BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Aceh merupakan salah
satu Provinsi di Indonesia yang diberikan istimewa oleh pemerintah pusat.
Keistimewaaan yang diberikan itu dikarenakan kontribusi Aceh dalam mewujudkan
kemerdekaan RI Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Atas
perjuangan dan jasa-jasa para pahlawan dari Aceh sehingga dapat mengantarkan Indonesia
ke pintu gerbang kemerdekaan. Oleh karenanya, provinsi lain tidak perlu iri
melihat kondisi Aceh yang diperlakukan berbeda dengan Provinsi-Provinsi lain.
Aceh menuntut agar
diberlakukan syari’at Islam secara kaffah, dengan senang hati pemerintah
memberikannya. Aceh meminta agar
pemerintah memberikan otonomi khusus, pemerintah pusat juga tidak keberatan
memberikannya. Sehingga banyak Undang-Undang di Aceh dewasa ini yang dapat kita
saksikan betapa banyaknya kewenangan dan keistimewaan yang diberikan kepada Aceh.
Seperti pada tahun 1999 pemerintah pusat telah mensahkan UU Nomor 44 tentang Keistimewaan
Aceh yang memberikan keistimewaan kepada Aceh dalam bidang pendidikan,
pelestarian kehidupan adat, dan penerapan syariat Islam. Kemudian pada tahun
2001 pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang otonomi
khusus yang diperuntukkan kepada provinsi Aceh. Kemudian pada tahun 2006
pemerintah juga telah mengesahkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintah Aceh.
Berbagai peraturan
perundang-undangingin di atas mengindikasikan bahwa Aceh memiliki keistimewaan
dan prestasi besar dibandingkan dengan provinsi lain. Dalam bidang hukum dan
institusi penegakan hukum (institution of law enforcement) juga berbeda.
Di provinsi lain, tidak dikenal mahkamah syar’iyah sebagai lembaga pengadilan
yang berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang
diajukan oleh umat Islam kepadanya. Di daerah lain sebutan mahkamah syar’iyah
masih dikenal dengan nama Pengadilan Agama sebagai pengadilan yang berwenang,
memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara-perkara antara orang yang beragama
Islam sesuai dengan kewenangan absolute dan relatifnya masing-masing. Dalam
Pasal 25 menyatakan (1) Peradilan
Syariat Islam provinsi NAD sebagai bagaian dari sistem peradilan nasional
dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun.
(2) Kewenangan Mahkamah Syar’iyah
sebagaimanan dimaksudkan pada ayat (1) didasarkan atas syariat islam dalam
sistem hukum nasional yang diatur lebih lanjut dengan qanun provinsi NAD.
(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam[1].
Selain itu, kewenangan
dari Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah memiliki perbedaan yang
signifikan. Mahkamah Syar’iyah diberikan kewenangan untuk mengadili
perkara-perkara jinayah yang telah diatur oleh qanun-qanun atau hukum positif Aceh.
Hal itu tidak diberikan kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan kasus-kasus
pidana.
Kajian historis
Mahkamah Syar’iah yang sekarang menjadi tempat menyelesaikan
persoalan-persoalan umat Islam tentu menjadi kajian yang sangat menarik untuk
dikaji. Mengingat Mahkamah Syar’iah merupakan yudicatif power
yang hingga saat ini masih berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan
kehakiman yang membagi empat kekuasaan kehakiman, yakni Pengadilan Negeri,
Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Militer.[2] Keempat
lingkungan Peradilan itu merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, sesuai dengan
ruang lingkup wewenangnya masing-masing yang berpuncak pada Mahkamah Agung.[3] Dari
keempat lembaga tersebut, disebutkan Mahkamah Syar’iyah sebagai lembaga
kekuasaan kehakiman. Akan tetapi pada kenyataan empiris Mahkamah Syar’iyah di Aceh
menjalankan tugas-tugas kekuasaan kehakiman yang menggantikan posisi pengadilan
agama.
2. Rumusan Masalah
Untuk mengantisipasi
agar pembahasannya tidak terlalu menyebar ke mana-mana, maka akan digunakan
batasan atau patokan dalam bentuk dua buah pertanyaan umum yang ingin dicarikan
jawabannya untuk dideskripsikan dalam pembahasan nanti. Adapun yang menjadi
rumusan masalah dalam penulisan ini ialah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah
sejarah perkembangan terbentuknya Mahkamah Syar’iyah di Aceh sebagai lembaga
yang independen yang bertugas menerima, memeriksa dan mengadili serta
memutuskan perkara yang diajukan kepadanya ?
B. Tujuan Penulisan
Hampir tidak dijumpai
bahwa setiap penulisan atau penelitian tanpa disertai oleh tujuan-tujuan yang
ingin dicapai oleh penulis atau penelitinya. Akan tetapi setiap penulis atau
peneliti memiliki tujuan yang ingin dicapai oleh penulis. Sama halnya dengan
penulisan ini juga memiliki tujuan ingin dicapai, yaitu:
1. Untuk
mengetahui bagaimana sejarah perkembangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh sebagai
lembaga yang bertugas menerima, memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang
diajukan kepadanya.
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN MAHKAMAH
SYAR’IYAH DI ACEH
A. Sejarah Perkembangan Terbentuknya Mahkamah Syar’iyah
Dalam setiap kajian
historis, tidak bisa dilepaskan rentan waktu tertentu, pertumbuhan dan
perkembangan. Begitu juga halnya dengan kajian historis Mahkamah Syar’iyah Aceh
yang masih terjaga eksistensinya sampai sekarang. Proses terbentuknya Mahkamah
Syar’iyah tidak langsung jadi, akan tetapi memiliki latar belakang sejarah yang
panjang. Secara umum, dalam buku yang berjudul ‘Profil Mahkamah Syar’iyah Aceh’
terdapat tujuh periode perjalanan panjang Mahkamah Syar’iyah, yaitu:
1. Zaman Kesultan Aceh
Zaman kejayaan Aceh,
Peradilan Syariat Islam dipegang oleh “Qadhi Malikul Adil”. Status Qadhi
Malikul Adil tersebut sederajat atau dipersamakan dengan posisi Mahkamah
Agung sekarang. Pada saat itu kedudukannya di Kuta Raja (sekarang dikenal
dengan Banda Aceh). Oleh karena statusnya sebagai mahkamah tertinggi, maka
setiap putusan dari Mahkamah yang lebih rendah (putusan Qadhi Ulee Balang)
dapat dimintakan banding kepada Qadhi Malikul Adil. [4]
Bentuk pemerintahan dan
peradilan pada masa kerajaan Aceh dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu: peradilan
tingkat Gampong, peradilan tingkat mukim, peradilan ulee balang dan pengadilan
Sultan. Dalam menjalankan peradilan di tingkat Gampong, susunan dan tata
kerjanya terdiri dari juru damai tingkat pertama yang diketuai oleh Keusyik dan
juru damai tingkat kedua yang diketuai oleh imeum masjid atau imam mukim. Juru
damai tingkat pertamahanya menyelesaikan perkara-perkara perdata dan pidana
yang diajukan oleh penduduk daerahnya.[5]
Peradilan tingkat mukim
berkedudukan di daerah kemukiman yang diketuai oleh kepala mukim sebagai hakim
ketua dengan anggota-anggotanya yang terdiri dari imeum masjid yang
bersangkutan, keuchik dan cerdik pandai. Peradilan mukim merupakan pengadilan
tingkat kedua yang mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan oleh pihak
yang tidak puas terhadap putusan yang diberikan oleh pengadilan tingkat Gampong.
Para pihak yang berperkara dibebankan biaya perkara yang digunakan untuk
keperluan persidangan. Biaya itu disebut dengan istilah “hak ganceng”.[6]
Pengadilan Ulee Balang
diketuai oleh Ulee Balang sendiri, wakil ketua, seorang ulama atau Qadhi yang
diangkat oleh Ulee Balang, anggotanya terdiri dari kepala mukim dan imeum
masjid atau cerdik pandai dari wilayah kekuasaannya.[7]
Pengadilan
Sultan merupakan pengadilan tertinggi yang mengadili perkara-perkara besar dan
perkara yang dimintakan banding atau semacam permohonan kasasi. Susunan
pengadilan ini diketuai oleh Sultan sendiri, wakil ketua adalah seorang ulama
besar yang disebut Qadhi Malikul Adil, anggota-anggota adalah beberapa ulama
ulee baling dan cerdik pandai. Penyelesaian perkara-perkara besar seperti
perkara yang diancam dengan hukuman had dan qishash diketuai oleh Sultan
sedangkan perkara biasa diketuai oleh Qadhi Malikul Adil sebagai ketua siding.[8]
2. Zaman Hindia Belanda
Pada masa pemerintahan
Hindia Belanda tidak ada pemisahan antara Pengadilan Agama dengan Pengadilan
Negeri. Pada waktu itu hanya ada satu corak pengadilan untuk mengadili dan
menyelesaikan perkara baik yang berhubungan dengan golongan Eropa atau yang dipersamakan
dengan golongan Eropa maupun golongan bumi Putera sendiri.
Pada masa ini,
Peradilan Syari’at Islam di Aceh merupakan bagian dari Peradilan Tingkat Ulee
Balang yang diketuai oleh Ulee Balang itu sendiri. Untuk tingkat afdeeling dan
onderafdeeling[9]
disebut dengan “Meusapat”[10]
dipimpin oleh Controleur dan Ulee Balang serta pejabat-pejabat tertentu
sebagai anggotanya. Berkaitan dengan perkara hukum tentang agama diserahkan
kepada Qadhi Ulee Balang untuk memutuskannya.[11]
3. Zaman Pemerintahan Jepang
Jepang mengeluarkan
Undang-Undang “Atjeh Syu Rey” No. 12 tanggal 15 Februari 1844 tentang
Mahkamah Agama (Syukio Hooin) ada tiga tingkatan Peradilan di Aceh[12]:
a. Syukio Hooin berkedudukan di Kuta
Raja
b. Seorang
kepala Qadhi, yang anggotanya setiap kabupaten sekarang ini.
c. Seorang
Qadhi Son di setiap Son (Sekarang Kecamatan).
Pada saat itu, yang
menjabat sebagai Ketua Syukyo Hooin adalah Tgk. H. Ja’far Siddiq dan
anggota hariannya terdiri dari beberapa orang, yaitu: Tgk. Muhammad Daud
Beureueh, Tgk. Hasbi Ash-Shiddieqy dan Said Abubakar.
4. Awal Kemerdekaan
Pada awal Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya bertepatan pada 17 Agustus 1945, Gubernur Sumatera melalui surat
kawat nomor 1189 tertanggal 13 Januari 1947 memberi izin kepada residen Aceh
dengan kewenangan yang penuh (tidak memerlukan pengukuhan dari Pengadilan
negeri). Dan relatif luas di bidang kekeluargaan (meliputi nafkah, kekayaan bersama, hak pemeliharaan anak di
samping perceraian dan pengesahan perkawinan) serta kewarisan di seluruh Aceh.
Dengan adanya surat kawat dari Gubernur tersebut, Mahkamah Syar’iyah Aceh lebih
dikembangkan kepada tiga tingkatan, yaitu: Mahkamah Syar’iyah Kenegerian (di
kecamatan) ada 106 buah, Mahkamah Syar’iyah (di Kewedanaan)[13]
ada 20 buah dan Mahkamah Syar’iyah Daerah Aceh di Kuta Raja sebagai Pengadilan
tingkat terakhir waktu itu.[14]
Pada masa berdirinya
Negara Federal Republik Indonesia Serikat pada 1949, Pengadilan yang diakui
oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) adalah Pengadilan Swapraja,
adat dan agama bahkan yang ada sebelum KRIS tetap berlaku. Pengadilan Agama
masih tetap berlaku berdasarkan staatblad 1882 No. 152. Sementara khusus di Aceh,
pembubaran provinsi ini menjadikan lembaga pengadilan agama tidak terurus dan
tidak jelas statusnya. Keadaan ini menjadi lebih parah lagi karena pada tahun
yang sama juga keluar UU No. 1 Darurat 1951 yang intinya membubarkan semua Peradilan
Swapraja dan meleburkannya ke dalam Pengadilan Negeri. Meskipun pengadilan
agama tidak dibubarkan akan tetapi di sisi lain kedudukan Pengadilan negeri
semakin kuat dan system hukum warisan colonial membuat Pengadilan Agama
terpinggirkan. Setelah Provinsi Aceh dibentuk kembali pada tahun 1956, usul
untuk pemberian status yang lebih jelas dan diakui secara resmi kepada lembaga
bentukan UU No. 1 Darurat 1957, pemerintah pusat mengeluarkan PP No. 29 tahun
1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama di seluruh Aceh serta susunan dan
kewenangannya.[15]
5. Periode Tahun 1970-1999
Pada tahun 1970-1999 Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah di Aceh dikembangkan ke seluruh Indonesia, kecuali
Jawa-Madura dan sebagian Kalimantan Selatan dan Timur. Pengembagan ini diatur
berdasarkan PP No. 45 tahun 1957 sekaligus mencabut PP No. 29 Tahun 1957).[16]
Dengan
hadirnya UU No. 14 tahun 1970, kedudukan pengadilan agama sejajar dengan
pengadilan umum, pengadilan militer dan pengadilan tata usaha Negara, pembinaan
tehnis yustisial dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan Organisatoris,
administratif dan financial dilakukan oleh Departemen Agama. Kemudian pada
tahun 1980 berdasarkan keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 6 tahun
1980, penyebutan pengadilan agama menjadi sama yakni pengadilan agama. Menurut
Hamid Sarong, masuknya otoritas eksekutif dalam kekuasaan kehakiman ini
disinyalir sebagai salah satu factor penyebab utama kekuasaan kehakiman di
negeri ini menjadi tidak independen.[17]
6. Era Reformasi
Setelah Orde Baru tumbang, lahirlah Undang-Undang No.
44 tahun 1999 tentang keistimewaan
Aceh, yang memberikan kewenangan relatif luas pada Provinsi
Aceh. Undang-Undang
No. 44 tahun 1999 mengangkat dan
menghidupkan kembali Keistimewaan Aceh dan memungkinkan secara nyata dalam
masyarakat. Dalam penjelasan Undang-undang nomor 44 tahun 1999 dinyatakan bahwa
isi Keputusan Perdana Menteri RI No.1/Missi/59 tentang keistimewaan Provinsi Aceh
yang meliputi agama, peradatan, dan pendidikan yang selanjutnya diperkuat
dengan Undang-undang No. 12 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah bahkan
disertai dengan pembahasan peran ulama dalam menentukan kebijakan daerah. [18]
Secara
normatif yuridis, Aceh telah memiliki landasan untuk melaksanakan syari’at Islam.
Landasan normatif yuridis adalah Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh dan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggro Aceh Darussalam.[19] Pasal
49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 mengamanatkan bahwa Mahkamah Syar’iyah diberi
kewenangan baru untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara-perkara jinayat.
Pemberlakuan jinayat merupakan sesuatu yang baru bagi sejarah peradilan agama
di Indonesia.[20]
Pasal 49 qanun nomor 10 tahun 2002 mengatakan bahwa mahkamah
syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang, ahwal syakhsiyah,
mu’amalah, dan jinayah. Wewenang sebagaimana termuat dalam Pasal
49 didasarkan pada Pasal 25 UU Nomor 18 Tahun 2001 yang menyebutkan bahwa
kewenangan Mahkamah Syar’iyah didasarkan atas syari’at Islam dalam system hukum
nasional yang diatur lebih lanjut dengan qanun provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.[21]
Sebelum dikeluarkan keputusan presiden RI No. 11 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, terdapat dua pandangan tentang pembentukan
Mahkamah Syar’iyah berkenaan dengan pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2001. Pertama,
mahkamah syar’iyah merupakan badan peradilan tersendiri di luar pengadilan
agama dan pengadilan tinggi agama. Kedua, mahkamah syar’iyah merupakan
pengembangan dari pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama yang mengacu
kepada UU No. 7 Tahun 1989 tentang pengadilan Agama.[22] Akhirnya
melalui proses panjang, Mahkamah Syar’iyah diresmikan pada tanggal 1 Muharram
1424 H, yang bertepatan dengan tanggal 4 Maret 2003. Dasar hukum peresmiannya
adalah kepres No. 11 Tahun 2003, yang pada hari itu dibawa dari Jakarta dan
dibacakan dalam upacara peresmian. Isi kepres tersebut adalah perubahan nama
pengadilan agama menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Tinggi Agama menjadi
Mahkamah Syar’iyah Provinsi dengan penambahan kewenangan yang akan dilaksanakan
secara lengkap.[23]
Penandatangan
persetujuan damai antara Pemerintah RI dengan GAM di Helsinki pada tanggal 15
Agustus 2005 telah melahirkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.
Keberadaan UU tersebut sangat mempengaruhi dan memperkuat kedudukan Mahkamah
Syar’iyah dengan memberikan tempat khusus sebagai lembaga yudikatif, dan
berdampingan dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif.[24]
[2]
Ahmad
Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, cet. 1, (Jakarta Pusat: Ikatan
Hakim Indonesia (IKAHI), 2008), hlm, 3.
[3] Cik Hasan Bisri, Peradilan
Agama di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 160.
[4] Soufyan M.
Saleh, Profil Mahkamah Syar’iyah Aceh, (Banda Aceh: Mahkamah Syar’iyah
Aceh, 2007), hlm. 4.
[5]
Hamid Sarong,
Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah Syar’iyah Aceh (Lintasan Sejarah Dan
Eksistensinya), (Banda Aceh: Global Education Institute, 2012), hlm. 27.
[8]
Hamid Sarong,
Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah Syar’iyah Aceh (Lintasan Sejarah Dan
Eksistensinya), (Banda Aceh: Global Education Institute, 2012), hlm. 30.
[9] Maksud dari
tingkat afdeeling dan onderafdeeling adalah daerah-daerah di luar
aceh besar dan singkil).lihat Prof. Hamid Sarong..,.,.,.,.,.hlm. 31.
[10] Meusapat yaitu hakim besar di
Aceh Besar dan Wilayah Singkil yang berkedudukan pada tempat kedudukan controleur
yang dasar hukumnya sebagaimana pada districtrechter. Sedangkan districtarechter
(hakim distrik) yaitu hakim kecil di afdeeling Aceh Besar dan Singkil
dengan kekuasaannya meliputi seluruh distrik susunannya sebagai berikut: yang
menjadi hakim ialah kepala-kepala distrik yaitu Ulee Balang dan Kepala Mukim (zelf
standing Mukim hoof). Lebih lanjut lihat juga bukunya Prof. Hamid Sarong,
Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah Syar’iyah Aceh., ), hlm.32-333.
[11]
Soufyan M.
Saleh, Profil Mahkamah Syar’iyah Aceh, (Banda Aceh: Mahkamah Syar’iyah
Aceh, 2007), hlm. 4.
[13] Soufyan M.
Saleh menyebutnya dengan istilah Pengadilan Tingkat Banding, lihat juga Soufyan
M. Saleh, Profil Mahkamah Syar’iyah Aceh,.,.,.hlm. 4.
[14] Hamid Sarong,
Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah Syar’iyah Aceh (Lintasan Sejarah Dan
Eksistensinya), (Banda Aceh: Global Education Institute, 2012), hlm. 44.
[15] Ibid.,,,hlm.
45.
[16]
Soufyan M.
Saleh, Profil Mahkamah Syar’iyah Aceh, (Banda Aceh: Mahkamah Syar’iyah
Aceh, 2007), hlm. 6.
[17]
Hamid Sarong,
Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah Syar’iyah Aceh (Lintasan Sejarah Dan
Eksistensinya), (Banda Aceh: Global Education Institute, 2012), hlm. 49.
[19] Achmad
Gunaryo, Pergumulan Politik & Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), hlm. 317.
[20] Ibid.,,
hlm. 360.
[21] Ibid., hlm.
366.
[22] Husni Jalil, Eksistensi
Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Negara Kesatuan RI
Berdasarkan UUD 1945, (Bandung: CV. Utomo, 2005), hlm. 208.
[23]
Hamid Sarong,
Hasnul Arifin Melayu, Mahkamah Syar’iyah Aceh .,,hlm. 54.
[24]
Soufyan M.
Saleh, Profil Mahkamah Syar’iyah Aceh, (Banda Aceh: Mahkamah Syar’iyah
Aceh, 2007), hlm. 7.
Situs Judi Bola Online Casino, Situs Judi Online Casino
BalasHapusDaftar & mainkan slot online gacor, poker 바카라 online dan slot88 Indonesia. 카지노사이트 Mainkan 100% casino bonus dengan kasih jackpot terbesar Join 메리트카지노 Now.