut Ross, semua gejala yang muncul dalam pengalaman tentang hukum harus diselidiki sebagai gejala psiko-fisis. Bagi Ross dan para pengikut realism Scandanivia  seperti Axel Hangerstrom, A.V. Lundstredt, K. Olivercrona, ilmu hukum harus bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan empiris yang relevan dalam bidang hukum. Kenyataan itu didapatkan dalam perasaan-perasaan psikologis. Perasaan itu tampak pada rasa wajib, rasa kuasa, ataupun rasa takut akan reaksi lingkungan.
Dalam kerangka psikologis itulah, ross menjelaskan timbulnya hukum sebagai aturan masyarakat yang bersifat mewajibkan karena ada hubungan antara perbuatan yuridis dan sanksinya. Jika berbuat tidak sesuai seperti yang dituntut oleh ketentuan hukum, maka akan dikenakan sanksi baginya, begitu juga sebaliknya jika ia menaati aturan hukum, maka tidak akan dikenakan sanksi bagi dirinya. Oleh karena adanya rasa takut yang dirasa oleh masyarakat terhadap sanksi hukum, secara otomatis akan menaati aturan-aturan hukum yang berlaku.
Menurut Rossm timbulnya aturan yang bersifat wajib dapat diterangkan melalui empat tahap, yaitu, adanya paksaan (an actual system of compulsion), takut akan paksaan, situasi di mana orang-orang sudah mulai menjadi biasa dengan cara hidup demikian dan lama kelamaan mulai memandang cara hidup itu sebagai suatu yang seharusnya, dan yang terakhir situasi hidup bersama di mana norma-norma kelakuan ditentukan oleh intansi-instansi yang berwibawa. Orang akhirnya terbiasa merasa wajib untuk menaati apa yang diputuskan oleh pihak yang berwibawa.

BAB TIGA
KESIMPULAN
Dari berbagai pembahasan yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan beberapa kesimpulan dalam uraian ringkas berikut ini.
1.      Teori Realisme hukum merupakan sebuah teori hukum yang bertugas mengakaji hukum yang berlaku dalam kenyataan empiris masyarakat. Dengan kata lain, praktek realitas yang dilakukan masyarakat menjadi kajian penting dalam teori ini. Hukum bukan hanya sekedar yang terdapat dalam produk hukum atau ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perundang-undangan, akan tetapi hukum itu terlihat dalam tatanan praktis.
2.      Teori hukum realisme terbagi dalam dua bentuk, yaitu realisme Amerika dan Realisme Scandinivia. Realism Amerika lebih menekankan pada praktek hukum dari pelaksana / penegak hukum (law enforcement) dalam hal ini pengadilan sebagai lembaga Negara yang diberikan tugas yudikatif untuk menerima, mengadili dan memutuskan perkara yang diajukan kepadanya. Hakim yang akan menilai berdasarkan fakta-fakta konkrit yang terdapat dalam persidangan atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih. Sedangakan realisme Scandinivia lebih menekankan pada prilaku manusia dalam kenyataan empiris untuk menemukan arti hukum yang sebenarnya.
3.      Terdapat dua teori hukum yang mengkaji hukum dalam kenyataan empiris, yaitu teori “hukum itu Perilaku hakim” yang dikemukakan oleh Oliver Holmes dan teori “Hukum itu rasa wajib / takut” yang dikemukakan oleh Alf Ross. Teori hukum itu perilaku hakim menerangkan bahwa, hakim lah sebagai pelaksana undang-undang yang menerapkan hukum pada kenyataan empiris. Hakim yang mengetahui duduk persoalaannya ketika mengadili kasus-kasus yang diajukan kepadanya. Sedangkan teori “hukum itu rasa wajib/takut” menerangkan bahwa adanya pengaruh timbal balik antara sanksi hukum dengan perilaku manusia. Sehingga masyarakat merasa wajib menaati hukum oleh karena takut akan adanya sanksi yang dikenakan baginya bila tidak melaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki oleh undang-undang.

Referensi:

Achmad Ali, Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum (Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012).
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Semarang: Genta Publising, 2003).
Qodry Azizy, Elektisisme Hukum Nasional (Komptetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum), (Yogyakarta: Gama Media, 2004).
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003).
Sukarno Aburaera, Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum (Teori dan Praktek), (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2013).
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005).
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).




[1] Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Semarang: Genta Publising, 2003), hlm. 165.
[2] Achmad Ali, Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum (Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 45.
[3] Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Semarang: Genta Publising, 2003), hlm. 165.
[4] Sukarno Aburaera, Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktek, (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2013), 133.
[5] Sukarno Aburaera, Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktek, (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2013), hlm. 133.
[6] Qodry Azizy, Elektisisme Hukum Nasional (Komptetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum), (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm. 206.
[7] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm. 77.
[8] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm. 80.
[9] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 41.
[10] Ibid., hlm. 42.
[11] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 115. 

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages