Senin, 26 Maret 2012


BAB I
Pendahuluam

Latar belakang masalah
            Anak merupakan pilar utama dalam pembangunan suatu bangsa, karena anak merupakan generasi penerus dari orang tuanya. Oleh karena itu anak harus dilindungi, diawasi, dan diberi perlindungan dengan sebaik-baiknya agar anak tersebut bisa tumbuh dan berkembang dengan baik demi terciptanya suatu Negara yang baik dan bermartabat apabila anak tersebut jadi sebagai pemimpin.
            Untuk menumbuhkembangkan anak dengan baik, seseorang anak memerlukan orang yang sanggup untuk menddiknya dan memberi perlindungan terhadap anak agar anak tetap tumbuh dan berkembang dengan semestinya. Factor utama yang harus dilindungi oleh orang yang mengasuh anak adalah factor lingkungan, karena factor lingkunganlah yang sangat menentukan baik atau tidaknya anak. Anak akan baik apabila dijauhi dari lingkungan yang buruk, dan begitu juga sebaliknya anak akan tumbuh baik apabila hidup dilingkungan yang baik pula.
            Banyak sekarang terjadi kenakalan remaja di lingkungan hidup kita. Hal ini terjadi disebabkan oleh karena berkurangnya pengawasan yang diberikan oleh pengasuhnya, sehingga menyebabkan anak menjadi korban dari orang dewasa. Tanpa adanya pengawasan yang ketat  terhadap anak dan memberikan pendidikan yang baik kepada anak, maka anak akan bergabung dengan komunitas-komunitas yang terlarang dan dengan demikian akan menggelapkan kehidupan anak.
            Setiap anak memerlukan pendidikan dan pengawasan terhadapnya agar jauh dari hal-hal yang tidak boleh didekati oleh seorang anak. Namun bagaimana kalau kedua orang tuanya meninggal dunia dan siapa yang akan mendidik dan mengawasi anak tersebut agar tidak tercebur kedalam hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh anak, dan meskipun ada kedua orang tuanya, tapi kedua orang tua tersebut tidak sanggup mengurusi anak siapa yang akan mengurusi mereka.
Rumusan masalah
Dari uraian diatas, dalam kesempatan ini penulis akan mencoba merumuskan beberapa permasalahan yang akan penulis kaji dalam makalah ini. Untuk itu penulis akan memberi batasan terlebih dahulu dalam makalah ini agar tidak menyebar luas dan membingungkan para pembaca. Adapun rumusan masalah yang penulis rumuskan adalah sebagai berikut :
1.      apa yang dimaksud dengan perwalian dan pengasuhan terhadap anak ?
2.      bagaimana UU no. 1 tahun 1974, UU no. 23 tahun 2002 dan KHI dalam mengatur perwalian terhadap anak ?
3.      siapa yang lebih berhak mengatur dan mengurusi anak apabila salah satu orang tuanya meninggal ?
4.      bagaimana peran keluarga dalam menciptakan anak yang baik dari pengaruh lingkungan hidupnya ?





BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian perwalian dan pengasuhan anak
Dalam ketentuan umum KHI pasal 1 huruf h  merumuskan pengertian perwalian adalah[1] “kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum  sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Dari definisi tersebut tedapat beberapa unsur yang harus diperhatikan, yaitu : kewenangan, bertindak sebagai wakil, kepentingan anak, tidak mempunyai orang tua, orang tua tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Yang dimaksud dengan kewenagan dalam definisi tersebut adalah kewenagan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan perwalian berdasarkan penetapan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Kemudian dalam definisi tersebut ada kata bertindak sebagai wakil, artinya wali tersebut merupakan sebagai pengganti dari orang sebenarnya, yaitu kedua orang tuanya dalam melakukan perbuatan hukum untuk kepentingan anak. Lalu dalam definisi terdapat kata “Tidak mempunyai orang tua atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum” berarti kedua orang tuanya meninggal dunia atau hilang dan boleh jadi pergi tanpa kabar apapun kepada anaknya, sehingga dapat menelantarkan anak. Yang dimaksud dengan tidak cakap hukum adalah orang tidak berhak dalam melakukan perbuatan hukum. Orang yang tidak cakap hukum antara lain : orang gila, anak-anak dan orang dibawah pengampuan.

Pengertian pengasuhan anak (hadhanah)
Para ulama fikih mendefinisikan hadhanah yaitu[2] melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.
Pengasuhan anak disebut juga dengan hadhanah. Dalam pasal 1 huruf g ketentuan umum KHI memberikan definisi terhadap pengasuhan anak atau hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri. Mengasuh maksudnya memberikan bimbingan baik bimbingan pendidikan yang bermanfaat atau mendidik bertatakrama yang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Memelihara mempunyai arti memberi pelindungan terhadap anak, mengawasi dan melindungi dari korban orang dewasa. Korban dewasa maksudnya adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dewasa, kemudian diikuti oleh anak.
Perwalian menurut UU no. 1 tahun 1974
Dalam UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan  dalam pasal 50 disebutkan bahwa “anak yang belum mencapai umur  18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali”.
Dari pasal 50 tadi bisa diketahui bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun berada dibawah kekuasaan wali. Wali yang akan menjaga anak tersebut boleh jadi dari pihak saudara ayah anak tersebut dan boleh juga dari saudara dari pihak si ibu anak tadi. Untuk menjadi seorang wali si anak diperlukan beberapa syarat agar wali yang akan menjaga anak tersebut bisa menjaga kepentingan si anak dan melindungi anak dari segala yang membahayakan. Adapun syarat yang diperlukan untuk dapat dijadikan sebagai wali adalah seperti yang terdapat dalam pasal 51 angka 2 yang berbunyi “wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkeluan baik”.
            Wali mempunyai peran yang sangat penting dalam melindungi harta anak yang berada dibawah perwaliannya, baik dalam hal keselamatan anak tersebut dari pengaruh lingkungan, maupun terhadap harta benda anak yang ditinggal oleh orang tuannya. Harta anak yang ditinggal oleh orang tuanya setelah anak berpindah dibawah perwalian seseorang maka yang bertindak sebagai wali harus membuat daftar harta benda anak setelah dijadikan sebagai wali anak tesebut. Seperti yang terdapat dalam pasal 51 angka 4 yang menerangkan  bahwa “wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu”.
Selain wali menjaga anak dan melindungi harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya, wali juga bertanggunga jawab terhadap harta anak tersebut apabila menimbulkan kerugian pada harta anak tesebut. Seperti yang terdapat dalam pasal 51 angka 3 dinyatakan bahwa “wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu”.
Wali dapat dicabut haknya sebagai wali apabila wali tersebut menelantarkan anak yang berada dibawah perwaliannya dan tidak melaksanakan tugas sebagai wali. Misalnya wali tersebut mambuat semena-mena terhadap harta anak, membuat anak tidak terurus sebagai anak dan juga anak tidak terlindungi dari pengaruh lingkungan yang buruk. Oleh karena itu, wali yang kelakuannya demikian bisa dicabut hak sebagai wali dan dapat digantikan oleh wali yang lain untuk mengurusi anak yang berada dibawah perwaliannya. Seperti yang terdapat dalam pasal 53 angka 1 yang berbunyi Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang ini (UU no. 1 tahun 1974)”. Adapun bunyi pasal 49 adalah “Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a. ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. ia berkelakuan buruk sekali.
Perwalian menurut UU no. 23 tahun 2002
Sebenarnya sama perwalian yang diatur dalam UU no. 1 tahun 1974 dengan Perwalian menurut UU no. 23 tahun 2002. Namun dalam UU no.1 tahun 1974 tidak menentukan siapa berhak mengatur dan mengelola harta anak sebelum penunjukan wali ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan. Akan tetapi dalam UU no. 23 tahun 2002 mengatur masalah siapa yang berhak mengatur dan mengelola harta anak apabila penunjukan terhadap walinya tidak ditetapkan dengan penetapan pengadilan. Dalam pasal 35 UU no. 23/2002 disebutkan bahwa [3]“dalam hal anak belum mendapatkan penetapan pengadilan mengenai wali, maka harta kekayaan anak tersebut dapat diurus oleh balai harta peninggalan atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu”.
Perwalian menurut KHI
Dalam ketentuan umum KHI pasal 1 huruf h disebutkan bahwa perwalian adalah “kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum  sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Batas umur perwalian antara UU no. 1 tahun 1974 dan KHI berbeda, yaitu dalam UU no. 1 batas umur perwalian adalah 18 tahun, sedangkan dalam KHI batas umur perwalian adalah 21 tahun. Seperti yang terdapat dalam pasal 107 ayat 1 yang menerangkan bahwa “Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.
Pengasuhan terhadap anak menurut UU no. 1 tahun 1974
Dalam pasal 47 UU no. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”. Anak yang masih belum berumur 18 tahun berhak mendapat pemeliharaan yang layak dari kedua orang tuannya, dan kedua orang tua juga mempunyai kewajiban untuk memlihara anak dan mendidik anak dengan sebaik-baiknya.
Pengasuhan terhadap anak menurut fikih
Dalam islam pengasuhan terhadap anak disebut hadhanah. Secara terminology[4] hadhanah diartikan sebagai merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Jumhur ulama mengatakan bahwa hadhanah merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua orang tua untuk keberlangsungan anaknya serta melindungi anaknya dari tekanan pihak luar sehingga mengakibatkan anak menjadi tidak bebas dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari. Oleh karena itu orang tua mempunyai peran penting dalam pemeliharaan anak demi kemaslahatan anak dan perkembangan anak.
Dikalangan Jumhur ulama terjadi perbedaan pendapat dalam masalah hadhanah. Apakah hadhanah merupakan hak orang tua terhadap anaknya atau hadhananh merupakan hak anak. Misalnya, dikalangan mazhab hanafi dan syafi’I berpendapat[5] bahwa hak hadhanah itu menjadi hak ibu, artinya seorang ibu dapat saja menggugurkan haknya. Tetapi menurut jumhur ulama hadhanah menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Bahkan menurut wahbah al-zuhaili, hadhanah merupakan hak bersama antara ayah, ibu, dan anak.
Pengasuhan terhadap anak megandung arti bahwa orang tua bertanggung jawab penuh terhadap anak, dalam artian orang tua harus mengawasi dan memberi pelayanan secukupnya untuk keperluan anak dan tergantung kesanggupan dari orang tuannya. Pengawasan terhadap anak harus diberikan semenjak anak dilahirkan ke dunia dan sampai habis masa keanak-anakannya.
Setelah terjadinya perceraian pengasuhan terhadap anak masih tetap berada dalam pengawasan dan pengasuhan dari kedua orang tuanya. Kedua orang tua masih berkewajiban melaksanakan kewajibannya sebagai orang tua untuk memberikan keperluan si anak sesuai dengan kemampuannya baik dari segi ekonomi atau dari segi pengawasan terhadap anak[6]. Adapun orang yang lebih layak melaksanakan hadhanah ketika orang tuanya bercerai adalah[7] ibunya pada masa atau periode mumayyiz[8]. Seperti hadis yang diriwayatkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar al-Ash yang menceritakan seorang wanita mengadu kepada Rasulullah tentang anak kecilnya, dimana mantan suaminya bermaksud membawa anak mereka bersamanya setelah menceraikan istrinya. Lalu Rasulullah bersabda : “kamu (wanita itu) lebih berhak terhadap anka itu selama kamu belum menikah dengan lelaki lain”.(H.R. Abu Daud dan ahmad).
Sedangkan apabila[9] anak tersebut sudah mumayyiz, maka anak tersebut dapat memilih salah satu dari kedua orang tuanya. Mumayyiz adalah masa dimana anak sudah dapat menentukan pilihannya untuk menjadikan siapa yang lebih pantas untuk mengasuhnya, dalam artian anak tersebut sudah dewasa. Batas umur anak dianggap dewasa atau tidak berbeda antara UU no. 1 tahun 1974 dengan BW, menurut pasal 330 KUHPerdata/BW yang dimaksud dengan belum dewasa[10] adalah ialah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dulu kawin, sedangkan menurut UU no. 1 tahun 1974 batas seseorang masih dianggap anak adalah 18 tahun dan belum pernah menikah. Sedangkan apabila anak tersebut menikah pada usia 17 tahun, maka anak tersebut tidak lagi disebut sebagai anak.
Syarat-syarat yang melaksanakan hadhanah
Demi kepentingan seorang anak dalam kehidup sehari-hari, anak memerlukan seorang pengasuh yang baik serta berperikelakuan yang baik agar tujuan pengasuhan anak tercapai secara sempurna. Untuk itu diperlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan mengasuh anak tersebut, adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pengasuh adalah sebagai berikut[11] :
1.      Berakal
Berakal berarti orang yang bertindak sebagai wali si anak harus orang yang berakal dan tidak boleh diambil dari orang gila. Kalau diambil dari orang gila maka tidak akan mencapai kepada tujuan pemeliharaan anak yaitu untuk menjaga dan memberi perlindungan kepada anak baik didalam maupun diluar pengadilan dan begitu juga untuk memelihara anak dari perbuatan anak nakal, yaitu menggunakan narkoba dan mengkonsumsi minuman yang beralkohol yang pada akhirnya akan menyebabkan anak menjadi tidak baik dan menggelapkan masa depan anak tersebut. Oleh karena itu diperlukan orang yang bertindak sebagai wali adalah orang yang mempunyai kemampuan dan waras pikiran agar perlindungan terhadap anak tercapai.
2.      Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk menjaga, memelihara, dan mendidik anak.
Artinya anak harus berada dibawah pengawasan wali yang berkemampuan dan mempunyai kemauan untuk menjaga anak. Hal ini bertujuan untuk menjaga kesaelamatan anak. Apabila anak diserahkan kepada wali yang tidak bertanggung jawab dan tidak mempunyai kemampuan serta tidak berkemauan untuk menjaganya, maka akan menyebabkan kerugian bagi anak itu sendiri dan akan menguntungkan walinya sendiri, yaitu mengambil harta anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya. Oleh karena itu seorang anak harus ditempatkan dibawah pengawasan wali yang bertanggung jawab dan wali yang bermoral agar kepentingan anak tetap terlindungi dan terjaga dengan baik seperti yang diharapkan.
3.      Harus terpercaya sifatnya
Artinya sikap seorang yang akan mengasuh anak harus terpercaya dan berlaku jujur dan amanah. Kalau orang yang akan memelihara anak memiliki sifat tercela yaitu sifat licik dan curang, maka gelaplah nasib anak yang diasuhnya. Oleh karena itu yang akan mengasuh anak harus dari kalangan orang yang amanah dan terpercaya.
Peran keluarga dalam dalam perlindungan anak
Sebelum berbicara masalah peran keluarga dalam perlindungan anak, alangkah baiknya terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu keluarga, dengan mengetahui apa itu keluarga baru akan kita kaji apa perannya. Dalam pasal 1 angka 4  UU no. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak disebutkan bahwa “keluarga adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah dan atau ibu dan anak”[12]. Dari pasal tersebut bisa diketahui bahwa keluarga terdiri dari beberapa unsure, antara lain : pertama, keluarga terdiri dari ayah yang bertindak sebagai keluarga, kedua, ibu bertindak sebagai wakil kepala rumah tangga dan, ketiga, anak sebagai pelengkap dalam keluarga.
Dari pasal 1 angka 4 bisa dipahami juga bahwa keluarga merupakan organisasi terkecil dalam suatu masyarakat, dari keluarga-keluarga itulah bisa terbentuk suatu masyarakat, dari masyarakat-masyarakat itulah baru adanya rakyat.
Keluarga mempunyai peran penting dalam membentuk anak yang baik, berakhlak dan bermoral. Anak akan terlindungi apabila keluarga aktif dalam memberikan pengawasan yang sebaik-baiknya kepada anak dari perbuatan anak nakal. Dalam pasal 9 UU no. 4 tahun 1979 disebutkan bahwa[13] “orang tua adalah orang yang pertama yang bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun social”.
Dalam pasal 45 angka 1 UU no. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa[14] “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”. Memelihara berarti mengawasi anak dari kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Dengan pemeliharaan yang dilakukan oleh kedua orang tuannya, maka anak tidak akan  kecebur kedalam hal-hal yang dilarang untuk dilakukan oleh anak.










BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :
Dari uraian diatas sampailah penulis pada kesimpulan. Adapun kesimpulan yang penulis petik dalam uraian tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Perwalian merupakan kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk menjalankan tugas-tugas serta kewenangan yang diberikan kepadanya berdasarkan penetapan pengadilan yang mempunyai kekuatan tetap. Perwalian juga disebut sebagai pengganti dari tugas orang tua anak yang bertindak sebagai pengawasan bagi anak dan memeliharanya serta melindungi hartanya dengan sebaik-baiknya.
2.      Pengasuhan anak merupakan upaya pemeliharaan anak baik dari segi pemeliharaan anak dari perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh anak serta memberi pendidikan yang layak kepada anak.
3.      Keluarga mempunyai peran penting untuk membentuk karakter anak yang baik, bermoral dan bertabat. Keluarga juga harus memberikan pengawasan yang layak kepada anak agar anak tidak tercebur kedalam hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh anak.
Saran
1.      Selain keluarga mempunyai peran penting dalam membentuk karakter anak, masyarakat juga harus berpartisipasi dan harus menjaga anak-anak agar anak tidak tercebur kedalam hal-hal yang tidak diinginka.
2.      Makalah ini jauh dari kesempurnaan, dan penulis sangat menyadari hal itu. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar makalah ini lebih sempurna dan memberikan menfaat yang banyak bagi kita bersama.
Daftar pustaka
Muhammad joni dkk, aspek hukum perlindungan anak dalam perspektif konvensi hak anak, (bandung : PT. citra aditya bakti), Cet.3, 1999.
Suhardana, hukum perdata (buku panduan mahasiswa),(jakarta : percetakan gloria), 1992.

Satria Efffendi M. Zein, problematika hukum keluarga islam kontemporer (analisis yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyah),(Jakarta timur : prenada media), 2004

Amiur Nurudin dkk, hukum perdata islam di Indonesia (studi krtitis perkembangan hukum islam dari fikih, UU no.1 tahun 1974),(Jakarta: prenada media), 2004.

Abdul Rahman Ghozali, fiqh munakahat, (Jakarta : kencana prenada media group),Cet. Ke 3, 2008.

UU RI no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak,(Jakarta : CV. Tamita utama), 2003.

UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawina & kompilasi hukum islam serta perpu tahun 2009 tentang penyelenggaraan ibadah haji (Surabaya : kesindo utama), 2010






[1] UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawina & kompilasi hukum islam serta perpu tahun 2009 tentang penyelenggaraan ibadah haji (Surabaya : kesindo utama, 2010), hal. 196.
[2] Abdul Rahman Ghozali, fiqh munakahat, (Jakarta : kencana prenada media group, 2008), Cet. Ke 3, hal :176.
[3] UU RI no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak,(Jakarta : CV. Tamita utama, 2003), hal. 18.
[4] Amiur Nurudin dkk, hukum perdata islam di Indonesia (studi krtitis perkembangan hukum islam dari fikih, UU no.1 tahun 1974),(Jakarta: prenada media, 2004), hal. 293.
[5] Amiur Nurudin, hukum  perdata islam di Indonesia (studi krtitis perkembangan hukum islam dari fikih, UU no.1 tahun 1974),(Jakarta: prenada media, 2004), hal. 293.
[6] Amiur Nurudin, hukum perdata islam di Indonesia (studi krtitis perkembangan hukum islam dari fikih, UU no.1 tahun 1974),(Jakarta: prenada media, 2004), hal. 295.
[7] Satria Efffendi M. Zein, problematika hukum keluarga islam kontemporer (analisis yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyah),(Jakarta timur : prenada media, 2004), hal. 170
[8] Mumayyiz adalah umur tujuh tahun sampai menjelang baligh berakal.
[9] Satria Efffendi M. Zein, problematika hukum keluarga islam kontemporer (analisis yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyah),(Jakarta timur : prenada media, 2004), hal. 171.
[10] Suhardana, hukum perdata (buku panduan mahasiswa),(jakarta : percetakan gloria, 1992), hal. 110.
[11] Satria Efffendi M. Zein, problematika hukum keluarga islam kontemporer (analisis yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyah),(Jakarta timur : prenada media, 2004), hal. 172
[12] Muhammad joni dkk, aspek hukum perlindungan anak dalam perspektif konvensi hak anak, (bandung : PT. citra aditya bakti, 199), Cet. 1, hal 193.
[13] Muhammad joni dkk, aspek hukum perlindungan anak dalam perspektif konvensi hak anak, (bandung : PT. citra aditya bakti, 199), Cet. 1, hal. 195.
[14] UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawina & kompilasi hukum islam serta perpu tahun 2009 tentang penyelenggaraan ibadah haji (Surabaya : kesindo utama, 2010), hal. 15.

Rabu, 21 Maret 2012


BAB 1
Pendahuluan

Setiap muslim diwajibkan oleh Allah untuk melaksanakan perintah Allah yang sudah diperintahkan oleh Allah dalam dalam al-qur’an dan perintah yang terdapat dalam sunnah nabi. Semua yang sudah diperintahkan oleh Allah dalam al-qur’an yang dinyatakan dengan kata-kata amar (kata-kata perintah) semuanya wajib dilaksanakan. Seperti yang terdapat Dalam kaedah fiqh :
ا لصل فى ا لا مر ى لالوجو ب  ولا تد لّ على غىر ه ا لاّ بقر ينة
“Pada dasarnya amar itu menunjukkan arti wajib, dan tidak menunjukkan kepada arti selain wajib kecuali terdapat qorinahnya (penyerta)”.
Menurut ijma’ Jumhur ulama bahwa hukum asal amar menunjukkan wajib[1]. Namun, apabila qarinah (penyerta) yang mennunjukkan bahwa amar itu untuk arti selain wajib, maka makna amar tersebut disesuaikan dengan konteksnya, misalnya : amar bermakna kebolehan (ibahah), seperti seruan makan dan minum (al-baqarah : 60), amar bermakna sunnat, misalnya seruan menulis atau membuat perjanjian dengan orang lain jika dipandang baik (an-nuur : 33).
Allah tidak menyusahkan hambanya dalam memerintahkan untuk melukukan sesesuatu kepada hambanya, namun Allah memudahkan hambanya dalam melaksanakan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah. Salah satu dalil yang menunjukkan bahwa Allah tidak menyusahkan nambanya dalam melaksanakan perintah syar’I, yaitu :
߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#
Artinya :
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan”.
Allah memudahkan bagi hambanya untuk melakukan sesuatu dan memberikan keringanan dalam melaksanakan perintah syar’I. misalnya Allah SWT mewajibkan puasa bagi umat islam pada bulan ramadhan, namun apabila seseorang musafir, maka bagi orang tersebut diperbolehkan untuk berbuka dan mengkadha’ puasanya di hari-hari yang akan datang. Oleh karena itu,kemudahan-kemudahan tersebut dalam ilmu ushul fiqh disebut sebagai rukhsah atau keringan yang diberikan oleh Allah untuk hambanya. Bahkan dalam kondisi-kondisi yang sangat mendesak Allah membolehkan makan yang haram, dengan tujuan untuk menyelamatkan nyawanya agar tidak menyebabkan kematian apabila tidak melakukan yang haram tersebut. Dalam kondisi tertentu Allah membolehkan makan yang haram dalam ilmu ushul fiqh disebut dengan adh-dharuriyah (dalam keadaan darurat).
            Syari’at islam diturunkan oleh Allah tidak menyulitkan hambanya, akan tetapi syari’at islam mempermudah umat islam dalam melaksanakan perintah Allah yang terdapat dalam al-qur’an dan as-sunnah, yang dalam ushul fiqh disebut hajjiah. Hajjiah merupakan keinginan yang diinginkan oleh umat islam dalam melaksanakan hukum islam untuk menghilangkan kesulitan, dan apabila ditinggalkan tidak masalah. Misalnya Allah SWT mensyari’atkan puasa bagi hambanya pada bulan ramadhan, sementara bagi orang musafir diperbolehkan untuk mengqadha’ puasa dibulan yang lain, dan apabila melaksanakan puasa dalam bulan ramadhan juga tidak masalah, meskipun dalam keadaan musafir.
            Selain adh-dharuriyah dan hajjiyah dalam islam juga dikenal tahsiniyah. Tahsiniyah merupakan tindakan yang mengatur tingkah laku umat islam untuk kemaslahatan umat islam. meskipun tahsiniyah tidak ada tidak akan menimbulkan kekacauan, tetapi tahsiniyah diperlukan agar terciptanya kehidupan yang baik. Kebutuhan tahsiniyah disebut juga dengan kebutuhan tertsier, karena boleh ada dan boleh tidak ada.

Rumusan masalah
Dari uraian diatas, penulis dapat merumuskan persoalan akan akan penulis bahas dalam makalah ini agar tidak luas dan membingungkan. Adapun yang ingin penulis bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
  1. Apa tujuan disyari’atkan adh-dharuriyah, rukhsah, tahsiniyah dan hajiah ?
  2. Apa yang dimaksud dengan adh-dharuriyah, rukhsah, tahsiniyah dan hajiah ?











BAB ll
PEMBAHASAN

Hubungan antara rukhsah, dharuriyah, hajiyah, dan tahsiniyah
Dalam ilmu ushul fiqh dikenal ada yang namanya, Rukhsah, dharuriyah, hajiyah dan tahsiniyah. Keempat istilah tersebut sangat mempengaruhi tercapainya tujuan pengsyari’atan hukum islam, dan keempat istilah tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Meskipun aspek yang sangat esensial adalah dharuriyah, tapi untuk kesempurnaannya harus dilengkapi dengan tahsiniyah, hajiyah dan rukhsah. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara rukhsah, tahsiniyah, hajiyah dan dharuriyah akan dijelaskan sebagai berikut :
1.      Rukhsah
Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia rukhsah diartikan sebagai pembebasan dari kewajiban berpuasa dan sebagainya[2]. Secara etimologi rukhsah berarti kemudahan, kelapangan,dan kemurahan. Secara istilah rukhsah adalah[3] :
ما ا ستثني من ا صل كلّي لعز ر شا قّ
Artinya :
Sesuatu hukum yang diatur syara’ karena ada satu keudzuran yang berat dan menyukarkan.
Dalam bukunya yang berjudul kaidah-kaidah hukum islam dan ilmu ushul fiqih Abdul wahab khallaf memberikan definisi rukhsah adalah hukum keringanan yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT atas orang mukallaf dalam kondisi-kondisi tertentu yang menghendaki keringanan atau sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah SWT karena uzur kesulitan dalam kondisi-kondisi tertentu[4].
Adapun Al-Baidawi memberikan definisi rukhsah sebagai hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya uzur[5]. Dalam islam diberikan keringanan oleh Allah untuk melaksanakan yang tidak boleh dikerjakan dalam kondisi biasa, namun dalam kondisi terpaksa diperbolehkan melaksanakan yang dilarang tersebut. Misalnya :
#sŒÎ)ur ÷Läêö/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçŽÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿtƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4 ¨bÎ) tûï͍Ïÿ»s3ø9$# (#qçR%x. ö/ä3s9 #xrßtã $YZÎ7B ÇÊÉÊÈ  
Artinya :
Dan apabila kamu musafir di muka bumi, maka kamu tidaklah berdosa "mengqasarkan" (memendekkan) sembahyang jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh Yang amat nyata bagi kamu.
( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ  
Artinya :
“maka sesiapa terpaksa (memakannya kerana darurat) sedang ia tidak mengingininya dan tidak pula melampaui batas (pada kadar benda Yang dimakan itu), maka tidaklah ia berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani”.
Menururt asy-syatibi[6] hukum menjalankan rukhsah adalah boleh, artinya kita boleh saja menjalankan rukhsah (keringanan), dan boleh juga meninggalkannya dan tidak berdosa bagi orang yang meninggalkan rukhsah.
Rukhsah yang disebabkan oleh udzur hanya ada pada empat hukum taklif, yaitu ijab, nadb, karahah, dan ibahah[7]. Misalnya :
1.      Rukhsah terhadap wajib, yaitu memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan dharurat. Hukum ini wajib menurut jumhur ulama.
2.      Rukhsah bersifat mandub, seperti mengkasar shalat bagi musafir. Menurut jumhur ulama ushul fiqh, mengqashar shalat dalam perjalanan hukumnya mandub, tetapi menurut ulama hanafiah mengkashar shalat bagi musafir tidak termasuk mandub, tetapi ‘azimah.
3.      Rukhsah bersifat mubah bagi dokter yang melihat aurat orang lain ketika berlangsungnya pengobatan. Melihat aurat orang lain haram hukumnya, namun untuk menolong orang tersebut, maka dibolehkan untuk melihatnya.
4.      Rukhsah bersifat makruh, apabila seseorang terpaksa mengucapkan kata-kata kafir, namun hatinya tetap beriman. Mengaku kafir adalah haram hukumnya karena dapat mengakibatkan ia murtad, sementara ia dipaksa maka hukumnya jadi makruh.
Dasar hukum rukhsah atau keringanan terdapat dalam surat al-baqarah ayat 185[8] :
߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#
Artinya :
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan”.
Dalam kaidah fiqh disebutkan bahwa rukhsah adalah “hukum yang pada praktiknya menyulitkan mukallaf, dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga beban tersebut berada dibawah kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.”

2.      Adh-dharurat
Adh-dharurat adalah jama’ dari kata dharurah, yang secara bahasa diartikan sebagai keadaan yang sangat sulit, dan merupakan isim masdar dari kata al-idhthirar. Secara istilah adh-dharurat diartikan sebagai keadaan yang memaksa untuk melakukan apa yang dilarang oleh syari’at islam[9]. Apabila tidak dilakukan akan mengakibatkan kemudharatan bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu para ulama membolehkan melakukan hal semacam itu dan dibenarkan oleh syara’. Para ulama jumhur mengartikan adh-dharurat adalah keadaan seseorang yang sampai pada batas apabila dia tidak melakukan apa yang dilarang akan menyebabkan dirinya mudharat[10].

Hikmah diperbolehkan yang diharamkan pada saat dharurat
Ada beberapa hikmah yang terdapat terhadap apa yang diharamkan oleh Allah, namun dalam kondisi tertentu dibolehkan seseorang untuk melakukan yang diharamkan oleh syara’[11]. Adapun hikmah dibalik itu adalah demi menjaga keselamatan nyawa orang yang bersangkutan. Seperti contoh, meminum arak, makan bangkai, darah, dan daging babi, sebenarnya mengkonsumsi barang tersebut adalah haram hukumnya (al-baqarah, ayat 173), namun kalau kondisinya sudah mendesak dan tidak ada makanan lain yang akan dikonsumsinya, maka hal tersebut dibolehkan. Sebab kalau dalam kondisi tersebut Allah tetap mengharamkannya, maka akan membawa dampak yang membahyakan baginya. Oleh karena itu Allah membolehkan memakan benda yang diharamkan dalam kondisi tersebut, dan tidak berdosa untuk mengkonsumsinya.
Selain itu, hikmah masalah ini juga bisa untuk kepentingan orang lain, seperti kasus kejahatan terhadap harta benda. Seseorang tentu mudharat apabila hartanya diambil oleh orang lain dengan cara yang tidak wajar, namun hal ini dibolehkan bagi seseorang yang merampas harta orang lain demi untuk mengatasi laparnya, dan tidak ada pilihan lain bagi orang tersebut kecuali merampas harta orang lain.
Kaidah-kaidah fiqh yang berkenan dengan kemudharatan
Ada bebrapa kaidah dan dalil yang mengatakan bahwa tidak semua kemudharatan dapat membolehkan yang haram. Adapun dalil-dalil dan kaidah-kaidahnya antara lain sebagai berikut :
ا لضر و ا ت تبيحو ا لمحضو ر ا ت
“Kemadharatan-kemadharatan itu dapat memperbolehkan keharaman[12]
Dasar nash kaidah diatas adalah firman Allah SWT :
 ôs%ur Ÿ@¢Ásù Nä3s9 $¨B tP§ym öNä3øn=tæ žwÎ) $tB óOè?ö̍äÜôÊ$# Ïmøs9Î) 3
“padahal Allah telah menerangkan satu persatu kepada kamu apa Yang diharamkanNya atas kamu, kecuali apa Yang kamu terpaksa memakannya” (al-an’am 119).
( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ  

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages