Kamis, 12 Maret 2015

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Aceh merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang diberikan istimewa oleh pemerintah pusat. Keistimewaaan yang diberikan itu dikarenakan kontribusi Aceh dalam mewujudkan kemerdekaan RI Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Atas perjuangan dan jasa-jasa para pahlawan dari Aceh sehingga dapat mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan. Oleh karenanya, provinsi lain tidak perlu iri melihat kondisi Aceh yang diperlakukan berbeda dengan Provinsi-Provinsi lain.
Aceh menuntut agar diberlakukan syari’at Islam secara kaffah, dengan senang hati pemerintah memberikannya.  Aceh meminta agar pemerintah memberikan otonomi khusus, pemerintah pusat juga tidak keberatan memberikannya. Sehingga banyak Undang-Undang di Aceh dewasa ini yang dapat kita saksikan betapa banyaknya kewenangan dan keistimewaan yang diberikan kepada Aceh. Seperti pada tahun 1999 pemerintah pusat telah mensahkan UU Nomor 44 tentang Keistimewaan Aceh yang memberikan keistimewaan kepada Aceh dalam bidang pendidikan, pelestarian kehidupan adat, dan penerapan syariat Islam. Kemudian pada tahun 2001 pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus yang diperuntukkan kepada provinsi Aceh. Kemudian pada tahun 2006 pemerintah juga telah mengesahkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Berbagai peraturan perundang-undangingin di atas mengindikasikan bahwa Aceh memiliki keistimewaan dan prestasi besar dibandingkan dengan provinsi lain. Dalam bidang hukum dan institusi penegakan hukum (institution of law enforcement) juga berbeda. Di provinsi lain, tidak dikenal mahkamah syar’iyah sebagai lembaga pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang diajukan oleh umat Islam kepadanya. Di daerah lain sebutan mahkamah syar’iyah masih dikenal dengan nama Pengadilan Agama sebagai pengadilan yang berwenang, memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara-perkara antara orang yang beragama Islam sesuai dengan kewenangan absolute dan relatifnya masing-masing. Dalam Pasal 25 menyatakan (1) Peradilan Syariat Islam provinsi NAD sebagai bagaian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun. (2) Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimanan dimaksudkan pada ayat (1) didasarkan atas syariat islam dalam sistem hukum nasional yang diatur lebih lanjut dengan qanun provinsi NAD. (3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam[1].
Selain itu, kewenangan dari Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah memiliki perbedaan yang signifikan. Mahkamah Syar’iyah diberikan kewenangan untuk mengadili perkara-perkara jinayah yang telah diatur oleh qanun-qanun atau hukum positif Aceh. Hal itu tidak diberikan kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan kasus-kasus pidana.
Kajian historis Mahkamah Syar’iah yang sekarang menjadi tempat menyelesaikan persoalan-persoalan umat Islam tentu menjadi kajian yang sangat menarik untuk dikaji. Mengingat Mahkamah Syar’iah merupakan yudicatif power yang hingga saat ini masih berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman yang membagi empat kekuasaan kehakiman, yakni Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Militer.[2] Keempat lingkungan Peradilan itu merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, sesuai dengan ruang lingkup wewenangnya masing-masing yang berpuncak pada Mahkamah Agung.[3] Dari keempat lembaga tersebut, disebutkan Mahkamah Syar’iyah sebagai lembaga kekuasaan kehakiman. Akan tetapi pada kenyataan empiris Mahkamah Syar’iyah di Aceh menjalankan tugas-tugas kekuasaan kehakiman yang menggantikan posisi pengadilan agama.

2. Rumusan Masalah
Untuk mengantisipasi agar pembahasannya tidak terlalu menyebar ke mana-mana, maka akan digunakan batasan atau patokan dalam bentuk dua buah pertanyaan umum yang ingin dicarikan jawabannya untuk dideskripsikan dalam pembahasan nanti. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini ialah sebagai berikut:
1.         Bagaimanakah sejarah perkembangan terbentuknya Mahkamah Syar’iyah di Aceh sebagai lembaga yang independen yang bertugas menerima, memeriksa dan mengadili serta memutuskan perkara yang diajukan kepadanya ?

B.     Tujuan Penulisan
Hampir tidak dijumpai bahwa setiap penulisan atau penelitian tanpa disertai oleh tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh penulis atau penelitinya. Akan tetapi setiap penulis atau peneliti memiliki tujuan yang ingin dicapai oleh penulis. Sama halnya dengan penulisan ini juga memiliki tujuan ingin dicapai, yaitu:
1.      Untuk mengetahui bagaimana sejarah perkembangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh sebagai lembaga yang bertugas menerima, memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang diajukan kepadanya.













BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN MAHKAMAH SYAR’IYAH DI ACEH

A.    Sejarah Perkembangan Terbentuknya Mahkamah Syar’iyah

Dalam setiap kajian historis, tidak bisa dilepaskan rentan waktu tertentu, pertumbuhan dan perkembangan. Begitu juga halnya dengan kajian historis Mahkamah Syar’iyah Aceh yang masih terjaga eksistensinya sampai sekarang. Proses terbentuknya Mahkamah Syar’iyah tidak langsung jadi, akan tetapi memiliki latar belakang sejarah yang panjang. Secara umum, dalam buku yang berjudul ‘Profil Mahkamah Syar’iyah Aceh’ terdapat tujuh periode perjalanan panjang Mahkamah Syar’iyah, yaitu:

1.      Zaman Kesultan Aceh
Zaman kejayaan Aceh, Peradilan Syariat Islam dipegang oleh “Qadhi Malikul Adil”. Status Qadhi Malikul Adil tersebut sederajat atau dipersamakan dengan posisi Mahkamah Agung sekarang. Pada saat itu kedudukannya di Kuta Raja (sekarang dikenal dengan Banda Aceh). Oleh karena statusnya sebagai mahkamah tertinggi, maka setiap putusan dari Mahkamah yang lebih rendah (putusan Qadhi Ulee Balang) dapat dimintakan banding kepada Qadhi Malikul Adil. [4]
Bentuk pemerintahan dan peradilan pada masa kerajaan Aceh dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu: peradilan tingkat Gampong, peradilan tingkat mukim, peradilan ulee balang dan pengadilan Sultan. Dalam menjalankan peradilan di tingkat Gampong, susunan dan tata kerjanya terdiri dari juru damai tingkat pertama yang diketuai oleh Keusyik dan juru damai tingkat kedua yang diketuai oleh imeum masjid atau imam mukim. Juru damai tingkat pertamahanya menyelesaikan perkara-perkara perdata dan pidana yang diajukan oleh penduduk daerahnya.[5]
Peradilan tingkat mukim berkedudukan di daerah kemukiman yang diketuai oleh kepala mukim sebagai hakim ketua dengan anggota-anggotanya yang terdiri dari imeum masjid yang bersangkutan, keuchik dan cerdik pandai. Peradilan mukim merupakan pengadilan tingkat kedua yang mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan yang diberikan oleh pengadilan tingkat Gampong. Para pihak yang berperkara dibebankan biaya perkara yang digunakan untuk keperluan persidangan. Biaya itu disebut dengan istilah “hak ganceng”.[6]
Pengadilan Ulee Balang diketuai oleh Ulee Balang sendiri, wakil ketua, seorang ulama atau Qadhi yang diangkat oleh Ulee Balang, anggotanya terdiri dari kepala mukim dan imeum masjid atau cerdik pandai dari wilayah kekuasaannya.[7]
Pengadilan Sultan merupakan pengadilan tertinggi yang mengadili perkara-perkara besar dan perkara yang dimintakan banding atau semacam permohonan kasasi. Susunan pengadilan ini diketuai oleh Sultan sendiri, wakil ketua adalah seorang ulama besar yang disebut Qadhi Malikul Adil, anggota-anggota adalah beberapa ulama ulee baling dan cerdik pandai. Penyelesaian perkara-perkara besar seperti perkara yang diancam dengan hukuman had dan qishash diketuai oleh Sultan sedangkan perkara biasa diketuai oleh Qadhi Malikul Adil sebagai ketua siding.[8]
2.      Zaman Hindia Belanda
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda tidak ada pemisahan antara Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri. Pada waktu itu hanya ada satu corak pengadilan untuk mengadili dan menyelesaikan perkara baik yang berhubungan dengan golongan Eropa atau yang dipersamakan dengan golongan Eropa maupun golongan bumi Putera sendiri.
Pada masa ini, Peradilan Syari’at Islam di Aceh merupakan bagian dari Peradilan Tingkat Ulee Balang yang diketuai oleh Ulee Balang itu sendiri. Untuk tingkat afdeeling dan onderafdeeling[9] disebut dengan “Meusapat”[10] dipimpin oleh Controleur dan Ulee Balang serta pejabat-pejabat tertentu sebagai anggotanya. Berkaitan dengan perkara hukum tentang agama diserahkan kepada Qadhi Ulee Balang untuk memutuskannya.[11]

3.      Zaman Pemerintahan Jepang
Jepang mengeluarkan Undang-Undang “Atjeh Syu Rey” No. 12 tanggal 15 Februari 1844 tentang Mahkamah Agama (Syukio Hooin) ada tiga tingkatan Peradilan di Aceh[12]:
a.       Syukio Hooin berkedudukan di Kuta Raja
b.      Seorang kepala Qadhi, yang anggotanya setiap kabupaten sekarang ini.
c.       Seorang Qadhi Son di setiap Son (Sekarang Kecamatan).
Pada saat itu, yang menjabat sebagai Ketua Syukyo Hooin adalah Tgk. H. Ja’far Siddiq dan anggota hariannya terdiri dari beberapa orang, yaitu: Tgk. Muhammad Daud Beureueh, Tgk. Hasbi Ash-Shiddieqy dan Said Abubakar.

4.      Awal Kemerdekaan
Pada awal Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya bertepatan pada 17 Agustus 1945, Gubernur Sumatera melalui surat kawat nomor 1189 tertanggal 13 Januari 1947 memberi izin kepada residen Aceh dengan kewenangan yang penuh (tidak memerlukan pengukuhan dari Pengadilan negeri). Dan relatif luas di bidang kekeluargaan (meliputi nafkah,  kekayaan bersama, hak pemeliharaan anak di samping perceraian dan pengesahan perkawinan) serta kewarisan di seluruh Aceh. Dengan adanya surat kawat dari Gubernur tersebut, Mahkamah Syar’iyah Aceh lebih dikembangkan kepada tiga tingkatan, yaitu: Mahkamah Syar’iyah Kenegerian (di kecamatan) ada 106 buah, Mahkamah Syar’iyah (di Kewedanaan)[13] ada 20 buah dan Mahkamah Syar’iyah Daerah Aceh di Kuta Raja sebagai Pengadilan tingkat terakhir waktu itu.[14]
Pada masa berdirinya Negara Federal Republik Indonesia Serikat pada 1949, Pengadilan yang diakui oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) adalah Pengadilan Swapraja, adat dan agama bahkan yang ada sebelum KRIS tetap berlaku. Pengadilan Agama masih tetap berlaku berdasarkan staatblad 1882 No. 152. Sementara khusus di Aceh, pembubaran provinsi ini menjadikan lembaga pengadilan agama tidak terurus dan tidak jelas statusnya. Keadaan ini menjadi lebih parah lagi karena pada tahun yang sama juga keluar UU No. 1 Darurat 1951 yang intinya membubarkan semua Peradilan Swapraja dan meleburkannya ke dalam Pengadilan Negeri. Meskipun pengadilan agama tidak dibubarkan akan tetapi di sisi lain kedudukan Pengadilan negeri semakin kuat dan system hukum warisan colonial membuat Pengadilan Agama terpinggirkan. Setelah Provinsi Aceh dibentuk kembali pada tahun 1956, usul untuk pemberian status yang lebih jelas dan diakui secara resmi kepada lembaga bentukan UU No. 1 Darurat 1957, pemerintah pusat mengeluarkan PP No. 29 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama di seluruh Aceh serta susunan dan kewenangannya.[15]

5. Periode Tahun 1970-1999
Pada tahun 1970-1999 Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Aceh dikembangkan ke seluruh Indonesia, kecuali Jawa-Madura dan sebagian Kalimantan Selatan dan Timur. Pengembagan ini diatur berdasarkan PP No. 45 tahun 1957 sekaligus mencabut PP No. 29 Tahun 1957).[16]
            Dengan hadirnya UU No. 14 tahun 1970, kedudukan pengadilan agama sejajar dengan pengadilan umum, pengadilan militer dan pengadilan tata usaha Negara, pembinaan tehnis yustisial dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan Organisatoris, administratif dan financial dilakukan oleh Departemen Agama. Kemudian pada tahun 1980 berdasarkan keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 6 tahun 1980, penyebutan pengadilan agama menjadi sama yakni pengadilan agama. Menurut Hamid Sarong, masuknya otoritas eksekutif dalam kekuasaan kehakiman ini disinyalir sebagai salah satu factor penyebab utama kekuasaan kehakiman di negeri ini menjadi tidak independen.[17]

6. Era Reformasi
Setelah Orde Baru tumbang, lahirlah Undang-Undang No. 44 tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh, yang memberikan kewenangan relatif luas pada Provinsi Aceh. Undang-Undang No. 44 tahun 1999 mengangkat dan menghidupkan kembali Keistimewaan Aceh dan memungkinkan secara nyata dalam masyarakat. Dalam penjelasan Undang-undang nomor 44 tahun 1999 dinyatakan bahwa isi Keputusan Perdana Menteri RI No.1/Missi/59 tentang keistimewaan Provinsi Aceh yang meliputi agama, peradatan, dan pendidikan yang selanjutnya diperkuat dengan Undang-undang No. 12 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah bahkan disertai dengan pembahasan peran ulama dalam menentukan kebijakan daerah. [18]          
            Secara normatif yuridis, Aceh telah memiliki landasan untuk melaksanakan syari’at Islam. Landasan normatif yuridis adalah Undang-Undang  Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggro Aceh Darussalam.[19] Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 mengamanatkan bahwa Mahkamah Syar’iyah diberi kewenangan baru untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara-perkara jinayat. Pemberlakuan jinayat merupakan sesuatu yang baru bagi sejarah peradilan agama di Indonesia.[20] Pasal 49 qanun nomor 10 tahun 2002 mengatakan bahwa mahkamah syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang, ahwal syakhsiyah, mu’amalah, dan jinayah. Wewenang sebagaimana termuat dalam Pasal 49 didasarkan pada Pasal 25 UU Nomor 18 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa kewenangan Mahkamah Syar’iyah didasarkan atas syari’at Islam dalam system hukum nasional yang diatur lebih lanjut dengan qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.[21] Sebelum dikeluarkan keputusan presiden RI No. 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, terdapat dua pandangan tentang pembentukan Mahkamah Syar’iyah berkenaan dengan pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2001. Pertama, mahkamah syar’iyah merupakan badan peradilan tersendiri di luar pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama. Kedua, mahkamah syar’iyah merupakan pengembangan dari pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama yang mengacu kepada UU No. 7 Tahun 1989 tentang pengadilan Agama.[22] Akhirnya melalui proses panjang, Mahkamah Syar’iyah diresmikan pada tanggal 1 Muharram 1424 H, yang bertepatan dengan tanggal 4 Maret 2003. Dasar hukum peresmiannya adalah kepres No. 11 Tahun 2003, yang pada hari itu dibawa dari Jakarta dan dibacakan dalam upacara peresmian. Isi kepres tersebut adalah perubahan nama pengadilan agama menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Tinggi Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah Provinsi dengan penambahan kewenangan yang akan dilaksanakan secara lengkap.[23]
Penandatangan persetujuan damai antara Pemerintah RI dengan GAM di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 telah melahirkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Keberadaan UU tersebut sangat mempengaruhi dan memperkuat kedudukan Mahkamah Syar’iyah dengan memberikan tempat khusus sebagai lembaga yudikatif, dan berdampingan dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif.[24]



[1] Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2010, Hlm 183-184
[2] Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, cet. 1, (Jakarta Pusat: Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), 2008), hlm, 3.
[3] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 160.

[4] Soufyan M. Saleh, Profil Mahkamah Syar’iyah Aceh, (Banda Aceh: Mahkamah Syar’iyah Aceh, 2007), hlm. 4.
[5] Hamid Sarong, Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah Syar’iyah Aceh (Lintasan Sejarah Dan Eksistensinya), (Banda Aceh: Global Education Institute, 2012), hlm. 27.
[6] Ibid.,, hlm. 28.
[7] Ibid.,,hlm. 29.
[8] Hamid Sarong, Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah Syar’iyah Aceh (Lintasan Sejarah Dan Eksistensinya), (Banda Aceh: Global Education Institute, 2012), hlm. 30.
[9] Maksud dari tingkat afdeeling dan onderafdeeling adalah daerah-daerah di luar aceh besar dan singkil).lihat Prof. Hamid Sarong..,.,.,.,.,.hlm. 31.
[10] Meusapat yaitu hakim besar di Aceh Besar dan Wilayah Singkil yang berkedudukan pada tempat kedudukan controleur yang dasar hukumnya sebagaimana pada districtrechter. Sedangkan districtarechter (hakim distrik) yaitu hakim kecil di afdeeling Aceh Besar dan Singkil dengan kekuasaannya meliputi seluruh distrik susunannya sebagai berikut: yang menjadi hakim ialah kepala-kepala distrik yaitu Ulee Balang dan Kepala Mukim (zelf standing Mukim hoof). Lebih lanjut lihat juga bukunya Prof. Hamid Sarong, Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah Syar’iyah Aceh., ), hlm.32-333.
[11] Soufyan M. Saleh, Profil Mahkamah Syar’iyah Aceh, (Banda Aceh: Mahkamah Syar’iyah Aceh, 2007), hlm. 4.
[12] Ibid.,, hlm. 4.
[13] Soufyan M. Saleh menyebutnya dengan istilah Pengadilan Tingkat Banding, lihat juga Soufyan M. Saleh, Profil Mahkamah Syar’iyah Aceh,.,.,.hlm. 4.
[14] Hamid Sarong, Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah Syar’iyah Aceh (Lintasan Sejarah Dan Eksistensinya), (Banda Aceh: Global Education Institute, 2012), hlm. 44.
[15] Ibid.,,,hlm. 45.
[16] Soufyan M. Saleh, Profil Mahkamah Syar’iyah Aceh, (Banda Aceh: Mahkamah Syar’iyah Aceh, 2007), hlm. 6.
[17] Hamid Sarong, Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah Syar’iyah Aceh (Lintasan Sejarah Dan Eksistensinya), (Banda Aceh: Global Education Institute, 2012), hlm. 49.
[18]  Ibid, Hlm 187
[19] Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik & Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 317.
[20] Ibid.,, hlm. 360.
[21] Ibid., hlm. 366.
[22] Husni Jalil, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Negara Kesatuan RI Berdasarkan UUD 1945, (Bandung: CV. Utomo, 2005), hlm. 208.
[23] Hamid Sarong, Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah Syar’iyah Aceh .,,hlm. 54.
[24] Soufyan M. Saleh, Profil Mahkamah Syar’iyah Aceh, (Banda Aceh: Mahkamah Syar’iyah Aceh, 2007), hlm. 7.

1 komentar:

  1. Situs Judi Bola Online Casino, Situs Judi Online Casino
    Daftar & mainkan slot online gacor, poker 바카라 online dan slot88 Indonesia. 카지노사이트 Mainkan 100% casino bonus dengan kasih jackpot terbesar Join 메리트카지노 Now.

    BalasHapus

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages