Jumat, 12 Juli 2024

 


Pelecehan seksual merupakan salah satu jarimah (tindak pidana) yang diatur dalam Qanun Hukum Jinayat yang berlaku di Aceh selain sembilan jenis jarimah lainnya yaitu Khamar, Maisir, khalwat, ikhtilat, zina, pemerkosaan, qadzaf, liwath dan musahaqah. Kesepuluh jarimah tersebut untuk saat ini sudah menjadi kewenangan Mahkamah Syar'iyah dalam mengadili dan memutuskannya. Sebelumnya hanya tiga jenis jarimah yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar'iyah yaitu kasus khamar, maisir dan khalwat berdasarkan Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar, Qanun Aceh Nomor 13 tentang Maisir, Qanun Aceh Nomor 14 tentang Khalwat. Pasca disahkannya Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (QHJ), kewenangan Mahkamah Syar'iyah semakin bertambah dalam mengadili perkara jinayat menjadi 10 jarimah, termasuk di dalam kasus pelecehan seksual.

Setelah disahkannya QHJ, memang awalnya masih terjadinya tumpang tindih kewenangan antara Mahkamah Syar'iyah dan Pengadilan Negeri dalam mengadili perkara pemerkosaan dan pelecehan seksual. Sebagian Mahkamah Syar'iyah sudah menerima dan mengadili perkara tersebut, namun sebagian yang lain tidak mengadilinya karena tidak dilimpahkan oleh JPU. JPU melimpahkan ke Pengadilan Negeri. Hal ini disebabkan karena memang awalnya kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual masuk ke dalam kategori tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan UU Perlindungan Anak yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri sehingga tepat dan berwenang Pengadilan Negeri dalam mengadili perkara pemerkosaan dan pelecehan seksual. Namun setelah dimasukkan ke dalam Qanun Hukum Jinayat sudah mulai beralih kewenangan menjadi kewenangan Mahkamah Syar'iyah. 

Dinamika dalam penegakan kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan masih tetap terjadi meskipun jarimah pelecehan seksual dan pemerkosaan telah diatur dalam QHJ. Tumpang tindih kewenangan pun masih ada di antara Mahakamah Syar'iyah dan Pengadilan Negeri. Dorongan dari masyarakat sipil pun sangat tinggi yang mendesak supaya kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan yang korbannya anak supaya diadili oleh Pengadilan Negeri dengan dasar bahwa dasar hukum yang digunakan bisa menjadi lebih tinggi yaitu UU Perlindungan Anak, sedangkan ancaman hukuman bagi pelaku yang diatur dalam QHJ lebih rendah dari UU Perlindungan Anak. Dinamika kewenangan mengadili barulah berakhir setelah lahirnya Surat Edara dari Kejaksaan Agung Nomor SE-2/E/11/2020 tentang Pedoman Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum dengan Hukum Jinayat di Provinsi Aceh. Sejak saat itulah baru kasus pelecehan seksual dan Mahkamah Syar'iyah diadili oleh Mahkamah Syar'iyah. 

QHJ jinayat mengklasifikasi jarimah pelecehan seksual menjadi dua kategori, yaitu pertama yang korbannya anak dan kedua korbannya adalah orang dewasa. Untuk kasus pelecehan seksual yang korbannya adalah anak, ancamannya diberikan lebih tinggi dibandingkan dengan ancaman hukuman yang diberikan kepada kasus yang korbannya orang dewasa. Pemberian hukuman yang lebih tinggi kepada korban yang masih berstatus anak bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak.

Berkaitan dengan pengaturan tentang jarimah pelecehan seksual dapat dilihat pada Pasal 46 QHJ yang menyatakan bahwa Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah pelecehan seksual, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 45 (empat puluh lima) kali atau denda paling banyak 450 (empat ratus lima puluh) gram emas murni atau penjara paling lama 45 (empat puluh lima) bulan. Kemudian Pasal 47 QHJ menyatakan bahwa Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Pelecehan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terhadap anak, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 90 (sembilan puluh) kali atau denda paling banyak 900 (sembilan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 90 (sembilan puluh) bulan.

Berdasarkan kedua ketentuan di atas dapat dipahami bahwa ancaman hukum terhadap pelaku yang korbannya anak adalah tiga alternatif pilihan yaitu Cambuk 90 kali atau denda 900 gram emas murni atau 90 bulan penjara. Sedangkan untuk kasus pelecehan seksual yang korbannya adalah orang dewasa, ancaman hukumannya 45 kali cambuk atau 450 gram emas murni atau 45 bulan penjara. Dengan kata lain, hukuman yang diberikan kepada pelaku yang korbannya anak adalah dua kali lipat dari orang dewasa. Ancaman tersebut bersifat alternatif yang dapat dipilih salah satu oleh JPU dan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku.

Banda Aceh, 16 Februari 2023

Mansari


j.     


0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages

Blog Archive