Jumat, 12 Juli 2024

 



Lembaga yang diberikan kewenangan untuk menerima, memeriksa, mengadili dan memutuskan kasus-kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat disebut pengadilan atau yang sering dikenal dengan kekuasaan yudikatif. Lembaga peradilan di Indonesia terdiri dari empat lingkungan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 18 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman terdiri dari Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Setiap lingkungan kekuasaan kehakiman tersebut memiliki kewenangannya masing-masing.

Ada dua istilah yang dikenal terkait kewenangan peradilan yaitu kewenangan absolut dan kewenangan relatif. Kewenangan absolut merupakan sebuah kewenangan yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai suatu perkara tertentu yang secara khusus disebutkan di dalam UU tersendiri. Artinya untuk mengetahui kewenangan absolut suatu peradilan dapat dilihat pada UU tersendiri yang mengaturnya. Misalnya, untuk mengetahui kewenangan Pengadilan Umum dapat dilihat pada UU Peradilan Umum, untuk mengetahui kewenangan Pengadilan Agama dapat dirujuk kepada UU Pengadilan Agama. Begitu pula dengan kewenangan Pengadilan Militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat dirujuk kepada UU tersendiri.

Sementara kewenangan relatif merupakan sebuah kewenangan yang diberikan kepada suatu Lembaga peradilan yang hanya berwenang mengadili sesuai dengan wilayah yurisdiksinya masing-masing. Lembaga pengadilan yang ada di Kabupaten/Kota hanya berwenang mengadili kasus yang terjadi di wilayah hukumnya. Sebuah pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bukan menjadi kewenangan relatifnya. Oleh karena itu, seseorang sebelum mengajukan perkaranya ke pengadilan harus mengetahui terlebih dahulu batasan-batasan kewenangan relatif suatu peradilan.  Konsekuensi yang muncul bila tetap diajukan ke lembaga pengadilan yang tidak sesuai dengan kewenangan relatifnya mengakibatkan gugatan yang diajukan tidak dapat diterima. Pasal 134 HIR menyatakan bahwa Jika perselisihan itu suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan pengadilan negeri maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu dapat diminta supaya hakim menyatakan dirinya tidak berkuasa dan hakimpun wajib mengakuinya karena jabatannya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa seorang dapat menyampaikan kepada majelis hakim bilamana perkara yang diajukan itu bukanlah kewenangannya.

Menurut Pasal 118 Ayat 1 HIR Pengadilan Negeri berwenang memeriksa gugatan yang daerah hukumnya, meliputi :

1.   Dimana tergugat bertempat tinggal;

2.   Dimana tergugat sebenarnya berdiam (jikalau tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya);

3.   Salah satu tergugat bertempat tinggal, jika ada banyak tergugat yang tempat tinggalnya tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan Negeri;

4.   Tergugat utama bertempat tinggal, jika hubungan antara tergugat-tergugat adalah sebagai yang berhutang dan penjaminnya;

5.   Penggugat atau salah satu dari penggugat ber tempat tinggal dalam hal :

a.    tergugat tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak diketahui dimana ia berada;

b.    tergugat tidak dikenal;

c.    Dalam hal tersebut diatas dan yang menjadi objek gugatan adalah benda tidak bergerak (tanah), maka ditempat benda yang tidak bergerak terletak;

d.    Ketentuan HIR dalam hal ini berbeda dengan Rbg. Menurut pasal 142 RBg, apabila objek gugatan adalah tanah, maka gugatan selalu dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri dimana tanah itu terletak.

Masing-masing peradilan mempunyai kewenangan obsolutnya. Peradilan Umum berwenang mengadili perkara perdata dan pidana yang terjadi di wilayah yurisdiksinya, Pengadilan Agama memiliki wewenang untuk mengadili perkara-perkara perkawinan, kewarisan, wakaf, hibah, wasiat, sadaqah dan perkara ekonomi syari’ah. Khusus di daerah Aceh ada kewenangan yang lebih diberikan kepada Mahkamah Syar’iyah, selain mengadili perkara sebagaimana yang telah disebutkan di atas juga berwenang mengadili perkara jinayat sebagaimana yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Begitu pula dengan Pengadilan Militer juga memiliki kewenangan untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer. Kemudian Pengadilan Tata Usaha Negara juga ada kewenangan yang khusus diberikan kepadanya yakni berkaitan dengan mengadili perkara-perkara yang objeknya keputusan yang diterbitkan oleh pejabat tata usaha negara.

 

Banda Aceh, 18 Februari 2023

Mansari


0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages

Blog Archive