Sabtu, 14 Maret 2015

BAB SATU
PENDAHULUAN

Aristoteles pernah mengatakan bahwa manusia adalah makhluk social (zoon politicon) yang ingin selalu hidup berdampingan dengan manusia lainnya. Dalam pergaulannya sehari-hari antar individu akan berhadapan dengan konflik akibat kepentingan-kepentingan antar individu tidak terealisasikan dengan baik. Konsekuensi dari tidak terpenuhinya hak dan kewajiban akan menimbulkan sengketa antar sesama yang membutuhkan penyelesaian melalui lembaga formal yang disebut dengan pengadilan atau sebuah lembaga yang diberikan otoritas untuk menyelesaikan dan mengakhiri perkara bagi para pencari keadilan.
Hakim sebagai orang yang menerima dan mengadili perkara di Pengadilan memiliki peran penting dalam mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Kepada hakimlah para pencari keadilan mencari agar hak-haknya dapat dikembalikan sebagaimana mestinya. Hal ini didasarkan bahwa Negara Indonesia sebagai Negara hukum (rechtstaat) yang harus menempatkan supremasi hukum di atas segala-galanya. Oleh karena itu, sangat beralasan bagi para pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan.
Untuk merealisasikan nilai-nilai keadilan kepada masyarakat, tentunya hakim tidak hanya berpedoman pada hukum-hukum tertulis semata atau hakim tidak hanya menganut paham positivism hukum yang menghendaki agar setiap putusan hakim harus memutuskan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perundang-undangan. Dalam pandangan tersebut menghendaki agar Hakim tidak memutuskan perkara di luar seperti yang dirumuskan dalam undang-undang. Di samping itu, paham tersebut telah menempatkan hakim sebagai terompet undang-undang yang tidak boleh memutuskan melebihi seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
Berpegang pada paham positivism, tidak akan mencapai nilai-nilai keadilan yang diiginkan oleh masyarakat. Karena hakim yang menerima, memeriksa dan mengadili perkara di pengadilan berhadapa langsung dengan masyarakat, sekaligus mengetahui secara pasti terhadap peristiwa-peristiwa konkrit berdasarkan pemeriksaan di persidangan. Sedangkan undang-undang masih bersifat abstrak sehingga bila diterapkan langsung kepada kasus seperti yang dikehendaki oleh undang-undang akan mustahil didapatkannya keadilan oleh masyarakat. Oleh karenanya, dalam teori-teori hukum, selain adanya teori positivism yang menghendaki agar hakim memutuskan seperti yang telah diatur dalam undang-undang, terdapat pula teori realism hukum yang menghendaki agar setiap putusan itu didasarkan pada kenyataan empiris (real). Karena hukum itu bersifat dinamis yang akan mengikuti perubahan hukum dan masyarakat. Untuk itu, penulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan apa  substansi atau inti dari teori realism hukum dan apa manfaatnya bagi para pencari keadilan.

BAB DUA
PEMBAHASAN
1.      Teori Realisme Hukum
Teori realisme hukum merupakan teori yang lahir dari teori empirisme yang oleh David Hume dipadukan menjadi pengetahuan yang pada intinya mempunyai pandangan bahwa hukum itu didapatkan pada kenyataan empiris (real). Empirisme menolak pengetahuan yang hanya mengandalkan penalaran logis ala rasionalisme abad 18. Ide-ide rasional menurut empirisme bukanlah segala-galanya. Ia tidak bisa diandalkan sebagai sumber tunggal. Ide-ide itu perlu dipastikan kebenarannya dalam dunia empiris. Dari situlah kebenaran sejati dapat diraih.[1]
 Realisme hukum adalah suatu aliran pemikiran yang dimulai di Amerika Serikat. Teori ini dipelopori oleh tokoh-tokoh terkenal dan terbaik dari kalangan realism seperti : John Chipman Gray, Oliver Wendel Holmes, Jerome Frank, Dan Karl Llewellyn. Realisme berarti berhubungan dengan dunia nyata, dunia sebagaimana ia nyatakan berlangsung. Realism hukum berarti suatu studi tentang hukum sebagai sesuatu yang benar-benar nyata dilaksanakan, ketimbang sekedar hukum sebagai sederetan aturan yang hanya termuat dalam perundang-undangan, tetapi tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, sebagian pakar memandang bahwa pendekatan realis merupakan bagian penting dari pendekatan sosiologi terhadap hukum.[2]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa substansi dari teori realisme adalah hukum itu didasarkan pada kenyataan empiris bukan didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Hal ini mengindikasikan hukum itu tidak mesti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam bentuk tertulis. Akan tetapi menurut teori ini, hukum itu apa yang sebenarnya terjadi dalam praktek empiris.
2.      Macam-Macam Realisme Hukum
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa kajian dari teori Realisme hukum yaitu mengkaji hukum dalam konteks  realitas, maka tidak terlepas kajiannya dengan praktek hakim di pengadilan sebagai penegak hukum (law enforcement) dan prilaku manusia dalam kehidupan empiris. Oleh karena itu, realism hukum itu dibagi menjadi dua kelompok, yakni Realisme hukum Amerika yang menitikberatkan pada pengalaman-pengalaman praktis hakim dalam mengadili perkara, dan Realisme hukum Skandinavia yang lebih menekankan pada prilaku manusia sebagai suatu kenyataan empiris. Untuk lebih jelasnya, kedua golongan tersebut akan digambarkan dalam uraian berikut ini:



a.      Realisme hukum Amerika
Aliran realisme hukum yang berkembang di Amerika memilki teman sehaluan yang sama-sama menggunakan gerakan “realisme” adalah Realisme di Skandinavia. Jika diamati beberapa ciri khas dari aliran realis Skandinavia,  aliran realisme tersebut mempunyai pandangan yang lebih empirikal dari realisme hukum di bandingkan realism di amerika serikat.
Realisme hukum Amerika menempatkan empirisme dalam sentuhan pragmatisme atau sikap hidup yang menekankan aspek manfaat dan kegunaan berdasarkan pengalaman. Kehidupan sehari-hari adalah dunia pengalaman. Dunia pengalaman tidak bisa dipotret lewat skema ideal-ideal yang spekulatif. Ia hanya bisa ditangkap keutuhannya lewat pengalaman. Itulah sikap realistis untuk memahami realita.[3] Cirri utama dari realism Amerika didasarkan pada manfaat praktis (pragmanisme). Pendekatan pragmatisme tidak percaya pada bekerjanya hukum menurut ketentuan-ketentuan hukum di atas kertas. Hukum bekerja mengikuti peristiwa-peristiwa konkrit.[4]
Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim. Seperti yang diungkapkan oleh Chipman Gray “all the law is judge made law”, semua yang dimaksudkan dengan hukum adalah putusan hakim. Hakim lebih sebagai penemu hukum daripada pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundang-undangan.[5]

b.      Realisme Hukum Skandinavia
Aliran ini menempatkan empirisme dalam sentuhan psikologi. Aliran ini berkembang di Uppsala, Swedia pada awal abad 20. Konsep penting dari realism hukum Skandinavia adalah mencari kebenaran suatu pengertian dalam situasi tertentu dengan menggunakan psikologi. Tidak seperti realisme hukum Amerika (yang memberi perhatian pada praktek hukum dari para pelaksana hukum), realisme hukum Skandinavia justrru menaruh perhatian pada prilaku manusia ketika berada dalam “control” hukum. Dengan memanfaatkan psikologi, para eksponen aliran ini mengkaji prilaku manusia (terhadap hukum) untuk menemukan arti hukum yang sebenarnya.
Ekponen penganut realism hukum realism hukum Skandinavia di antaranya, Axel Hegerstrom, Olivecrona, Lundstet, dan Ross. Para penganut ini secara tegas menolak metafisika hukum, dengan membela nilai-nilai yang dapat diverifikasi secara ilmiah atas gejala hukum yang faktual. Di sisi lain aliran ini juga menolak ajaran Positivisme Hukum dari John Austin, karena menurutnya; John Austin membiarkan begitu saja tanpa penjelasan terhadap berbagai karakteristik yang hakiki dari hukum. Tegasnya, aliran realisme Skandinavia memandang bahwa hukum itu berfungsi dalam masyarakat, lebih dari hanya sekedar rasa takut (fear) kepada perintah atasan atau takut terhadap sanksi dari pada penguasa. Padahal yang penting ditemukan adalah, masyarakat mematuhi hukum adalah suatu tindakan yang baik dan benar.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa substansi penting dari realisme hukum Skandinavia adalah lebih menekankan aspek psikologi hukum dalam kenyataan empiris kehidupan manusia. Hukum memiliki relevansi erat dengan perilaku masyarakat dalam kehidupan. Perbedaan  dari realisme Amerika dibanding dengan realisme Skandinavia yakni “menitikberatkan” kepada “Perilaku-Perilaku Hakim”. Sementara aliran realisme Amerika melakukan penyelidikan terhadap hukum yang tumbuh dari perhatian hak-hak dan kewajiban subjek hukum atau dengan kata lain lebih banyak memfokuskan diri pada “gejala hukum” di masyarakat.
3.      Hukum Itu Perilaku Hakim
Perlu dikemukakan sekali lagi bahwa berbicara teori realisme hukum tidak pernah luput tokoh yang mengembangkannya yakni hakim Oliver Wendel Holmes (1841-1935) dam Jerome Frank (1889-1959), serta ahli ilmu social Karl Llewellyn (1893-1957).[6] Oliver Wendel Holmes sebagai seorang hakim mengemukakan sebuah teori yang disebut dengan teori “hukum itu perilaku hakim”.
Dalam teorinya, holmes menjelaskan aturan hukum aturan hukum bukanlah poros sebuah keputusan yang berbobot. Aturan tidak bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan yang kompleks. Lagi pula kebenaran riil bukan terletak dalam undang-undang, tapi pada kenyataan hidup. Inilah titik tolak teori tentang kebebasan hakim yang diusung oleh Oliver Holmes dan Jerome Franks (eksponen realisme hukum Amerika). Hukum yang termuat dalam aturan, hanya suatu generalisasi mengenai dunia ideal. Tapi menurut Holmes, seorang pelaksana hukum (hakim) sesungguhnya menghadapi gejala-gejala hidup secara realistis.
Teori para pemikir realism bisa juga digolongkan sebagai salah satu versi teori di bidang penerapan hukum. Karena ketika hukum diterapkan, hakim di hadapapkan pada wilayah das sein, hukum tidak lagi berdiri dalam singgasana das sollen. Artinya berdasarkan kasuistik hakim akan menerapkan aturan-aturan hukum demi terwujudnya keadilan sebagaimana tujuan hukum itu sendiri yakni mewujudkan keadilan bagi para pencari keadilan. Menurut Geny sebagai penganut teori etis, tujuan hukum adalah untuk merealisasikan keadilan bagi masyarakat[7]. Sedangkan Jeremy Bentham dalam teorinya yang sangat popular yakni Teori Utilities (endaemonistis) menerangkan bahwa tujuan hukum ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi mausia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest number). Pada hakekatnya menurut teori initujuan hokum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar jumlahnya bagi orang.[8]
Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas yudikatif power di Pengadilan, hakim sering menggunakan pendekatan interpretion dalam menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Interpretation adalah usaha untuk menggali, menemukan dan memahami nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, untuk dijadikan sebagai bahan (dasar) pertimbangan dalam menyusun hukum dan menetapkan suatu keputusan dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang timbul dalam masyarakat, sehingga terwujud tujuan hukum itu sendiri, yaitu keadilan. Bila melakukan suatu pendekatan dalam mengamati fenomena social dalam masyarakat, yang kemudian hasil pengamatan itu digunakan untuk memecahkan suatu permasalahan (dalam hal ini adalah permasalahan hukum meliputi penggalian, penyusunan, pemeliharaan dan penegakan hukum, maka dapat disebut tercapai tujuan interpretasi.[9]
Pendekatan interpretasi di dunia pengadilan telah menjadi bagian dari kebiasaan yang tidak terpisahkan di dunia pengadilan. Karena sifat dari hukum itu selalu berubah-rubah (dinamis). Roscoe Pound mengemukakan dalam bukunya yang berjudul interpretation of legal history, bahwa law must be stable and yet it cannot stand still. Pound memperlihatkan usahanya untuk mengungkapkan mengapa hukum itu selalu “dinamis” dengan menelusuri nilai-nilai dan norma-norma yang ada dan berkembang dalam masyarakat yang selalu berubah-rubah sesuai perkembangan pemikiran masyarakat pada setiap waktu dan tempat. Kedinamisan hukum yang demikian, membuat pound berasumsi bahwa hukum itu relative. Yang dimaksudkan relative disini adalah berubah sesuai dengan waktu dan tempat yang sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Namun hukum memiliki sifat universal karena hanya ada satu ide dari hukum, yaitu keadilan.[10] Perubahan-perubahan social dan perubahan hukum atau sebaliknya tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsure-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya atau mungkin hal yang sebaliknya terjadi. Apabila hal demikian terjadi, maka terjadilah social lag, yaitu suatu keadaan di mana terjadi ketidakseimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan.[11]
4.      Hukum Itu Rasa Wajib / Takut
Teori hukum itu rasa wajib / takut dikemukakan oleh Alf Ross dari kalangan realism Scandinavia. Ross menempatkan hukum dalam kerangka fisio-psikis. Menurut Ross, semua gejala yang muncul dalam pengalaman tentang hukum harus diselidiki sebagai gejala psiko-fisis. Bagi Ross dan para pengikut realism Scandanivia  seperti Axel Hangerstrom, A.V. Lundstredt, K. Olivercrona, ilmu hukum harus bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan empiris yang relevan dalam bidang hukum. Kenyataan itu didapatkan dalam perasaan-perasaan psikologis. Perasaan itu tampak pada rasa wajib, rasa kuasa, ataupun rasa takut akan reaksi lingkungan.
Dalam kerangka psikologis itulah, ross menjelaskan timbulnya hukum sebagai aturan masyarakat yang bersifat mewajibkan karena ada hubungan antara perbuatan yuridis dan sanksinya. Jika berbuat tidak sesuai seperti yang dituntut oleh ketentuan hukum, maka akan dikenakan sanksi baginya, begitu juga sebaliknya jika ia menaati aturan hukum, maka tidak akan dikenakan sanksi bagi dirinya. Oleh karena adanya rasa takut yang dirasa oleh masyarakat terhadap sanksi hukum, secara otomatis akan menaati aturan-aturan hukum yang berlaku.
Menurut Rossm timbulnya aturan yang bersifat wajib dapat diterangkan melalui empat tahap, yaitu, adanya paksaan (an actual system of compulsion), takut akan paksaan, situasi di mana orang-orang sudah mulai menjadi biasa dengan cara hidup demikian dan lama kelamaan mulai memandang cara hidup itu sebagai suatu yang seharusnya, dan yang terakhir situasi hidup bersama di mana norma-norma kelakuan ditentukan oleh intansi-instansi yang berwibawa. Orang akhirnya terbiasa merasa wajib untuk menaati apa yang diputuskan oleh pihak yang berwibawa.

BAB TIGA
KESIMPULAN
Dari berbagai pembahasan yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan beberapa kesimpulan dalam uraian ringkas berikut ini.
1.      Teori Realisme hukum merupakan sebuah teori hukum yang bertugas mengakaji hukum yang berlaku dalam kenyataan empiris masyarakat. Dengan kata lain, praktek realitas yang dilakukan masyarakat menjadi kajian penting dalam teori ini. Hukum bukan hanya sekedar yang terdapat dalam produk hukum atau ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perundang-undangan, akan tetapi hukum itu terlihat dalam tatanan praktis.
2.      Teori hukum realisme terbagi dalam dua bentuk, yaitu realisme Amerika dan Realisme Scandinivia. Realism Amerika lebih menekankan pada praktek hukum dari pelaksana / penegak hukum (law enforcement) dalam hal ini pengadilan sebagai lembaga Negara yang diberikan tugas yudikatif untuk menerima, mengadili dan memutuskan perkara yang diajukan kepadanya. Hakim yang akan menilai berdasarkan fakta-fakta konkrit yang terdapat dalam persidangan atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih. Sedangakan realisme Scandinivia lebih menekankan pada prilaku manusia dalam kenyataan empiris untuk menemukan arti hukum yang sebenarnya.
3.      Terdapat dua teori hukum yang mengkaji hukum dalam kenyataan empiris, yaitu teori “hukum itu Perilaku hakim” yang dikemukakan oleh Oliver Holmes dan teori “Hukum itu rasa wajib / takut” yang dikemukakan oleh Alf Ross. Teori hukum itu perilaku hakim menerangkan bahwa, hakim lah sebagai pelaksana undang-undang yang menerapkan hukum pada kenyataan empiris. Hakim yang mengetahui duduk persoalaannya ketika mengadili kasus-kasus yang diajukan kepadanya. Sedangkan teori “hukum itu rasa wajib/takut” menerangkan bahwa adanya pengaruh timbal balik antara sanksi hukum dengan perilaku manusia. Sehingga masyarakat merasa wajib menaati hukum oleh karena takut akan adanya sanksi yang dikenakan baginya bila tidak melaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki oleh undang-undang.

Referensi:

Achmad Ali, Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum (Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012).
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Semarang: Genta Publising, 2003).
Qodry Azizy, Elektisisme Hukum Nasional (Komptetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum), (Yogyakarta: Gama Media, 2004).
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003).
Sukarno Aburaera, Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum (Teori dan Praktek), (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2013).
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005).
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).




[1] Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Semarang: Genta Publising, 2003), hlm. 165.
[2] Achmad Ali, Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum (Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 45.
[3] Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Semarang: Genta Publising, 2003), hlm. 165.
[4] Sukarno Aburaera, Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktek, (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2013), 133.
[5] Sukarno Aburaera, Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktek, (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2013), hlm. 133.
[6] Qodry Azizy, Elektisisme Hukum Nasional (Komptetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum), (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm. 206.
[7] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm. 77.
[8] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm. 80.
[9] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 41.
[10] Ibid., hlm. 42.
[11] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 115. 

Pelatihan-Pelatihan Yang Pernah Diikuti

1.      Workshop dan Pelatihan Kajian Metodelogi Penelitian Ilmu Sosial di Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya Unsyiah pada tanggal 11-14 November 2013.
2.      Pelatihan Karya Latih Bantuan Hukum (KALABAHU) dengan Tema “Menciptakan Pengabdi Bantuan Hukum Untuk Rakyat Miskin” Selama 02-19 Februari 2015 di LBH Banda Aceh.
3.      Pelatihan Penggunaan Microsoft Office Word di Lembaga Pendidikan Studio Ilmu (Pusat Studi Komputer dan Bahasa Asing sejak 20 November sampai 9 Desember 2012 di Banda Aceh.
4.      Pelatihan Bahasa Mandarin Selama 100 Jam di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Karya Tulis Yang Pernah dipublikasi:

1.       Wi-FI Gratis, Edisi Sabtu 20 Oktober 2012 di Media Lokal Serambi Indonesia. http://aceh.tribunnews.com/2012/10/20/wi-fi-gratis
2.      Qanun Acara Jinayah, Mengapa Tidak? Edisi Selasa 4 Desember 2012 Serambi Indonesia. http://aceh.tribunnews.com/2012/12/04/qanun-acara-jinayat-mengapa-tidak
3.      Beasiswa dan Mutu Pendidikan, Edisi 16 Februari 2013 Serambi Indonesia. http://aceh.tribunnews.com/2013/02/16/beasiswa-dan-mutu-pendidikan
4.      Perlukan Produk Hukum Demokratis? Edisi Sabtu 16 maret 2013 Serambi Indonesia. http://aceh.tribunnews.com/2013/03/16/perlukah-produk-hukum-demokratis
5.      Kontemplasi Penerapan Syari’at Islam, Edisi Sabtu 31 Agustus 2013 Serambi Indonesia. http://aceh.tribunnews.com/2013/08/31/kontemplasi-penerapan-syariat-islam

Pengalaman Research:

1.      Pernah menjadi animinator lapangan dalam research “Indeks Biaya Pencatatan Perkawinan di Banda Aceh” Bersama Peneliti Senior dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Ah Azharuddin Lathif, MA Pada Tahun 2013.
2.      Pernah Meneliti bersama Peneliti Senior UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Bapak Drs. Muslim Zainuddin, M.Si dengan Judul “Potret Pekerja Anak di Kota Banda Aceh (Studi Terhadap Efektifitas Penerapan Qanun Aceh No. 11 Tahun 2008 Tentang Perlindungan Anak).



Kamis, 12 Maret 2015



BAB SATU
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan karunia Allah yang harus dipelihara, dilindungi, dan diberikan perlindungan dengan sebaik-baiknya demi terwujud kehidupan anak yang baik. Sebagai generasi penerus bangsa, di mana mereka yang akan menggantikan kepemimpinan sekarang memiliki kontribusi besar dalam membangun Negara di masa yang akan datang. Oleh karenanya, pemerintah, masyarakat, dan keluarga wajib memelihara anak dengan sebaik-baiknya dalam rangka menciptakan generasi yang tangguh dan bermartabat. Hal ini dikarenakan, bahwa anak pada usianya yang masih kecil memerlukan kehadiran orang lain untuk menjaga dan melindunginya dari hal-hal yang berbahaya. Karena pada usia tersebut anak tidak dapat melakukannya sendiri tanpa dibantu oleh orang lain.
            Perhatian kepada anak, bukan hanya menjadi isu local, regional maupun nasional, akan tetapi sudah menjadi isu internasional. Banyak instrument hukum internasional yang memberikan perlindungan khusus kepada anak. Pada tanggal 20 November 1989 lahir-lah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang anak.  Kemudian Konvensi tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Kepres No. 36 Tahun 1990. Konvensi tersebut memuat kewajiban negara-negara yang meratifikasinya untuk menjamin terlaksananya hak-hak anak.[1]
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh Negara kepada anak memiliki perbedaan yang sangat prinsipil dengan orang yang dewasa. Misalnya, dalam hal anak yang berhadapan dengan hukum, perlakuan yang diberikan kepadanya lebih istimewa dibandingkan dengan orang yang telah dewasa. Dalam mengadili perkara anak, persidangan tidak terbuka untuk umum. Artinya, yang dapat menghadiri persidangan adalah anak dan orang tua/wali serta penasehat hukumnya. Begitu juga pada saat proses sidang dimulai, hakim, penasehat hukum dan jaksa penuntut umum tidak menggunakan baju toga agar anak tidak terganggu psikologisnya. Menurut Rizanizarli, tujuan pembedaan tersebut adalah untuk memberikan perlindungan bagi perkembangan jiwa, mental atau psikis yang masih memiliki masa depan yang panjang dan dengan perbedaan tersebut diharapkan anak tersebut dapat dubantu untuk pembinaannya agar menjadi anak yang mandiri, bertanggungjawab, berguna bagi masa depannya yang lebih baik.[2]
Aturan yang mengatur tentang proses persidangan anak sebelum lahirnya UU Nomor 3 Tahun 1997 masih didasarkan pada beberapa Surat Edaran Mahkamah Agung dan Instruksi Mahkamah Agung. Keharusan persidangan anak tertutup untuk umum didasarkan pada Surat Edaran MA Nomor: 3 Tahun 1959. Sedangkan keharusan persidangan anak dilakukan oleh hakim yang memiliki skill dan pengetahuan dan perhatian kepada anak didasarkan pada Instruksi MA Nomor M.A/Pem./048/1971. Tujuan dari instruksi ini adalah untuk memberikan jaminan dalam pemeriksaan agar terwujudnya kesejahteraan bagi anak. Kemudian, secara sepintas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga mengatur penanganan kasus pidana dengan terdakwanya anak. Ketentuan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 153 Ayat (3) yang secara substansial mengatur tentang persidangan bagi pengadilan anak tertutup bagi umum. Bila hal ini tidak dilakukan akan berimplikasi pada putusan hakim yakni tidak batal demi hukum. Selain itu, keharusan persidangan anak dilakukan dilakukan oleh hakim tunggal didasarkan pada Peraturan Menteri Kehakiman RI No. M.06-UM.01.06. Setelah disahkannya UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, maka berdasarkan Pasal 67 UU tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa ketentuan Pasal 45, 46 dan 47 KUHP tidak berlaku lagi dan peraturan perundang-undangan lainnya dapat berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Nomor 3 Tahun 1997. [3]
Dari beberapa aturan yang mengatur proses penyelesaian perkara anak di atas dapat diketahui bahwa semuanya itu menitikberatkan pada kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child). Namun seiring perjalanan waktu,  kehadiran UU Nomor 3 Tahun 1997 dianggap tidak dapat mewujudkan kepentingan terbaik bagi anak. UU tersebut lebih cenderung menggunakan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman (retributive). Paradigma penangkapan, penahanan dan penghukuman penjara terhadap anak tersebut berpotensi membatasi kebebasan dan merampas kemerdekaan anak. Data-data empiris seperti dilansir dari situs Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM tahun 2013 menunjukkan angka yang mencengangkan. Pada tahun 2010 narapidana anak berjumlah 547, pada tahun 2011 melonjak drastic menjadi 3672, kemudian pada tahun 2012 berubah menjadi 3635 dan pada tahun 2214.[4] Menurut Waluyadi, membiarkan seorang anak memasuki lembaga pemasyarakatan, berarti memberikan pendidikan negative kepada anak, sebab bila di dalam lembaga pemasyarakatan penghuninya adalah para penjahat, maka akan mempengaruhi tingkat laku anak menjadi jahat.[5]
            Namun, dalam perjalanan waktu kasus-kasus pidana yang dilakukan oleh anak atau anak yang berhadapan dengan hukum dapat diselesaikan dengan mekanisme baru yakni dengan cara restorative justice melalui system diversi[6]. Artinya penyelesaian perkara dapat dilakukan tanpa mengikuti jalur formal (diversi)  pada seluruh tahapan proses hukum, yakni sejak pada tahap Kepolisian, Kejaksaan sampai kepada Pengadilan dapat menempuh jalur non formal. Pembolehan ini didasarkan pada UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
            Dengan menggunakan konsep restorative, hasil yang diharapkan ialah berkurangnya jumlah anak yang ditangkap, ditahan dan divonis penjara, menghapuskan stigma dan mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari. Pelaku pidana anak dapat menyadari kesalahannya sehingga tidak mengulangi perbuatannya, mengurangi beban kerja polisi, jaksa, rutan, pengadilan dan lapas. Di samping itu dapat menghemat keuangan Negara, tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah dimaafkan oleh korban. Korban cepat mendapatkan ganti kerugian, memberdayakan orang tua dan masyarakat dalam mengatasi kenakalan anak dan pengintegrasian kembali anak ke dalam masyarakat.[7]
Hal ini berbeda dengan dengan UU sebelumnya yakni UU Nomor 3 Tahun 1997, di mana lebih cenderung menggunakan pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman (retributif) kepada anak. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa adanya perubahan fundamental terhadap system peradilan pidana anak dalam interval waktu tersebut.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulisan ini penting dilakukan untuk mengetahui sejarah system peradilan pidana bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Karena dari data-data yang ada, UU Nomor 3 Tahun 1997 lebih cenderung memilih hukuman pidana atau sanksi kepada anak, sementara setelah lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2012 mengalami perubahan yang signifikan di mana UU tersebut lebih cenderung memilih mekanisme penyelesaian perkara anak melalui pendekatan restorativ justice melalui system diversi yang lebih menjamin kesejahteraan anak.

1.2. Rumusan Masalah
Untuk membatasi pembahasan agar tidak terlalu melebar luas, penulisan ini dibatasi dengan merumuskan pertanyaan yang akan dijawab berdasarkan kajian kepustakaan nantinya. Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah:
1.      Bagaimana sejarah system peradilan pidana anak yang berlaku di Indonesia dari masa ke masa ?

1.3. Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui sejarah perkembangan system peradilan pidana bagi anak dari masa ke masa yang setiap kali perubahan mengalami perbaikan sesuai dengan prinsip politik hukum yakni hukum yang akan dicita-citakan pemberlakuannya merupakan konsekuensi dari hukum-hukum lama yang tidak mampu mengakomodir serta memberikan perlindungan terbaik bagi anak. Oleh karenanya, dengan hadirnya UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak akan mampu memberikan yang terbaik bagi anak (the best interest of child) di masa yang akan datang.

BAB DUA
SEJARAH SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA

2.1. Sejarah Pengadilan Anak di Indonesia
            System peradilan pidana mengalami perkembangan dari masa ke masa hingga sampai tahun 2012 yakni dengan lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sebelum lahirnya UU tersebut, telah ada produk hukum yang secara khusus mengatur Pengadilan Anak yaitu UU Nomor 3 Tahun 1997. Sebelum UU Nomor 3 Tahun 1997 juga telah ada bermacam-macam ketentuan atau peraturan yang mengatur proses peradilan bagi anak sebagaimana yang terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung, Instruksi Mahkamah Agung dan Peraturan Menteri Kehakiman.
            Dengan demikian dapat dipahami bahwa Sistem Peradilan Anak memiliki sejarah panjang. Untuk itu, dalam penulisan ini dibagi ke dalam tiga periode system peradilan pidana anak, yaitu Periode Pra UU Nomor 3 Tahun 1997, Pasca UU Nomor 3 Tahun 1997 dan Pasca lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pembagian dalam tiga periode tersebut dikarenakan setelah Indonesia merdeka, hanya ada dua produk hukum yang secara khusus mengatur tentang proses penyelesaian Peradilan bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Dan setelah lahirnya UU Nomor 3 juga telah ada ketentuan, namun belum diunifikasikan dalam bentuk UU, akan tetapi masih terdapat dalam berbagai aturan.

2.1.1.      Periode Pra Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang    Pengadilan Anak

Pemikiran dan usaha-usaha ke arah lembaga peradilan anak telah dimulai sekitar 1958 dengan diadakannya sidang pengadilan anak yang berbeda dengan sidang pengadilan yang berlaku untuk orang dewasa. Usaha ini disadari pada pemikiran bahwa terhadap anak yang melakukan kenakalan harus diberlakukan berbeda dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Pembedaan sidang anak dengan sidang untuk orang dewasa itu merupakan hasil pembicaraan antar instansi yang terlibat dalam menangani masalah kenakalan anak yaitu, kehakiman, kejaksaan, kepolisian dan pra yuwana.[8]
Sebelum berlakunya UU Nomor 3 Tahun 1997 belum ada UU atau unifikasi hukum yang mengatur secara tersendiri tentang pengadilan anak melainkan secara teoritik dan praktiknya tersebar dalam kodifikasi, surat edaran mahkamah agung RI, keputusan menteri kehakiman RI dan lain sebagainya. Sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 ketentuan mengenai proses pengadilan anak diatur dalam Pasal 45, 46 dan 47 Kitab UU Hukuk Pidana yang merupakan konkordansi dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie Belanda tanggal 15 Oktober 1915 dan berlaku sejak 1 Januari 1918. Selanjutnya, dengan undang-undang nomor 1 tahun 1946 (tanggal 26 februari 1946) termuat dalam berita Negara Republik Indonesia nomor 9 dan dengan UU tahun 1958 nomor 73 tanggal 29 september 1958 diberlakukan di seluruh Republik Indonesia.
Dalam ketentuan KUHP tersebut pada hakekatnya pengadilan anak dilakukan terhadap orang yang belum berumur 16 (enam belas tahun) di mana terhadap mereka dapat dijatuhi pidana, dikembalikan kepada orang tuanya/wali/pemeliharanya tanpa pidana apapun atau dijadikan anak Negara. Jikalau dijadikan anak Negara sampai umur 18 tahun dan bila dijatuhi pidana maka maksimum pidana pokoknya dikurangi sepertiga dan bila diancam pidana mati/seumur hidup maka lamanya pidana 15 tahun serta pidana tambahan sesuai ketentuan Pasal 10 huruf b KUHP tidak dapat diterapkan (Pasal 45,46, dan 47 KUH Pidana).
Selanjutnya, pengaturan anak ini dalam teoritik dan praktiknya lebih lanjut diatur dalam surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 3 Tahun 1959 tanggal 15 februari 1959 yang pada pokoknya menentukan bahwa demi kepentingan anak-anak maka disarankan pemeriksaan perkara anak dengan pintu tertutup. Selanjutnya Mahkamah Agung RI melalui instruksinya nomor: M.A/Pem./048/1971 tanggal 4 Januari 1971 pada pokoknya menentukan bahwa “Masalah anak wajib disalurkan melalui peradilan yang memberi jaminan bahwa pemeriksaan dan putusan dilakukan demi kesejahteraan anak dan masyarakat tanpa mengabaikan terlaksananya keadilan sehingga disarankan ditunjuk hakim khusus yang mempunyai pengetahuan, perhatian dan dedikasi terhadap anak.
Kemudian sidang pengadilan anak selanjutnya secara sepintas diatur dalam ketentuan Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang pada pokoknya menentukan bahwa apabila terdakwanya dilakukan dengan pintu tertutup dan apabila tidak dilakukan demikian menyebabkan batalnya putusan demi hukum (Pasal 153 ayat (4) KUHAP). Berikutnya pengadilan anak dalam praktiknya mengacu pula pada peraturan Menteri Kehakiman No. M.06-UM.01.06 Tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata Ruang Sidang yang pada pokoknya menentukan bahwa sidang anak dilakukan dengan hakim tunggal kecuali dalam hal tertentu dilakukan dengan hakim majelis, dengan pintu tertutup serta putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Kemudian jaksa penuntut umum, penasehat hukum bersidang tanpa toga serta pada sidang anak diharapkan kehadiran orang tuanya/wali/orang tua asuh serta adanya laporan social anak yang bersangkutan (Pasal 10, 11, 12) Peraturan Menteri Kehakiman RI No. M.06-UM.01.06. selanjutnya dalam praktiknya ketentuan pasal 12 ayat (2) peraturan menteri kehakiman nomor M.06-UM.0106 Tahun 1983 ini kemudian dirubah dengan Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor. M.03-UM.01.03 tahun 1991.
Lebih lanjut, kemudian perkembangan persidangan anak selain bertitik tolak kepada peraturan terdahulu juga pada tahun 1987 praktik sidang anak mengacu kepada Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 1987 tanggal 17 November 1987 di mana pada pokoknya ditentukan bahwa pada penanganan sidang anak diperlukan pendalaman hakim terhadap unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan maupun unsur lingkungan serta keadaan jiwa anak serta ditunjuknya hakim yang khusus menangani anak. Mahkamah Agung mengharapkan setiap hakim mempunyai perhatian (interest) terhadap anak yang melakukan tindak pidana, memperdalam pengetahuan melalui literature, diskusi dan lain sebagainya.[9]
Pada tanggal 10 November 1995 Presiden telah mengajukan RUU tentang Peradilan Anak ke DPR, dan Menteri Kehakiman dalam hal ini mewakili Pemerintah dalam pembicaraan di DPR.[10] Menurut Busthanul Arifin, RUU tersebut masih banyak memiliki kekurangan, seperti yang terdapat dalam Pasal 21 RUU yang mencantumkan kewenangan pengadilan anak dalam bidang perdata dan pidana. Hal ini menyimpang dengan Negara-negara hukum di dunia. Karena pengadilan anak hanya dalam ranah atau bidang pidana (juvenile court) dan bidang perdata disebut family court.[11]
 Akhirnya dengan diundangkan UU Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak maka berdasarkan ketentuan pasal 67 UU No. 3/1997 secara eksplisit ketentuan pasal 45, 46 dan 47 KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi sedangkan ditinjau dari aspek analogis peraturan-peraturan lainnya tetap berlaku dalam praktik peradilan penanganan sidang anak di indonesia sepanjang tidak bertentangan dengan UU Nomor 3 Tahun 1997.[12]



2.1.2.      Periode Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

            Setelah disahkannya UU Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dalam Lembaran Negara Nomor 3668, maka indodesia telah memiliki unifikasi hukum yang secara khusus mengatur mekanisme penyelesaian anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Setelah aturan ini diberlakukan, maka Pasal 45, 46, dan 47 dinyatakan tidak berlaku lagi sebagaimana diatur dalam Pasal 67 UU Nomor 3 Tahun 1997 yang menyatakan “Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasca disahkannya UU No. 3 Tahun 1997, segala peraturan yang mengatur proses peradilan anak yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung, Instruksi Mahkamah, dan Peraturan Menteri Kehakiman telah terakomodir di dalamnya. Misalnya mengenai persidangan untuk anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan dalam persidangan tertutup dalam hal tertentu persidangan dapat dibuka untuk umum (Pasal 8).  Di samping itu, selama mengadili anak yang berhadapan dengan hukum, hakim, penasehat hukum dan Jaksa Penuntut Umum tidak dibolehkan menggunakan toga (Pasal 6).[13]
Pengadilan anak merupakan segala aktifitas pemeriksaan dan memutus perkara yang menyangkut kepentingan anak. UU Pengadilan Anak mengamanatkan bahwa  dalam melaksanakan persidangan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa yang masih anak-anak, UU membatasi usia anak mulai 8 tahun hingga 18 tahun, mengingat hal tersebut maka haruslah diperlakukan secara khusus sesuai dengan UU.
Proses peradilan anak pada dasarnya mengacu pada hukum acara dari Peradilan Umum kecuali ditentukan lain oleh UU. Proses peradilan anak meliputi tahapan penyidikan, penangkapan dan penahanan, penuntutan, pemeriksaan di sidang Pengadilan dan lembaga Pemasyarakatan Anak.
Penyidikan terhadap anak nakal dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan surat keputusan kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kepala Kepolisian Republik Indonesia. Untuk menjadi penyidk anak, seorang penyidik harus berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, penyidik lain yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlak
Penangkapan terhadap anak anak dilakukan guna kepentingan pemeriksaan paling lama satu hari. Penahanannya dapat dilakukan paling lama puluh hari. Guna pemeriksaan lebih lanjut, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang paling lama sepuluh hari. Dalam jangka tiga puluh hari penyidik harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada penuntut umum.[14]
Penuntutan terhadap nakal dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan berdasarkan surat keputusan Jaksa Agung atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Penuntut umum bagi anak diharuskan yang memiliki pengalaman sebagai penuntut umum tiknda pidana yang dilakukan oleh orang dewasa dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.[15]
Tujuan proses peradilan anak bukanlah pada penghukuman. Akan tetapi, bertujuan untuk perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak, serta pencegahan pengulangan tindakannya melalui tindakan pengadilan yang konstruktif. Sebalum sidang dibuka, hakim terlebih dahulu memerintahkan agar pembimbing kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan. Laporan tersebut berisi tentang data individu anak, keluarga, pendidikan dan kehidupan social anak serta kesimpulan atau pendapat dari pembimbing kemasyarakatan.[16]
Anak nakal yang perlu dididik oleh Negara ditempatkan di lembaga pemasyarakatan anak yang harus terpisah dari orang dewasa. Anak yang ditempatkan di lembaga pemasyarakatan berhak memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya serta hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.1.3.      Periode Pasca Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

UU Nomor 11 Tahun 2012 merupakan babak baru dari system peradilan pidana anak yang sangat memperhatikan kepentingan dan memberikan perlindungan yang belum pernah dikenenal sebelumnya. Oleh karenanya, pembahasan mengenai sejarah hukum mempunyai relevansi yang sagat kuat dengan politik hukum. Karena konsep penting dalam politik hukum adalah bagaimana merumuskan hukum yang akan diberlakukan (ius constituendum)  menjadi lebih baik daripada hukum yang pernah diberlakukan. Menurut Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan dan pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.[17]
Berpegang pada konsep di atas, maka dalam konteks pengadilan anak Indonesia dapat dipahami bahwa produk hukum yang mengatur mengenai pengadilan anak sebenarnya sudah ada sejah disahkannya pada tahun 1997. Namun ketentuan dalam UU tersebut belum sepenuhnya dapat memberikan perlindungan hukum kepada anak dalam konteks perubahan zaman seperti sekarang. Mungkin pada saaat disahkannya UU tersebut cocok pada waktu itu, namun kondisinya berubah sekarang. Menurut Iman Jauhari latar belakang disahkannya UU Nomor 3 Tahun 1997 didasarkan pada konsideran UU tersebut yang menyatakan bahwa anak adalah bagian dari generasi muda salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai cirri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan social secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. Dalam konsiderans selanjutnya menyatakan bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.[18]
Meskipun konsideran dalam UU tersebut sangat mendukung perlindungan anak, namun secara substansial belum menyentuh. Secara substansial hanya ada pengkhususan bagi anak seperti hakim tunggal, aparat penegak hukum (law enforcement) tidak menggunakan pakaian formal seperti persidangan orang dewasa tapi dalam kenyataannya masih banyak anak-anak yang berhasil dijebloskan dalam penjara.  Paradigma penangkapan, penahanan, dan penghukuman penjara terhadap anak berpotensi merampas kemerdekaan anak. Dalam UU itu hanya memungkinkan kewenangan diskresi yang diperbolehkan kepada penyidik untuk mengentikan atau melanjutkan perkara.
Berbeda halnya dengan UU Nomor 11 Tahun 2012 yang membolehkan setiap instansi untuk melakukan restorative justice melalui diversi. Bukan hanya di tingkat penyidikan, akan tetapi sampai pada tingkat lembaga pemasyarakatan setelah perkara diputuskan oleh Pengadilan dapat dimungkinkan terjadinya diversi. Bahkan UU tersebut menegaskan akan memberikan sanksi pidana penjara dan denda bagi aparat yang tidak menggunakan restorative justice melalui diversi ini. Menurut Yutirsa lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2012 merupakan sebuah upaya untuk mengatasi kelemahan UU Nomor 3 Tahun 1997. Perubahan yang fundamen adalah digunakannya pendekatan restorative justice melalui system diversi.[19]


BAB TIGA
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan yang telah dideskripsikan di atas, maka akan dirumuskan secara singkat seperti berikut ini:
1.      Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Pengaturan mengenai system peradilan anak telah sebelum diundang-undangkannya UU Nomor 3 Tahun 1997. Namun masih berserekan dalamUndang-Undang yang lain, seperti dalam Surat Edaran Mahkamah Agung, Instruksi Mahkamah Agung, dan Menteri hukum dan HAM, KUHP. Pasca disahkannya UU Nomor 3 Tahun 1997 Indonesia telah memiliki unifikasi hukum tentang proses atau mekanisme penyelesaian kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Seiring perjalan waktu, UU tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan dan belum mengakomodir kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child), oleh karenanya pada tahun 2012 Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Ada mekanisme baru dalam UU tersebut yang belum diatur dalam UU sebelum, yaitu kewajiban melakukan restorative justice melalui diversi. Maksudnya, dalam menyelesaikan kasus anak, kepolisian, kejaksaan, dan hakim dapat menyelesaikan perkara anak tanpa mengikuti prosedur formal sebagaimana yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Aparat penegak hukum bila tidak melaksanakan mekanisme tersebut dikenakan pidana penjara selama dua tahun dan denda sebanyak 200.000.000,00 sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 96. Hal ini tentu sebuah penghargaan besar bagi anak dalam mewujudkan kesejahteraan baginya guna meniti kehidupan di masa yang akan datang yang lebih cerah.








[1] Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia, Bandung:; Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 5.
[2] Riza Nizarli, Perlindungan Dan Pemenuhan Hak Anak, KANUN Jurnal Ilmu Hukum, No. 41 Tahun XIIV 2005, (Banda Aceh: Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, 2005), hlm. 238.
[3] Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia (Teori, Praktik dan permasalahannya), (Bandung: Mandar Maju, 2005), hlm. 9-10.
[4] Yutirsa, Analisis Konsep Restoratif Justice Melalui Sistem Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Vol.2. No. 2 Tahun 2013 Jurnal Rechtvinding Media Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional dan HAM RI, 2013), hl. 232.
[5] Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, ( Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 61.
[6] Restoratif Justice melalui system diversi merupakan suatu bentuk penyelesaian kasus Anak Berhadapan Hukum yang lebih mengutamakan penyelesaian secara non formal serta menghindarkan anak dari penyelesaian secara hukum normative yang mewajibkan anak melalui proses penegakan hukum yang membutuhkan waktu yang relatif lama dan tentu melelahkan, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, persidangan sampai dengan pemenjaraan. Konsep ini lebih menekankan kekeluargaan. Lebih lanjut lihat juga Riza Nizarli, Evaluasi Reformasi Kepolisian Dalam Menangani Anak Berhadapan dengan Hukum, KANUN Jurnal Ilmu Hukum No. 54 Tahun XIII Agustus 2011, (Banda Aceh: Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, 2011), hlm. 57.
[7] Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), hlm. 135-136.
[8] Iman Jauhari, Hak-Hak Anak Dala Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Bangsa, 2003), hlm. 136-137.
[9] Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia, Bandung.,,,,  hlm. 7.
[10] Romli Atmasasmita, Yesmil Anwar, dkk, Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm. 33.
[11] Busthanul Arifin, RUU Tentang Peradilan Anak, dalam buku Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm. 35.
[12] Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia (Teori, Praktik dan permasalahannya).,,, hlm. 8-10.
 [13] Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia.,,,,,,, hlm. 116-117.
[14] Ibid.,,,, hlm. 51.
[15] Ibid.,,,, hlm. 54.

[16] Amin Suprihatini, Perlindungan Terhadap Anak, (Klaten: Cempaka Putih, 2008), hlm. 54.

[17] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 17.
[18] Iman Jauhari, Hak-Hak Anak Dala Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Bangsa, 2003), hlm. 140-141.

[19] Yutirsa, Analisis Konsep Restoratif Justice Melalui Sistem Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Vol.2. No. 2 Tahun 2013.,, hlm. 232-233.


Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages