Jumat, 22 April 2011

segala puji hanya bagi Allah, pemilik semesta alam. Tiada daya dan kekuatan kecuali darinya semata. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat.
Alhamdulillah, kali ini kami telah menghadirkan satu pembahasan yang temanya up to date dengan tema-tema yang lain yaitu hukum keluarga islam di turki. Hukum keluarga islam di turki merupakan tema yang menarik sekali untuk di kaji dan di pahami oleh semua orang, karena turki merupakan Negara yang di kenal dengan Negara sekuler. Turki tidak mengenal poligami, lain dengan Indonesia, meskipun dalam undang-undang no.1 tahun 1974 dinyatakan monogamy, namun dengan alasan-alasan tertentu di bolehkannya poligami.
Kami sadari bahwa makalah kami ini tidak luput dari pada kekurangan-kekurangan dalam penulisannya, dan jauh dari kesempurnaan seperti yang diinginkan,namun hal itu bukan suatu masalah yang dipersoalkan, karena yang namanya manusia memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Untuk itu kami harap kepada semua pihak apabila menemukan kejanggalan-kejanggalan harap diperbaiki untuk menyempurnakan makalah ini.












Pendahuluan
Turki merupakan negara modern yang di proklamirkan sejak tahun 1924, secara geografis memiliki wilayah yang membentang di dua benua eropa dan asia dengan luas 780,576 km2 dan terbagi atas 67 provinsi. Jumlah penduduk turki mencapai 55.4000,000 jiwa berdasarkan sensus penduduk pada tahun dengan tingkat kepadatan 71,1 jiwa/km2, dan prosentasi tempat tinggal 53 %hidup di perkotaan dan 47 %lainnya tinggal di pedesaan.
Turki memiliki satu motto nasional yaitu yurtta sulh, cihandra sulh (peace at home, peace in the word) menjamin kebebasan beragama. Meskipun demikian dari jumlah penduduk turki, mayoritas beragama islam dan minoritas terdiri dari berbagai kelompok, yaitu yahudi, katolik roma dan pengikut beberapa kelimpok ortodoks timur.
Mazhab yang di anut oleh negara turki adalah mazhab hanafi yang merupakan patokan dasar bagi negara turki dalam menerapkan hukum syari’ah sebelum di bentuknya atau di ratifikasinya hokum negara yang di kodikasi dalam undang-undang secara eklektikal. Undang-undang sipil atau yang di sebut juga dengan majallat al ahkam al ‘adliah.
Pada tahun 1915, kerajaan mengeluarkan dua dekrit tentang pembaruan hukum dalam bidang perkawinan yang secara khusus mengatur hak-hak perempuan terhadap perceraian. Di dalam dua dekrit tersebut dinyatakan bahwa perempuan di perbolehkan mengupayakan perceraian atas dasar di tinggalkan suami atau karena penyakit yang di deritanya.
Pada tahun 1926 turki membentukkan undang-undang sipil yang memuat tentang perkawinan, perceraian, hubungan keluarga dan kewarisan, di samping kontrak dan obligasi. Langkah ini menunjukkan ketertinggalan hukum keluarga sebagai kesatuan yang di dasarkan atas agama dan penyatuannya ke dalam undang-undang sipil modern.
Untuk menyelaraskan hukum sipil dengan tradisi turki maka hukum sipil tersebut di amandemen hingga enam kali dari tahun 1933-1965. Setelah hukum keluarga dan waris di amandemen serta di gabungkan denagan undang-undang.





Sejarah reformasi hukum keluarga di turki
Pembaruan hukum Islam dalam format perundang-undangan hukum keluarga dimulai pada tahun 1917 dengan disahkannya the ottoman law of family rights (Undang-undang tentang hak-hak keluarga) oleh Pemerintah Turki. Pembaruan hukum keluarga di Turki merupakan tonggak sejarah pembaruan hukum keluarga di dunia Islam dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum keluarga di negara-negara lain. Pembaruan hukum Islam dalam format perundang-undangan hukum keluarga3 dimulai pada tahun 1917 dengan disahkannya the ottoman law of family rights (Undang-undang tentang hak-hak keluarga) oleh Pemerintah Turki. Pembaruan hukum keluarga di Turki merupakan tonggak sejarah pembaruan hukum keluarga di dunia Islam dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum keluarga di negara-negara lain.
Imperium (kerajaan) utsmani memberlakukan system yudisial dan legal yang digabungkan dengan syari’ah khususnya yurisprudensi mazhab hanafi. Pengadilan-pengadilan dalam wilayah itu dalam menerapkan hukum dalam lembaganya, maka kebanyakan hukum yang di gunakan bermazhab hanafi, khususnya dalam bidang hukum keluarga maupun hukum-hukum dalam bidang lainnya. System ini di dukung oleh lembaga keeagamaan (religious institution) yang independen dan mandiri dari kekuasaaan kesultanan (kepala pemerintahan). Lembaga keagamaan sering di identikkan dengan lembaga pemerintah itu sendiri. Pada puncuk birokrasinya, leembaga ini di pimpin oleh seorang mufti (syekh al islam). Lemgaga mufti ini dapat di pilih dan di berhentikan oleh sultan di waktu-waktu tertentu, apabila lembaga mufti tersebut tidak mampu menjalankan tugas-tugas Negara,namun lembaga mufti ini lebih tinggi dan lebih di segani oleh rakyat di bandingkan sultan.
Dalam menjabat Negara, sultan tidak boleh semena-mena dalam menerapkan hukum syari’ah sebelum adanya persetujuan dari lembaga mufti, muftilah yang dapat melegalisasikan hukum dalam segala bidang. Selain itu juga, mufti juga memiliki wewenang dalam memilih para hakim untuk menjabat dalam lembaga pengadilan, untuk mengatur pemberlakuan hukum syari’ah dalam wilayah kerajaan. Semua lembaga-lembaga ini tidak berlaku laki ketika lengsernya kekuasaan utsmani pada abad 19. Untuk menyeragamkan serta untuk mensistematiskan system hukum, maka pada tahun 1839 keluarlah dekrit imperium hatt-I syarif sebagai pondasi bagi rezim legislative modern.
Pada tahun 1850-1858 di keluarkan undang-undang tentang perdagangan dan pidana yang sebagian besar digunakan rumusan dari hukum mazhab hanafi dan sebagian lagi dari hukum perancis.
Penetapan majallad al ahkam al ‘adliah yang merupakan undang-undang sipil pertama di dunia islam dilakukan bersamaan dengan gelombang modernisasi hukum dan westernisasi. Rumusan tersebut kebanyakan digunakan gunakan hukum syari’ah dam sebagian lagi hukum barat. Undang-undang ini tidak memuat aturan-aturan yang berkenaan dengan hukum perseorangan.
Untuk kasus-kasus yang berkaitan atau berhubungan dengan perseorangan, hubungan keluarga dan waris telah di atur oleh pemerintah utsmani secara formal dengan mengadopsi hukum dari mazhab hanafi, tetapi hanya berlangsung sampai tahun 1915, perubahan terjadi karena kondisi social yang terjadi, sekalipun upaya perealisasinya dilakukan secara bertahap.
Legislasi hukum keluarga (1915-1917)
Kerajaan mengeluarkan dua dekrit yang mereformasikan hukum matrimonial (yang berhubungan dengan keluarga) pada tahun 1915 dalam mazhab hanafi yang secara local terkait dengan hak-hak perempuan terhadap perceraian. Di dalam dekrit tersebut dinyatakan bahwa perempuan diperbolehkan mengupayakan perceraian atas dasar ditinggalkan oleh suami atau karena penyakit yang di deritanya. Artinya istri dapat mengajukan sengketa tersebut ke muka pengadilan atas dasar hal-hal diatas.
Dua tahun kemudian, imperium mengeluarkan undang-undang tentang hukum-hukum yang yang berhubungan dengan hukum keluarga yang berjudul “qanuuni qaraar huquuq al ‘ilah alutsmania” atau hukum utsmani yang mengatur hak-hak keluarga 1917, sebagian kecil pasal mengatur masalah waris yang terdiri dari 156 pasal.
Undang-undang sipil 1926
Turki awalnya Negara muslim dan menjadi Negara sekuler sejak revolusi kamal pasha pada tahun 1924, maka saat itulah bersemanyam paham sekuler. Meskipun pernah diupayakan bangkitnya kembali nuansa keagamaan tapi tidak pernah tercatat berhasil. Turki telah memberikan seluas-luasnya kebebasan dalam undang-undang personal islam dan menempatkannya kembali sebagaimana halnya undang-undang sekuler di Negara swiss.
Komisi reformasi hukum di bentuk untuk merancang draft hukum sipil yang konpherensif dan status personal yang mendasarkan pada sumber hukum islam yang di bentuk pada tahun 1923. Namun hal itu tidak berjalan seperti yang di harapkan, karena terjadi perbedaan pendapat antara anggota komite tersebut, perbedaan pendapat tersebut terjadi antara kalangan moderrnis, Turkish dan islamis. Ada alasan lain lagi yang mengatakan tidak terlaksana hal tersebut , karena waktunya bersamaan dengan kehancuran khalifah islam dan adanya deklarasi turki sebagai republic. Akibatnya, pimpinan sibuk mengurusi pembagian wilayah bebas imperium. Oleh karena itu, maka kodifikasi kembali dilakukan di kepemerintahan Mustafa kemal pasha pada tahun 1924 dengan mengadopsi system hukum sipil.
Adopsi dilakukan karena perbedaan internal antara ahli hukum islam yang gagal mengusahakan undang-undang yang didasarkan pada syari’ah. Adopsi dilakukan terhadap persoalan-persoalan yang sesuai dengan kondisi turki. Misalnya undang-undang sipil dan undang-undang criminal itali tahun 1889 dan undang-undang sipil swiss tahun 1920. Hanya sebagian kecil turki mengadopsi UU sipil swiss, yaitu bagian-bagian tertentu saja. Hal ini menunjukkan bahwa hukum islam dijadikan patokan dasar dalam menetapkan UU baru. Undang-undang sipil turki hanya memuat tentang perkawinan, perceraian, hubungan keluarga dan kewararisan.
Untuk mempercocokkan antara perundang-undangan dan tradisi islam di turki, maka langkah yang ditempuh adalah amandemen hingga enam kali dari tahun 1933-1965.
Hukum keluarga di turki
Materi yang menonjol dalam hukum perdata Turki tahun 1926 adalah ketentuan-ketentuan tentang pertunangan (terutama masalah taklik talak), batas usia minimal untuk kawin, poligami, pencatatan perkawinan, pembatalan perkawinan, perceraian, dan lain-lain. Menurut hukum perdata Turki tahun 1926, seorang suami atau isteri yang hendak bercerai diperbolehkan melakukan pisah ranjang. Jika setelah pisah ranjang dijalani pada waktu tertentu tidak ada perbaikan kondisi rumah tangga, maka masing-masing pihak mempunyai hak untuk mengajukan cerai di pengadilan.
a. Pertunangan (khitbah, betrothal)
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai. Meminang dengan cara tersebut diperbolehkan dalam agama islam terhadap gadis atau janda yang telah habis masa ‘iddahnya.
Ulama hanafiah menjelaskan bahwa khitbah atau pertunangan bertujuan untuk saling mengenal antara kedua belah pihak sebelum terlaksananya pernikahan dan untuk membawa sebuah perkawinan kepada kelanggengan yang abadi. Dalam hal pertunangan, apabila pihak yang mengadakan pertunangan mengingkari perjanjian yang telah mereka buat, maka pihak tersebut dikenakan sangsi untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang di rugikan atau ganti rugi terhadap biaya yang telah di keluarkan untuk mengadakan pesta perkawinan. Apabila ada hadiah yang di berikan dalam pertunangan, kemudian perkawinan di batalkan, maka hadiah tersebut harus di kembalikan kepada pemberinya. Lain halnya kegagalan tersebut di sebabkan karena kematian salah satu pihak, maka pemberian tersebut di anggap hilang. Menurut hanafiah, hadiah-hadiah yang di berikan saat khitbah merupakan hibah, dimana sang pemberi di perbolehkan untuk mengambilnya kembali. Pertunangan tidak secara tegas di jelaskan untuk mengadakan pesta tersebut kecuali pada akad pernikahan yang di sunatkan untuk mengadakannya.
b. Umur pernikahan
Dalam melakukan perkawinan, seseorang harus mencapai umur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Adapun umur untuk melakukan perkawinan bagi laki-laki adalah 18 tahun, dan 15 tahun bagi wanita. Namun pernikahan bisa juga dilangsungkan bila laki-laki masih berumur 15 tahun, dan 14 tahun bagi wanita, apabila pihak-pihak yang melakukannya sudah mendapatkan perizinan dari pengadilan dan dari orang tua dan wali mereka. Undang-undang yang mengatur masalah umur dalam perkawinan, sudah di amandemen, yaitu pada tahun 1938. Dalam fiqh hanafi tidak secara tegas menyatakan batas umur dalam perkawinan, namun secara tegas dinyatakan orang yang melakukan perkawinan harus baligh dan berakal, dan kedua-duanya sudah dikatakan sebagai subjek hukum atau orang yang sudah mempunyai hak dan kewajiban. Oleh karena itu, baligh hanyalah syarat bagi kelangsungan suatu tindakan hukum bukan merupakan syarat keabsahan pernikahan.
c. Orang-orang yang dilarang melakukan pernikahan
Dalam undang-undang turki menetapkan kategori orang-orang yang tidak dapat melakukan pernikahan. Larangan-larangan tersebut meliputi hubungan darah dalam garis langsung, saudara laki-laki, perempuan, bibi, paman, keponakan, saudara seibu, seayah dan juga melalui perkawinan.
Didalam pengadilan di turki dikenal istilah adopsi, adopsi ini merupakan salah satu penghalang dalam perkawinan, dan adopsi ini tidak jumpai dalam yurisprudensi islam. Dalam mazhab hanafi, penyebab terhalangnya pernikahan karena musaharah (ikatan pernikahan), persusuan, pernikahan dengan dua saudara kandung dalam satu waktu, pernikahan, musyrik, dan dengan hamba sahaya.
d. Poligami
Undang-undang di republic turki sangat melarang poligami atau pernikahan lebih dari seorang istri, selama perkawinan yang pertama masih berlangsung. Undang-undang turki menyatakan bahwa seseorang tidak menikah, jika dia tidak membuktikan pernikahan yang pertama bubar karena kematian, perceraian atau pernyataan pembatalan. Pernikahan tidak dianggap sah oleh pengadilan atas dasar bahwa oranng tersebut telah berumah tangga saat menikah.
Kebolehan poligami yang secara tegas dinyatakan oleh al-qur-an, dirubah secara suka rela oleh intelektual turki. Alasannnya adalah pembolehan poligami yang dinyatakan dalam al qur-an merupakan pembatasan poligami yang tidak terbatas pada jaman arab pra islam.
Mazhab hanafi dan mazhab-mazhab yang lain memperbolehkan praktek poligami dengan memberikan persyaratan-persyaratan tertentu, seperti mampu berbuat adil terhadap semua istrinya, baik aspek material atau immaterial.
e. Resepsi pernikahan
Undang-undang sipil turki menyatakan bahwa perkawinan dapat di rayakan menurut agama masing-masing apabila di kehendaki, dan pendaftaran harus di lakukan sebelum perayaan tersebut dilaksanakan. Setelah syarat-syarat yang telah di tentukan terpenuhi, maka kedua belah pihak boleh merayakan pernikahan. Walimah merupakan makanan pengantin atau makanan yang di hidangkan untuk sebuah jamuan. Menurut jumhur ulama, pengadaan walimah adalah sunnah muakkadah, sedangkan yang menghdirinya adalah sunnah.
f. Pembataln pernikahan
Sebuah perkawinan dapat dibatalkan dalam undang-undang sipil turki, apabila :
 Salah satu pihak telah berumah tangga saat menikah
 Salah satu pihak menderita sakit jiwa atau penyakit permanen lain
 Pernikahan termasuk yang dilarang.
Menurut hanafiah, perkawinan dapat di anggap batal apabila salah satu syarat atau rukun tidak terpenuhi, seperti pernikahan anak yang belum berusia teamyiz (usia sebelum baligh), pernikahan dengan sighat akan dating (ungkapan ijab dan qabul) yang mengindentifikasi untuk masa yang akan datang, pernikahan dengan salah seorang mahram, perniakhan dengan seseorang istri yang berstatus sebagai istri orang dan pernikahan dengan seorang muslimah dengan orang laki-laki non muslim atau sebaliknya.
g. Pernikahan yang tidak sah
Pengadilan menurut undang-undang turki di beri wewenang untuk menyatakan ketidakabsahan suatu pernikahandengan alas an yang telah di tetapkan, yatiu :
 Pada pada saat nikah ada penilaian dari salah satu pihak suami istri yang merasa di rugikan yang di pengaruhi oleh suatu alasan yang biasa melekat pada kasus-kasus yang bersifat sementara.
 Bahwa salah satu pihak dalam kenyatannya tidak bermaksud melakukan perjanjian pernikahan atau menikahi pasangannya.
 Bahwa salah satu pihak yang melakukan kontrak nikah memiliki anggapan yang valid bahwa pasangannya tidak memiliki kualitas seperti yang diinginkan sehingga membuat kehidupan perkawinan tidak dapat di tolelir untuk terus di lembagakan.
 Bahwa salah satu pihak dengan jelas mengetahui pasangannya yang berhubungan dengan karakter dan moralnya.
 Bahwa salah satu pihak menderita penyakit yang membahayakan kehidupan, kesehatan, financial atau membahayakan kerabat dekat.
 Bahwa salah satu pihak dipaksa menikah dengan ancaman yang membahayakan orang lain atau masih berusia kanak-kanak.
Untuk menciptakan keabsahan dalam suatu pernikahan, para ulama menetapkan 10 syarat agar keluarga menjadi bahagia dan kekal, diantara 10 syarat tesebut ada yang disepakati dan ada yang diperdebatkan. Persyaratan tersebut yaitu :
 Bukan mahram bagi laki-laki
 Ijab qabul tidak terporal
 Ada dua orang saksi yang adil
 Pernikahan dilakukan secara suka rela oleh kedua belah pihak atau tidak dengan paksaan
 Kedua calon mempelai jelas jati dirinya
 Tidak sedang melakukan haji atau umrah
 Mempelai laki-laki dan para para saksi tidak merahasiakan pernikahan
 Pernikahan dilakukan dengan memberi maskawin (mahar)
 Salah satu dari kedua calon mempelai tidak sedang sakit membahayakan
 Ada wali yang menikahkan
Perceraian dan pemisahan
Aturan hukum yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian mulai dirintis tahun 1915. Materi perubahan pada tahun tersebut adalah kewenangan (hak) untuk menuntut cerai yang menurut mazhab Hanafi hanya menjadi otoritas suami.15 Seorang isteri yang ditinggal pergi oleh suaminya selama bertahun-tahun atau suaminya mengidap penyakit jiwa ataupun cacat badan tidak dapat dijadikan dasar bagi isteri untuk meminta cerai dari suaminya.
Pada tahun yang sama dikeluarkan dua ketetapan umum. Pertama, dalam rangka menolong para isteri yang ditinggalkan suaminya secara resmi didasarkan pada mazhab Hambali (juga ajaran mazhab Maliki sebagai alasan pendukung). Kedua, dalam rangka memenuhi tuntutan perceraian dari pihak isteri dengan alasan suaminya.
Ketentuan tentang perceraian diatur pada Pasal 129 – 138 Hukum Perdata Turki tahun 1926. Suami atau isteri yang terikat dalam sebuah ikatan perkawinan dapat mengajukan perceraian kepada pengadilan dengan alasan-alasan yang telah ditentukan sebagai berikut :
1. salah satu pihak berbuat zina.
2. Salah satu pihak melakukan percobaan pembunuhan atau penganiayaan berat terhadap pihak lainnya.
3. Salah satu pihak melakukan kejahatan atau perbuatan tidak terpuji yang mengakibatkan penderitaan yang berat dalam kehidupan rumah tangga.
4. Salah satu pihak meninggalkan tempat kediaman bersama (rumah) tiga bulan atau lebih dengan sengaja dan tanpa alasan yang jelas yang mengakibatkan kerugian di pihak lain.
5. Salah satu pihak menderita penyakit jiwa sekurang-kurangnya 3 tahun atau lebih yang mengganggu kehidupan rumah tangga dan dibuktikan dengan surat keterangan ahli medis (dokter).
6. Terjadi ketegangan antara suami isteri secara serius yang mengakibatkan penderitaan.
Seiring dengan perkembangan zaman Hukum Perdata Turki tahun 1926 mengalami dua kali proses amandemen. Amandemen tahap pertama terjadi pada kurun waktu 1933 – 1956. hasil amandemen ini antara lain berkaitan dengan ganti kerugian, dispensasi kawin, pasangan suami isteri diberi kesempatan untuk memperbaiki hubungan ketika pisah ranjang, juga penghapusan segala bentuk perceraian di luar pengadilan, serta tersedianya perceraian di pengadilan yang 10
didasarkan pada kehendak masing-masing pihak (Pasal 125-132). Di samping itu pembayaran ganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan akibat perceraian dapat dilaksanakan jika didukung dengan fakta dan keadaan kuat.
Pengadilan turki dapat memberikan dekrit perceraian kepada pasangan suami istri, apabila mereka mintakan. Ada enam 6 syarat yang dapat membolehkan suami istri menuntut pengadilan mengeluarkan dekrit perceraian, yaitu :
 Salah satu pihak telah memutuskan
 Salah satu pihak telah menyebabkan luka bagi yang lain
 Salah satu pihak telah melakukan tindak krininal yang membuat hubungan perkawinan tidak bias di tolelir untuk dilanjutkan
 Salah satu pihak telah pindah rumah dengan cara tidak etis tanpa sebab yang jelas selama 3 bulan
 Salah satu pihak menderita penyakit mental yang membuat, yang dinyatakan dengan keterangan dokter dalam periode 3 bulan
 Hubungan suami istri sedemikian tegang sehingga hubungan perkawinan tidak bias ditolelir.
Kompensasi
Dalam undang-undang turki dan ciprus ditetapkan bahwa pengadilan boleh menetapkan uang ganti rugi yang harus dibayar salah satu dari suami istri untuk pasangan yang disakiti. Terkait dengan ganti rugi sebagaimana yang dimaksud, jika kerugian yang terjadi dalam bentuk suami tidak dapat dilayani sang istri, nafkah istri menurut ahli fiqh empat mazhab adalah gugur. Sebaliknya, jika sang istri yang dirugikan karena tidak dapat dilayani oleh sang suami, sang istri tetap mendapat nafkah.
Hukum waris
Buku ketiga dari undang-undang sipil turki berkaitan dengan kewarisan. Ini mengenal semua skema kewarisan tanpa wasiat, yang diadopsi dari undang-undang sipil swizerland. Hukum hanafi tentang kewarisan sebelumnya telah diikuti di turki sampai pada tahun 1926 dan kemudian diganti dengan skema baru. Salah satu bagian yang ditawarkan adalah kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam hal kewarisan.

Materi dan Metode Pembaruan Hukum Keluarga Turki

Perkembangan modern di dunia Islam disebabkan oleh empat faktor: (1) apakah suatu negara tetap mempertahankan kedudukannya atau didominasi oleh negara eropa. (2) Watak organisasi ulama atau kepemimpinan. (3) Perkembangan pendidikan Islam. (4) sifat kebijakan kolonial dari negara-negara penjajah. Pembaruan hukum Islam di Turki dapat berjalan lancar, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hukum keluarga diikuti oleh penduduk Turki. Walaupun terdapat perbedaan antara modernis dan tradisonalis, namun tidak sampai pada taraf antipati. Hal ini diantaranya disebabkan oleh watak organisasi ulama di Turki yang tidak mempunyai institusi keagamaan yang kuat seperti di Mesir (al-Azhar). Hal ini sebagai akibat dari sekularisasi yang diterapkan di Turki. Aturan-aturan hukum yang mengatur tentang perceraian dalam perundang-undangan Turki telah mengalami perkembangan yang cukup pesat jika dibandingkan dengan fiqh konvensional.

1. Otoritas pengajuan cerai yang sebelumnya mutlak berada di pihak suami, sedangkan istri tidak mempunyai hak sedikitpun untuk dan dengan alasan apapun, sejak munculnya hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 pihak istri diperbolehkan mengajukan perceraian.
2. Perceraian dilakukan di pengadilan yang didahului dengan permohonan cerai dari pihak suami atau isteri (Hasil Amandemen Pasal 129-135).
3. Dalam maslah perceraian menurut fiqh konvensional tidak dikenal istilah pisah ranjang (juditial separation). Hukum perdata Turki tahun 1926 mengatur dan membolehkan pisah ranjang.
4. Pihak suami isteri mempunyai hak yang seimbang dalam pengajuan cerai dengan mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan (Pasal 129-138 Hukum Perdata Turki 1926 dan Pasal 134-144 Hasil Amandemen Tahun 1990).

5. Suami atau isteri yang nusyuz (dalam hal ini zina yang dijadikan alasan perceraian) maka perlakuan terhadap suami yang zina sama dengan isteri yang zina.

6. Penyakit jiwaa dalam perundang-undangan Turki termasuk dalam alasan perceraian, sedang dalam fiqh konvensional berkaitan dengan fasakh.

7. Perundang-undangan Turki memberlakukan perceraian atas kesepakataan bersama (suami isteri) berdasar hasil Amandemen tahun 1988.

8. Masing-masing pihak yang merasa dirugikan pihak lain sebagai akibat perceraian diperbolehkan mengajukan tuntutan ganti rugi yang layak (Pasal 143 Hasil Amandemen tahun 1990).


Penutup
Turki merupakan Negara yang pertama kali mengalami pembaruan tentang hukum islam di bandingkan dengan Negara-negara islam yang lain, karena dimulai dengan munculnya hatt-I syarif (sebuah dekrit imperium turki yang diterbitkan tahun 1839 dan dimaksudkan sebagai pegangan unutk legislasi hukum modern.
Metode yang dipakai dalam pembaruan di turki menggunakan metode seperti yang di tulis oleh tahir mahmood, yaitu sebagai berikut :
 Pertunangan, tampak ada upaya kodifikasi hukum islam klassik dan adopsi cara-cara yang digunakan oleh adat setempat.
 Umur pernikahan
 Larangan pernikahan yang ditetapkan merupakan kodifikasi, karena mengangkat hukum islam sebagai bagian hukum yang dipositifkan.
 Poligami yang dipraktekkan di turki merupakan interpretasi lebih dari teks ajaran agama dengan mendasarkan bahwa setting historis yang menyebabkan ayat poligami diturunkan tidak sama dengan kondisi riil kehidupan orang-orang turki, sekalipun mestinyatidak harus dengan menetapkan pelarangan, maka hal ini termasuk ekstra doctrinal-reform.
 Resepsi yang di atur sedemikian rupa di turki tidak menyentuh aspek hukum yang substansial. Oleh karena itu pengaturan resepsi di turki hanya bersifat administrative.
 Pembatalan pernikahan yang diterapkan di turki adalah kodifikasi hukum islam klassik menjadi bagian hukum positif.
 Pernikahan yang dinyatakan tidak sah juga berdasar kodifikasi hukum.
 Mengenai kompensasi yang ditetapkan berbeda dengan orientasi kompensasi yang yang di tetapkan dalam hukum islam klassik, maka penetapan hukum ini bersifat ekstra doctrinal-reform.
 Persoalan hukum waris ditetapkan bersifat ekstra doctrinal.

Daftar pustaka
1. Rasjid sulaiman, fiqh islam, sinar baru algensindo, bandung, 2005.hal 380
2. Engineer asghar ali, islam masa kini, pustaka belajar, cet 1, Yogyakarta, 2004
3. M. muzdhar atho’, khairuddin nasution,hukum keluarga di dunia islam modern, ciputan press, Jakarta selatan, 2003.

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages