Jumat, 12 Juli 2024

 




Gampong Blang Pulo Kecamatan Muara Satu Lhokseumawe yang merupakan dampingan Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM) - UNICEF telah melahirkan sejumlah terobosan di bidang perlindungan anak. Setelah sebelumnya membentuk Kader Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA), saat ini kembali menginisiasi pembentukan Qanun Perlindungan Perempuan dan Anak (31/05/23). Sekdes Gampong Blang Pulo, Tgk. Ahmad Adami, SH mengatakan hari ini kita membentuk aturan perlindungan perempuan dan anak sebagai wujud melegitimasi apa yang telah kita laksanakan. Mungkin selama ini sudah kita lakukan dan berikan perlindungan pada Perempuan dan Anak tapi tertulis, namun kita upayakan untuk menulisnya pada hari ini.

Sementara fasilitator Perlindungan Anak PKPM, Mansari, M.H mengatakan pembentukan Qanun Gampong sangatlah penting di era modern, karena dengan adanya aturan dapat menjadi pedoman bagi setiap orang dan sifatnya mengikat. Apa yang dilakukan di Gampong Blang Pulo hari ini sebagai wujud konkrit perlindungan perempuan dan anak di tingkat gampong.

Fasilitator PKPM yang bertugas di Lhokseumawe, Rizka Safna Amanda, SH, mengatakan Draft Qanun Gampong ini disusun dengan mengakomodir nilai-nilai adat dan budaya yang berlaku di Aceh dalam konteks perlindungan anak. Draft ini masih sangat terbuka untuk disempurnakan berdasarkan masukan yang konstruktif dari para peserta. "Kita berharap para peserta dapat memberikan sumbangsih pemikiran agar qanun ini dapat dilaksanakan di Gampong Blang Pulo nantinya setelah disahkan. Harapnya.

Peserta yang hadir dalam kegiatan tersebut terdiri dari Sekdes, Tuha Peut Gampong, Fasilitator Daerah, Kader Posyandu, Pendamping Desa, forum anak dan turut dihadiri oleh Perwakilan PKPM Provinsi. 

 



Gampong Lambhuk Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh salah satu gampong dampingan Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM) Aceh dalam program kerjasama dengan UNICEF. Gampong Lambhuk memiliki komitmen yang tinggi melindungi anak. Bahkan Saat ini sedang menyusun Reusam atau Peraturan Desa tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Penyusunan Reusam tesebut supaya ada acuan hukum bagi masyakarat dalam melindungi anak dan perempuan serta memberikan kepastian hukum dalam menangani kasus yang dihadapi oleh anak di tingkat gampong.

Proses penyusunan dilakukan dengan melibatkan aparatur gampong yakni Tuha Peut Gampong, tokoh perempuan dan juga tim dari PKPM Aceh (11 Mei 2023). Banyak hal yang didiskusikan dalam kegiatan tersebut terutama tugas dan kewajiban gampong dalam upaya melindungi perempuan dan anak, Peran dan fungsi Kader Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) yang kedudukannya di gampong, pemberdayaan forum anak dan termasuk penganggaran untuk penyelenggaraan perlindungan anak di tingkat gampong. 

Masyarakat sangat antusias mengikuti kegiatan penyusunan Reusam Gampong terkait Perlindungan Perempuan dan Anak. Terutama ini menyangkut dengan kepentingan perempuan dan anak sehingga harus dipikirkan secara bersama-sama agar apa yang dituangkan dalam aturan hukum dapat memberikan yang terbaik bagi perempuan dan anak.


 


Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM) Aceh terus menerus memberikan perhatian penting terhadap isu perlindungan anak. Upaya yang dilakukan kali oleh PKPM adalah melatih Fasilitator Komunitas yang disebut dengan Kader Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) di enam Kabupaten/Kota yang terdiri dari Banda Aceh, Bireuen, Lhokseumawe, Bener Meriah, Aceh Tengah dan Aceh Barat yang diawali sejak 1 Maret sampai 11 Maret 2023. Kegiatan yang sangat bermanfaat ini dilaksanakan dengan menghadirkan Pemateri dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB Lombok yang sudah sangat expert di bidang isu perlindungan anak yaitu Sukron dan Ruli Ardiansyah, SH. MH. 

Kader SAPA menjadi ujung tombak perlindungan anak di tingkat gampong. Keberadaannya sangat strategis dalam rangka pemenuhan hak-hak anak. Berbekal ilmu yang didapatkan dalam pelatihan diharapkan persoalan anak yang terjadi di gampong dapat teratasi dengan baik. Banyak wacana yang muncul dari peserta setelah mengikuti kegiatan tersebut. Diantara keinginan yang muncul dari peserta 2 gampong tersebut adalah terbentuknya Lembaga khusus perlindungan anak di tingkat gampong dan Reusam Gampong (Perdes) tentang Perlindungan Anak. Semoga keinginan dapat direalisasikan dengan baik. 

Pada tanggal 3 Maret 2023, PKPM memperkenalkan Kader Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) dari Gampong Laksana dan Gampong Lambhuk kepada DP3AP2KB Kota Banda Aceh. Kepala DP3A, Cut Azharida, SH, menyambut dengan senang hati atas kedatangan tim dari PKPM dan kader SAPA. Kehadiran kader tersebut sebagai bentuk komunikasi bahwa di dua gampong tersebut telah dilatih sejumlah fasilitas komunitas yang bergerak di isu perlindungan anak yang dapat diperkenalkan ke Gampong-Gampong lain di Kota Banda Aceh agar permasalahan anak yang terjadi di tingkat gampong dapat teratasi secara maksimal. 

Kader SAPA yang telah dilatih oleh Pkpm Aceh atas dukungan UNICEF terdiri dari 18 orang, yang masing-masing 9 orang per gampong. Penguatan utama yang diberikan berkaitan dengan isu-isu perlindungan anak, sistem perlindungan anak tingkat gampong, model pelibatan anak dalam musyawarah gampong, upaya pemenuhan anak, perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat, advokasi penganggaran kegiatan anak dan layanan perlindungan anak di tingkat gampong dan Kabupaten/Kota.

Salah seorang peserta yang hadir dalam kegiatan pelatihan di Banda Aceh, Cut Diana, mengatakan kegiatan ini sangatlah penting, melalui kegiatan ini sudah membuka pikiran dan pemahaman baru bagi kita. Kegiatan ini diharapkan dilaksanakan secara terus menerus agar masyarakat tersadarkan betapa pentingnya pemahaman isu perlindungan anak. Apalagi kader yang dilatih ini berada di tengah-tengah masyarakat sehingga sangat mudah menyuarakan hak-hak anak. 

Banda Aceh, 3 Maret 2023


 



Hukum Jinayat merupakan sejumlah aturan yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan di Aceh yang apabila seseorang atau sekelompok orang melanggar ketentuan tersebut akan dikenakan sanksi baginya. Pasal 1 angka 15 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat menentukan bahwa Hukum Jinayat adalah hukum yang mengatur tentang Jarimah dan ‘Uqubat. Merujuk kepada ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa ada dua hal pokok yang diatur dalam hukum jinayat yaitu pertama tentang jarimah atau perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan dan yang kedua adalah 'uqubat atau hukuman yang dijatuhkan kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang telah ditetapkan dalam qanun.  

Ada sejumlah jarimah yang diatur dalam Qanun Hukum Jinayat yaitu sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 3 Ayat 2 yang terdiri dari Khamar, Maisir, khalwat, khtilath, Zina, Pelecehan seksual, Pemerkosaan, Qadzaf, Liwath dan Musahaqah. Sepuluh jarimah tersebut merupakan hasil pengembangan dari qanun sebelumnya sebagaimana yang terdapat dalam Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar, Qanun Aceh Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir dan Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat. Jadi, hanya awalnya hanya tiga jarimah yang diberlakukan di Aceh. Kemudian pengembangan hukum jinayat barulah terjadi pada tahun 2014 sebagaimana yang tertuang dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang memperluas materi hukum jinayat menjadi 10 jarimah. 

Dari sepuluh jarimah tersebut sebenar dikembangkan lagi dalam bentuk Pasal per Pasal. Misalnya bagi orang yang menyediakan atau mempromosikan tempat  untuk melakukan khalwat dapat dikenakan juga dengan hukuman sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 Ayat 2 Qanun Hukum Jinayat yang menyatakan setiap Orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, menyediakan fasilitas atau mempromosikan Jarimah khalwat, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 15 (lima belas) kali dan/atau denda paling banyak 150 (seratus lima puluh) gram emas murni dan/atau penjara paling lama 15 (lima belas) bulan. Jadi, bukan hanya orang yang berkhalwat saja yang dapat dijatuhkan hukuman, tapi orang yang menyediakan atau mempromosikan juga dapat dihukum dengan hukum jinayat sepanjang terbukti secara sah dan menyakinkan melakukannya melalui pemeriksaan di Mahkamah Syar'iyah. Begitu pula dengan orang yang dengan sengaja menyediakan tempat untuk melakukan perbuatan ikhtilat, zina, maisir juga dapat dihukum.

Hukum jinayat yang berlaku di Aceh merupakan salah satu konsekuensi logis dari pemberlakuan syari'at Islam di Aceh, karena persoalan jinayat menjadi bagian dari hukum Islam. Jinayat dikategorikan sebagai bentuk kriminal yang dalam hukum Islam akan dikenakan dengan sanksi bagi orang-orang yang melanggarnya. Selain materi hukum jinayat juga diatur tentang bagaimana proses yang digunakan untuk melaksanakan hukum materil tersebut dengan diatur juga hukum formilnya atau hukum acaranya sebagaimana yang tertuang dalam Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat. Hukum Acara Jinayat dapat disebut juga dengan hukum proses karena digunakan oleh penegak hukum untuk memproses seseorang yang diduga melakukan jarimah sebagaimana yang diatur dalam hukum materil yakni hukum jinayat yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Wilayatul Hisbah, Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim di Mahkamah Syar'iyah. Sejak dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan sampai kepada eksekusi berupa penjatuhan hukuman baik hukuman cambuk, hukuman penjara maupun hukum denda.

Banda Aceh, 10 Februari 2023

Mansari




 



Persoalan usia anak berbeda-beda dalam aturan yang diatur dalam hukum positif Indonesia. Ada yang mengatur dengan usia 18 tahun dan ada pula yang mengatur 17 tahun. Qanun Jinayat yang berlaku di Aceh mengatur batas usia anak yaitu 18 tahun dan belum menikah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 40 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang menyatakan bahwa Anak adalah orang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah. Ketentuan ini memberikan petunjuk bahwa ada dua hal yang menjadi patokan dasar untuk menentukan usia anak yaitu belum mencapai usia 18 tahun dan yang kedua belum menikah. Anak yang melakukan jarimah sebelum sampai dengan usia 18 tahun diperlakukan sebagai anak yang berhadapan dengan hukum yang hukuman dan jumlah hukuman berbeda dengan orang dewasa. Patokan kedua yaitu bila anak belum mencapai 18 tahun tapi sudah menikah maka kepada anak tersebut tidak dapat diberlakukan lagi hukuman sebagaimana yang diberikan kepada seorang anak. Kepada anak tersebut sudah dapat dijatuhkan hukumannya sama dengan orang dewasa atau dapat dipersamakan dengan orang dewasa.  

Penentuan batasan hukuman tersebut disertai dengan konsekuensinya. Anak yang belum mencapai usia 18 tahun harus dipergunakan tata cara pemeriksaan sebagaimana pemeriksaan terhadap seorang anak, hakim yang mengadili perkara anak juga harus yang sudah memiliki sertifikasi hakim anak, bentuk hukuman yang dijatuhkan juga harus berbentuk hukuman tindakan dan setiap anak yang berhadapa dengan hukum jinayat harus didampingi oleh pekerja sosial. Jadi, ada perlakuan yang berbeda anak yang melakukan jinayat dengan orang dewasa. Penegak hukum harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang tatacara pemeriksaan seorang anak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Banda Aceh, 10 Februari 2023

Mansari


 



Pasca terjadinya perceraian antara kedua orangtua, persoalan selanjutnya yang muncul yaitu perebutan hak asuh anak. Hak Asuh Anak dikenal juga dengan istilah hadhanah. Pasal 1 huruf g KHI menyatakan Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri. Dengan kata lain hadhanah merupakan sebuah tindakan untuk mengasuh, mendidik dan menjaga anak sampai anak dewasa.

Hak asuh seringkali dipererbutkan karena masing-masing orangtua berkeinginan untuk menjaga dan memelihara anak sampai dewasa. Seorang memiliki hak meminta supaya anak berada di bawah pengasuhannya. Begitu pula sebaliknya seorang ibu memiliki hak yang sama untuk mengasuh anak tersebut. Perkara hak asuh anak tak jarang berakhir sampai ke Pengadilan Agama agar mendapatkan kepastian hukum pihak yang mengasuhnya dan menghilangkan pertentangan yang terjadi secara terus menerus di antara kedua orangtua. 

Pada prinsipnya kedua orangtua memiliki hak  mengasuh anak, akan tetapi pola pengasuhan anak pasca terjadinya perceraian orangtua berubah. Awalnya diasuh secara bersama-sama dalam satu keluarga, setelah perceraian akan berbeda pola yang digunakan. Hal ini dikarenakan kehidupan orangtua sudah berpisah dan tidak mungkin hidup bersama dalam satu rumah. Oleh karenanya, pengasuhan diasuh oleh salah satu orangtua saja. Meskipun sebenarnya pihak lainnya dapat dibenarkan juga untuk menjenguk anak yang berada dalam pengasuhan salah satu orangtua. 

Secara hukum, hak asuh anak dapat dikategorikan menjadi dua yaitu hak pengasuhan sebelum mumayyiz dan hak pengasuhan pasca mumayyiz. Hak asuh anak sebelum mumayyiz atau sebelum berumur 12 tahun berada dalam pengasuhan ibu. Sedangkan pasca mumayyiz anak diberikan hak pilih tinggal bersama ibu maupun ayahnya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa Dalam hal terjadinya perceraian:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;

c. biaya pemeliharaanditanggung olehayahnya.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa anak yang belum mumayyiz menjadi hak ibunya, kemudian setelah mumayyiz diserahkan hak pilih kepada anak untuk memilih bersama ibu maupun ayahnya. Sementara biaya pengasuhan dan pendidikan sejak kecil sampai dengan dewasa menjadi tanggungjawab ayahnya. 

Guna mendapatkan kepastian hukum terkait dengan pihak yang mengasuhnya, maka persoalan hak asuh anak haruslah diajukan ke Pengadilan Agama yang memiliki kewenangan yurisdiksi mengadilinya. Baik ibu maupun seorang ayah dapat meminta hak asuh ini. Masalah diterima maupun ditolak seorang ibu atau ayah sangat ditentukan oleh hakim yang mengadilinya dan didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Adakalanya meskipun ibu yang meminta tidak diberikan hak asuhnya jika terbukti ternyata seorang ibu tidak layak mengasuh anak. Begitu pula dengan seorang ayah yang mengajukan permohonan supaya hak asuh ditetapkan di bawah pengasuhan dirinya ditolak oleh hakim jika ternyata di persidangan terbukti seorang ayah tidak memiliki sifat-sifat yang baik untuk mengasuh seorang anak. Jadi, sangat tergantung kepada fakta-fakta persidangan diterima maupun ditolak hak asuh anak. Karena salah satu ciri pengasuh yang dapat dibenarkan adalah orang yang dapat mengasuh anak dan memiliki sifat yang baik untuk merawat atau mengasuh seorang anak.


Banda Aceh, 10 Februari 2023

Mansari



 




Salah satu persoalan yang dialami oleh mahasiswa hukum menjelang semester akhir adalah menemukan isu atau permasalahan hukum. Persoalan hukum menjadi suatu hal yang sangat penting ditemukan sebagai dasar dilakukannya penelitian, karena isu tersebut menjadi pokok permasalahan yang perlu dicarikan jawabannya melalui penelitian. Prinsipnya dalam sebuah penelitian adalah adanya sebuah masalah, "tidak ada masalah maka tidak ada penelitian". Seyogyanya sebuah penelitian diawali dengan masalah sehingga berangkat dari permasalahan tersebut terdorong bagi seorang peneliti untuk melakukan pengkajian lebih lanjut. Sebuah judul yang diajukan oleh mahasiswa baik kepada Ketua Prodi maupun kepada Ketua Laboratorium di Fakultas tidak akan diterima jika mahasiswa tidak mampu menunjukkan adanya gap atau kesenjangan antara "yang seharusnya" dengan "yang terjajadi" antara "dass sollen" dengan "dass sein" atau antara "yang ideal" dengan "realita atau fakta". Oleh karena itu, sangatlah penting bagi mahasiswa untuk menunjukkan gap atau kesenjangan tersebut kepada Ketua Prodi maupun Ketua Laboratorium. Jika kira-kira belum ditemukan kesenjangan tersebut, lebih baik carilah permasalahan dulu, diskusi dengan kawan-kawan mana tau dapat masukan sehingga dapat menjadikan permasalahan semakin terang benderang dan terarah.

Pada kesempatan ini, penulis ingin berbagi tips bersama teman-teman sekalian bagaimana cara menemukan permasalahan atau isu hukum yang dapat dijadikan sebagai dasar penelitian oleh mahasiswa dan darimana saja kita dapat menemukan isu tersebut serta bagaimana cara yang mudah agar permasalahan hukum dapat ditemukan secara jelas, konkrit dan spesifik. Semakin spesifik dan konkrit permasalahan hukum yang diajukan akan semakin besar pula peluang diterimanya judul yang akan diajukan. Begitu juga semakin luas isu yang diajukan, maka akan semakin besar pula peluang untuk ditolak atau barangkali akan diberikan masukan-masukan dan diarahkan supaya permasalahannya menjadi lebih spesifik dan fokus.

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa masalah adalah adanya kesenjangan antara keinginan dan kenyataan. Ketika adanya perbedaan keinginan dan kenyataan atau dass sollen dengan dass sein, maka disitulah peneliti sudah dapat menemukan masalah penelitian. Lalu bagaimana cara agar dapat menemukan kesenjangan tersebut dalam penelitian hukum. Berikut ini akan dijabarkan secara komprehensif tips-tipsnya:

1. Perhatikan antara Satu Teori dengan Teori yang lain

Cara ini dapat lakukan dengan mudah yakni membaca sebanyak-banyak buku referensi yang tersedi perpustakaan. Tentunya buku-buku yang memiliki relevansi dengan kajian yang akan menjadi fokus utama. Misalnya seorang mahasiswa ingin meneliti pendapat imam mazhab terhadap persoalan rukun nikah, di mana ada yang mengatakan rukun nikah ada lima sebagaimana pendapat imam Syafi'i dan ada pula di kalangan ulama mazhab yang berpendapat bahwa rukun nikah terdiri dari tiga. Perbedaan tersebut tentu menjadi pertanyaan bagi peneliti kenapa terjadi perbedaan pendapat di kalangan mazhab dalam memahami rukun-rukun nikah, dalil apa saja yang digunakan, bagaimana penafsiran terhadap dalil-dalil tersebut. Tentu menjadi suatu pertanyaan besar bagi peneliti untuk mempertanyakan perbedaan tersebut. 

Contoh lainnya dapat dilihat pada teori yang mengatakan bahwa talak merupakan hak suami, oleh karenanya seorang suami dapat saja melakukan talak terhadap isterinya karena seseorang yang memiliki hak dapat menggunakan kapan dan dimana saja. Berbeda halnya dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia di mana perceraian haruslah dilakukan di hadapan persidangan. Jadi, ada dua hal yang berbeda dalam hal ini. Di mana menurut fiqh talak adalah hak suami dan dapat menjatuhkan kapan saja, di sisi lain hukum yang berlaku di Indonesia mengharuskan perceraian diakukan di hadapan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah. Perbedaan tersebut menjadi dasar bagi seorang peneliti untuk mempertanyakan lebih lebih lanjut. Kenapa hukum di Indonesia mengharuskan perceraian mesti dilangsungkan di depan persidangan, apa alasan filosofisnya, apa dasar historisnya sehingga pengaturannya diatur demikian.

2. Perhatikan Aturan Hukum dan Penerapannya dalam Kenyataan Praktis

Hal kedua yang perlu diperhatikan oleh seorang mahasiswa supaya memudahkan menemukan permasalahan hukum adalah dengan melihat aturan hukum positif yang berlaku di Indonesia kemudian lihatlah kenyataan empiris di tengah-tengah masyarakat dan penegakan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum. Contoh konkritnya misalnya, UU Perkawinan menyatakan bahwa setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut merupakan sebuah perintah dalam UU yang seyogyanya atau seharusnya dilaksanakan. Setelah melihat aturan tersebut, kemudian lihatlah kenyataan empiris kenapa masih adanya masyarakat yang tidak mematuhi aturan tersebut dalam kenyataan konkrit. Ketika adanya ketidaksesuaian antara yang diatur dalam hukum dengan yang dipraktikkan oleh masyarakat maka sudah dapat dijadikan sebagai dasar oleh peneliti untuk mengkajinya dalam bentuk penelitian hukum.

3. Perhatikan Putusan Hakim 

Metode ketiga yang juga perlu dilakukan adalah dengan cara melihat dan membaca putusan-putusan hakim yang telah diputuskan oleh hakim terhadap kasus-kasus konkrit. Hal ini sangat lah mudah dengan cara melakukan googling ke Direktori Putusan Mahkamah Agung. Melalui Situs Direktori tersebut dapat dilihat putusan yang diputuskan oleh Pengadilan di seluruh Indonesia. Tinggal saja dipilih sesuai dengan baground keilmuan apakah persoalan perdata, persoalan pidana, tata usaha negara atau putusan dari Pengadilan Militer yang dikaji. Lihatlah putusan yang diputuskan apakah sudah sesuai penerapan norma-norma yang ada dalam hukum  yang berlaku di Indonesia diterapkan dalam putusan tersebut. Kalau tidak sesuai, berarti ambil putusan tersebut dan jadikan sebagai objek penelitian.

4. Diskusi dengan Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat)

Penegak hukum menjadi salah satu bagian penting dan menjadi inspirasi untuk menemukan permasalahan hukum. Luangkan waktu sejenak untuk berdiskusi dan sharing dengan mereka terkait dengan kasus-kasus yang sedang dan sudah ditangani. Pasti akan banyak hal dan ilmu yang didapat berdasarkan pengalaman praktis dari penegak hukum. Penegak hukum adalah orang yang menegak hukum dan bersentuhan langsung dengan proses penegakan hukum. Pastinya sudah dapat memahami dan mengetahui secara persis kelemahan-kelemahan dari sebuah regulasi. Hal ini dikarenakan penegak hukum menegakkan hukum pada kasus yang konkrit atau "in concreto". Antara perintah peraturan perundang-undangan dengan kasus konkrit tidaklah selalu sama, karena perubahan masyarakat sangatlah cepat sehingga hukum tertinggal tertatih-tatih mengejar perubahan masyarakat yang begitu cepat. Akibatnya aturan hukum selalu tertinggal dari perubahan zaman. Jadi, berdiskusi dengan para penegak hukum menjadi sebuah alternatif yang dapat dipilih untuk memperoleh isu-isu hukum yang terus berkembang.

5. Perhatikan Isu Aktual di Media Massa

Bacalah berita yang disebarkan melalui media massa. Isu aktual di media massa menjadi dasar yang dapat dijadikan dasar untuk penelitian bagi mahasiswa. Misalnya, maraknya perilaku bullying yang terjadi di sekolah dan pesantren modern, praktik pelecehan seksual yang terjadi dimana-mana, angka perceraian semakin meningkat dan isu-isu aktual lainnya. Semua informasi itu bisa menjadi referensi awal untuk menentukan gap atau kesenjangan dari peneliti untuk kemudian dilakukan penelitian.

Secara sederhana beberapa cara di atas sebenarnya mudah dilakukan, tapi akan menjadi sulit bila di antara mahasiswa kurang membaca buku referensi, kurang membaca peraturan perundang-undangan. Jika kondisinya seperti itu, sebenarnya akan sulit mendapatkan permasalahan atau isu penelitian. Membaca menjadi kunci utama bagi mahasiswa untuk mempermudah mendapatkan isu atau permasalahan penelitian. Tanpa adanya budaya membaca yang dilakukan secara terus menerus akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan permasalahan penelitian.


 



Profesi advokat merupakan salah satu catur wangsa penegak hukum di Indonesia selain Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman. Kedudukannya sama dengan penegak hukum lain yang menegakkan hukum dan keadilan bagi para pencari keadilan (yustisiable). Sebagai penegak hukum, Advokat memiliki dasar hukum tersendiri yang mengaturnya yaitu UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Sama halnya dengan penegak hukum lainnya yang juga diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri seperti Kepolisian yang diatur melalui UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Kekuasaan Kehakiman melalui UU Nomor 48 Tahun 2009. 

Masing-masing penegak hukum tersebut memiliki kewenangannya sendiri sebagaimana yang telah digarisbawahi oleh ketentuan perundang-undangan. Begitu pula dengan Advokat yang juga memiliki tugas dan kewenangannya sendiri sebagaimana yang telah diatur dalam UU Advokat. Tugas utamanya yang menjadi tanggungjawab seorang advokat adalah membantu para pencari keadilan atau masyarakat yang tentunya memiliki kebutuhan akan advise hukum agar didampingi oleh advokat baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dengan kata lain, advokat bertanggungjawab memberikan nasehat hukum kepada masyarakat yang membutuhkan manakala diperlukan. Biasanya tatkalanya persoalan hukum yang dihadapi oleh masyarakat, disitulah peran advokat diperlukan agar pencari keadilan memperoleh hak-haknya dan perlindungan hukum serta dilproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Peran advokat selain bertindak di dalam pengadilan juga dapat melakukan perannya di luar pengadilan. Tugas advokat di luar pengadilan misalnya, memberikan pendampingan hukum pada proses penyelidikan dan penyidikan di tingkat kepolisian. Peran advokat di tingkat proses penyelidikan dan penyidikan ini sangatlah penting guna dapat mempersiapkan pembelaan-pembelaan yang akan diberikan kepada lainnya jika perkara yang ditangani tersebut sampai ke persidangan. Pada tingkat penyidikan seorang Advokat sudah dapat menyusun strategi-strategi pembelaan bagi kliennya. Peran lainnya advokat di luar pengadilan misalnya melakukan somasi-somasi kepada orang yang memiliki hubungan hukum dengan kliennya, melaksanakan mediasi dengan melibatkan kliennya dan orang yang memiliki persengketaan dengan dirinya, mendampingi klien pada saat dilimpahkan ke tingkat Kejaksaan oleh penyidik yang menanganinya.

Suatu hal yang perlu diingat bahwa seorang barulah dapat bertindak untuk dan atas nama kliennya manakala diberikan kuasa kepadanya. Surat kuasa tersebut menjadi dasar bagi Advokat untuk membela kepentingan-kepentingan hukum bagi klien yang sedang ditangani persoalan hukumnya. Tanpa adanya surat kuasa khusus tersebut tidak dapat dibenarkan mendampingi klien karena tidak ada pemberian kewenangan bertindak untuk dan atas nama klien. Oleh karenanya, dalam surat kuasa tersebut harus ditegaskan apa saja kewenangan yang diberikan kepada Advokat, khusus dalam hal apa saja, misalnya khusus mendampingi di tingkat penyidikan, menjumpai pejabat-pejabat yang memiliki keterkaitan dengan perkara yang sedang ditangani, melakukan pertemuan dan mengadakan mediasi, menghadap ke persidangan dan kewenangan lainnya. Kewenangan-kewenangan tersebut haruslah ditegaskan dalam surat kuasa khusus agar dapat dinampakkan kepada pihak-pihak tertentu jika mempertanyakan keabsahan Advokat dalam bertindak.

Sebelum melaksanakan tugasnya sebagai Advokat, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan yaitu mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang dilaksanakan oleh profesi Advokat, misalnya organisasi Advokat Peradi yang mengadakn PKPA untuk calon-calon advokat. Setelah lulus PKPA, langkah berikutnya adalah mengikuti Ujian Profesi Advokat (UPA) dan selanjutnya barulah disumpah. Setelah disumpah barulah Advokat dapat menangani kasus-kasus yang dimintakan oleh masyarakat untuk mendampinginnya baik di dalam maupun di luar pengadilan. 

Sumpah menjadi suatu keharusan yang harus diikuti karena Advokat yang tidak disumpah tidak dapat mendampinginya. Bahkan Berita Acara Sumpah (BAS) menjadi salah satu syarat yang diperiksa pertama kali oleh majelis hakim pada persidangan pertama. BAS harus diperlihatkan yang asli beserta kartu Advokat yang dikeluarkgan oleh organisasi Advokat yang menunjukkan seorang Advokat memiliki legal standing yang kuat untuk mendampingi kliennya. Bahkan bila tidak dapat menunjukkan BAS seorang Advokat tidak diperkenankan masuk ke ruang persidangan oleh majelis hakim yang mengadili perkaranya. Jadi, seorang Advokat harus mempersiapkan BAS terlebih dahulu dan Kartu Advokat untuk memasuki ke ruang persidangan.

Banda Aceh, 11 Februari 2023

Mansari


 



Salah satu asas yang terdapat dalam hukum acara perdata adalah asas hakim bersifat pasif. Asas ini mengatakan bahwa seorang hakim bersifat pasif dan tidak berwenang memperluas pokok perkara yang diajukan oleh para pihak di persidangan. Hakim hanya mengadili dan terhadap persoalan yang dituntut oleh orang yang memiliki kepentingan. Orang yang berkepentingan terhadap suatu haknya dapat merumuskkan dalam gugatan maupun permohonan. Atas dasar tuntutan (petitum) yang dimuat di dalam permohonan dan gugatan itulah yang menjadi dasar bagi hakim mengadilinya. Misalnya, seorang isteri mengajukan ke Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar'iyah supaya bercerai dengan suaminya. Untuk itu, dalam gugatan tersebut perlu diuraikan dasar hukum pengajuan gugatan tersebut di mana ada keterikatan dalam suatu ikatan perkawinan, sejak kapan menikah dengan suaminya, alasan-alasan mengajukan gugatan perceraian dan terakhir dalam petitum (tuntutan) meminta supaya diputuskan hubungan perkawinan tersebut. 

Berdasarkan gugatan tersebut, persoalan pokok yang diajukan adalah supaya isteri dipisahkan dari suaminya dengan alasan-alasan sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan juga Pasal 116 KHI yang mengatur sejumlah syarat pengajuan perceraian ke Pengadilan. Atas dasar itulah hakim memeriksa persoalan cerai saja, kenapa diajukan perceraian, apakah telah terpenuhi alasan-alasan bercerai sebagaimana yang dimaksud dalam kedua pasal tersebut. Jadi, tidak berwenang mengadili perkara harta bersama di antara pasangan suami isteri tersebut, karena dalam gugatan perceraian tidak disebutkan dimintakan dalam posita dan petitum gugatan. Kecuali dalam gugatan penggugat selain menguraikan tentang persoalan perceraian juga menjelaskan adanya harta bersama yang perlu dibagi oleh hakim dan penggugat menguraikan dasar adanya harta bersama apakah diperoleh selama adanya perkawinan di antara pasangan suami isteri tersebut. Kemudian juga dituntut dalam bentuk petitum gugatan supaya majelis hakim membagikan harta yang diperoleh selama perkawinan mereka. Jika demikian halnya, maka majelis hakim sudah dapat memutuskan dua hal pokok yaitu pertama perceraian dan kedua berkaitan dengan harta bersama.Selama dalam gugatan hanya diuraikan hanya satu hal, maka berpedoman pada asas prinsip hakim bersifat pasif, harus diadili satu hal saja yakni perceraian saja. Sementara bila kedua hal tetap diakumulasikan dalam satu gugatan maka barulah majelis hakim berwenang mengadili kedua aspek tersebut.


Banda Aceh, 12 Februari 2023

Mansari


  




Istilah yang digunakan untuk penyebutan istilah hukuman dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat adalah 'uqubat. Pasal 1 angka 17 QHJ menyatakan bahwa Uqubat adalah hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku Jarimah. Dengan kata lain 'uqubat (hukuman) adalah bentuk hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku jarimah (tindak pidana) yang terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan jarimah-jarimah sebagaimana diatur dalam QHJ. Terbukti secara sah dan menyakinkan setelah melalui proses pemeriksaan di persidangan sesuai dengan ketentuan Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat. 

Dalam konteks penegakan QHJ, penegak hukum yang berwenang menjatuhkan hukuman terhadap pelaku pelanggaran jinayat adalah hakim yang melaksanakan tugas di Mahkamah Syar'iyah, bukan hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri. Hal ini dikarenakan sesuai dengan ketentuan Pasal 128 Ayat 3 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menentukan Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam. Ketentuan tersebut melegitimasi kepada Mahkamaha Syar'iyah untuk mengadili dan memutuskan kasus-kasus jinayat di samping kasus muamalah dan munakahat. Berbeda dengan provinsi lain, hakim Pengadilan Agama hanya mengadili dan memutuskan kasus-kasus hukum keluarga (hukum perkawinan).

Kewenangan hakim mengadili kasus jinayat (pidana Islam) merupakan konsekuensi logis dari pemberilakuan syari'at Islam di Aceh sebagai daerah yang diberikan kewenangan menerapkan syari'at Islam. Oleh karena itu, diberikan kewenangan bagi hakim Mahkamah Syar'iyah untuk mengadili perkara jinayat merupakan sesuatu yang tepat karena hakim yang melaksanakan tugas di Mahkamah Syar'iyah adalah yang menggeluti di bidang hukum Islam. Meskipun demikian, pengkajian dan pendalaman teori secara komprehensif tetap harus dilakukan secara terus menerus oleh hakim Mahkamah Syar’iyah karena sebelumnya hanya mengadili perkara perkawinan, wakaf, kewarisan dan shadaqah, kini setelah diberlakukan syari’at Islam di Aceh sudah mengadili perkara yang bernuansa pidana. Apalagi dalam kasus-kasus yang pelakunya adalah anak yang berpedoman pada ketentuan hukum tersendiri yang berbeda dengan pelaku dewasa. Ditambah lagi bagi hakim-hakim yang sebelumnya bertugas di luar Aceh yang tentunya harus beradaptasi dan mempelajari terus menerus materi yang diatur dalam Qanun Jinayat maupun Hukum Acara Jinayat agar dalam mengadili perkara tersebut tidak salah menerapkan aturan-aturan hukum yang menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat.


Banda Aceh, 12 Februari 2023


Mansari




 


Umumnya hukum yang berlaku di masyarakat, baik itu hukum tertulis maupun tidak tertulis memiliki tujuan yang baik yaitu mewujudkan kehidupan masyarakat yang tertib, damai dan terciptanya suasana yang seimbang serta terbebas dari konflik. Itulah sebabnya fungsi hukum dalam menata kehidupan masyarakat sangatlah penting agar seluruh fungsi hukum dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Ada sejumlah fungsi hukum dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yaitu: Pertama, sebagai standart of conduct yang menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku antar sesama. Kedua, sebagai alat yang dapat merekayasa kehidupan sosial (law as tool of social engineering). ketiga, sebagai alat kontrol sosial (Social Control).  

Salah satu fungsi hukum dalam kehidupan bermasyarakat adalah hukum menjadi alat yang dapat merekayasa kehidupan sosial atau yang sering dikenal dengan sebutan law as tool of scial Engineering. Teori hukum ini dikemukakan oleh tokoh sosiologi hukum Roscoe Pound. Fungsi hukum sebagai alat yang dapat merekayasa kehidupan sosial ini dapat ditemukan pada era modern saat ini. Di mana aturan hukum yang dibentuk secara bersama-sama oleh legislatif bersama eksekutif dengan tujuan agar dapat merubah perilaku masyarakat menjadi sesuai dengan keinginan yang telah ditetapkan oleh hukum.

Sebagai alat yang dapat merekayasa kehidupan sosial, keberadaan hukum tidak mungkin dengan sendirinya mampu merubah masyarakat ke arah yang lebih baik, akan tetapi ada perangkat lain yang perlu berkontribusi dan bersinergi sehingga hukum itu mampu diwujudkan dalam kenyataan empiris. Perangkat lain yang dimaksudkan di sini adalah adanya lembaga-lembaga penegak hukum yang telah diberikan mandat oleh sejumlah peraturan perundang-undangan untuk menegakkan agar aturan hukum itu dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Agar hukum itu dirasakan hadirnya oleh masyarakat tentunya penegak hukum perlu bergerak secara aktif agar dapat menegakkan masyarakat-masyarakat yang melakukan pelanggaran dan kejahatan serta memastikan kehidupan masyarakat menjadi lebih nyaman dan damai. 

Kehidupan masyarakat akan menjadi lebih tertib dan damai manakala adanya pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan dalam masyarakat atau pengacau diproses sesuai dengan hukum yang berlaku serta diasingkan melalui pemidanaan terhadap dirinya. Pemidanaan menjadi proses untuk mengasingkan si penjahat ke dalam lembaga pemasyarakat dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pengasingan tersebut menjadi sebuah pembelajaran bagi masyarakat lainnya agar tidak melakukan hal yang sama atau kejahatan yang dapat mengganggu kenyamanan dan menimbulkan ketidakseimbangan dalam masyarakat.  Secara tidak langsung penghukuman tersebut sebagai cara hukum untuk menakut-nakuti masyarakat supaya tidak mengulangi perilaku yang tidak baik di tengah-tengah masyarakat. 

Ketika hukum yang ada sudah mampu merubah masyarakat yang awalnya tidak baik menjadi baik, yang awalnya melakukan pelanggaran dan kejahatan kemudian terhindar dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial dan budaya hukum masyarakat, maka pada saat itu pula fungsi hukum sebagai alat yang dapat merekayasa kehidupan sosial terealiasasi sebagaimana mestinya. Sebaliknya, jika aturan tersebut belum mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang damai dapat dikatakan fungsi hukum sebagai law as tool of social engineering tidak terkonkretisasi dalam kenyataan praktis.

Negara yang menganut common law system seperti Amerika, peran hakim sangat lah penting mewujudkan law as tool of social engineering ini. Roscoe Pound sebagai hakim yang terkemuka di Amerika pernah mengatakan bahwa putusan hakim dapat diharapkan merubah perilaku masyarakat. Pernyataan tersebut yang kemudian menjadi dasar perkembangan teori hukum sebagai alat rekayasa sosial yang kemudian berkembang sampai ke negara-negara yang menganut civil law seperti di Indonesia.

Banda Aceh, 12 Februari 2023

Mansari


 


Umumnya pola penyelesaian perkara yang dipraktikkan oleh masyarakat dapat dikategorikan menjadi dua yaitu litigasi dan non litigasi. Litigasi merupakan sebuah proses penyelesaian perkara yang dialami oleh masyarakat dengan mengedepankan proses secara formal dan prosedural melalui jalur pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berbeda dengan litigasi, proses penyelesaian perkara secara non litigasi merupakan proses penyelesaian perkara di luar jalur pengadilan yang tidak formal dan tidak ada proses yang rigit seperti yang telah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Jadi, ada perbedaan yang signifikan antara litigasi dengan non litigasi. Jika prosedur litigasi lebih kepada pengadilan sesuai dengan tahapan dan mekanisme yang telah ditetapkan oleh peraturan, sedangkan non litigasi merupakan penyelesaian perkara yang tidak mengedepan jalur pengadilan, tapi lebih dengan cara musyawarah, mufakat guna menghasilkan penyelesaian perkara yang berakhir dengan damai.  

Penyelesaian secara litigasi atau jalur pengadilan sangatlah prosedural dan harus diikuti seluruh mekanisme dan tahapan-tahapan yang telah ditetapkan. Konsekuensinya, efisiensi waktu sudah pasti tidak akan terjadi. Bahkan waktu yang dihabiskan sangatlah lama dibandingkan dengan proses non litigasi. Lamanya penyelesaian secara jalur pengadilan karena adanya tahapan yang harus dilalui secara sistematis sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Baik dalam konteks penyelesaian kasus pidana maupun dalam konteks penyelesaian kasus perdata. Kita contohkan saja kasus perdata yang diajukan oleh seseorang ke pengadilan. 

Langkah utama yang harus dilakukan adalah dengan mengajukan gugatan (surat yang berisi tuntutan hak) ke pengadilan sesuai dengan wilayah yurisdiksinya masing-masing. Setelah gugatan diajukan, tidak langsung diputuskan oleh majelis hakim yang telah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan, akan tetapi harus diikuti dengan proses mediasi (musyawarah untuk mencapai perdamaian melalui seorang mediator) terlebih dahulu, karena mediasi merupakan suatu tahapan yang wajib diikuti sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan. Mediasi yang dilakukan pun dapat menghabiskan waktu. Apalagi kalau ada pihak yang tidak berhadir sehingga mediasi tidak bisa dilaksanakan atau ditunda pada pertemuan berikutnya. Mediasi yang dilaksanakan pun tidak langsung mencapai kesepakatan damai, karena dapat dimungkinkan terjadi ketegangan dan tidak adanya pihak yang mengalah sehingga proses mediasi tidak mencapai kata damai. Langkah berikutnya yaitu pembacaan gugatan oleh Penggugat, kemudian Jawaban dari Tergugat, Replik dari Penggugat, Duplik dari Tergugat, Pembuktian Surat dari Penggugat dan Tergugat, Pembuktian melalui saksi dari Penggugat dan Kesimpulan dari Penggugat dan Tergugat. Setelah tahapan yang panjang dan melelahkan itu baru kemudian putusan yang dibacakan oleh hakim melalui putusan yang terbuka untuk umum.

Putusnya di persidangan tingkat pertama tidak lantas para pihak langsung menerima putusan yang diputuskan. Masih ada saja kemungkinan mengajukan banding dan kasasi sebagai upaya hukum bagi pihak-pihak yang tidak menerima putusan majelis hakim di tingkat pertama. Proses banding ke Pengadilan Tinggi juga menghabiskan waktu yang lumanyan lama, begitu pula dengan proses kasasi di tingkat Mahkamah Agung yang juga menyita waktu untuk menunggu putusannya. Setelah selesai diputuskan oleh Mahkamah Agung apa lantas perkara selesai, ternyata tidak demikian langsung selesai. Masih ada lagi upaya hukum luar biasa yang dapat ditempuh oleh para pihak yakni upaya hukum Peninjauan Kembali atau disingkat dengan PK bila di kemudian hari ditemukan adanya novum baru atau alat bukti baru terkait dengan persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat yang bertikai. Oleh karena banyak tahapanya yang diharus ditempuh sehingga pada tahun 2016 Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 agar proses penyelesaian perkara dapat dilakukan secara cepat di tingkat pertama dan berakhir dengan damai di antara para pihak.

Ciri khas utama dari hasil penyelesaian secara litigasi adalah win - lost yakni adanya pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Pihak kalah merasa senang dan bahagia, sebaliknya bagi yang kalah merasa marah dan tentunya memutuskan silaturahmi dan dendam yang berkepanjangan. Berbeda halnya dengan proses penyelesaian secara non litigasi yang memiliki karakteristik penyelesaian secara win - win solution yang artinya tidak adanya pihak yang menang dan tidak ada pula yang kalah. Sama-sama berada pada posisi yang menang. Rasa dendam tidak akan terjadi karena para pihak sudah saling menerima apa yang telah disepakati secara bersama-sama. 

Dari sisi biaya yang dikeluarkan juga sangat relatif minim dengan menyelesaikan kasus secara litigasi, karena tidak perlu membayar biaya perkara. Sebaliknya dalam kasus yang diselesaikan secara litigasi perlu biaya yang harus dikeluarkan. Bisa saja untuk bayar panjar biaya perkara, menghadiri ke persidangan. Untuk itu, dapat dipahami bahwa penyelesaian perkara secara litigasi banyak keuntungannya dibandingkan dengan proses penyelesaian secara non litigasi. Namun pilihan menggunakan kedua pola tersebut sangatlah tergantung para pihak yang bersengketa dan tentunya dengan sejumlah konsekuensi yang akan dialami.

Umumnya pola penyelesaian perkara yang dilakukan secara non litigasi itu dikenal juga dengan proses penyelesaian secara adat. Di kalangan masyarakat Aceh sering penyelesaian perkara dilakukan dengan cara bermusyarah yang sering dilaksanakan meunasah (mushalla) atau dapat juga dibalai. Proses tersebut digunakan dengan melibatkan kedua belah pihak agar mencapai kesebuah kesepakatan damai di antara para pihak.


Banda Aceh, 14 Februari 2023

Mansari



 


Hukuman cambuk merupakan salah satu bentuk hukuman atau dalam istilah yang digunakan dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat adalah 'uqubat. Pasal 1 Angka 17 QHJ menyatakan bahwa  ‘Uqubat adalah hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku Jarimah. Jadi, dapat dipahami bahwa 'uqubat adalah jenis hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap orang-orang yang telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan perbuatan yang dilarang oleh QHJ. Orang yang berwenang menjatuhkan hukuman cambuk tersebut adalah hakim yang diberikan kewenangan untuk mengadili perkara jinayat yang dalam hal ini adalah hakim Mahkamah Syar'iyah. 

Hukuman cambuk sebagai salah satu hukuman yang diberlakukan di Aceh merupakan sesuatu yang unik karena secara nasional hanya diatur dan diterapkan di Aceh. Secara nasional sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tidak mengatur hukuman cambuk sebagai salah satu hukuman yang dapat ditetapkan dalam UU maupun dalam Peraturan Daerah lainnya. Pemberlakuan hukuman cambuk tersebut merupakan sebuah konsekuensi dari penerapan syari'at Islam di Aceh. 

Meskipun hukuman cambuk tidak diatur dalam sistem hukum nasional, tapi keberadaan hukuman cambuk mendapatkan legitimasi dari UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Penegasannya dinyatakan dalam Pasal 241 Ayat 4 UU Pemerintahan Aceh yang merumuskan bahwa Qanun mengenai jinayah (hukum pidana) dikecualikan dari ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Sedangkan Ayat 1 dari Pasal 241 UU Pemerintahan Aceh menyatakan Qanun dapat memuat ketentuan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian, kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundangundangan. Kemudian di Ayat (2) merumuskan bahwa Qanun dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) dan terkahir Pasal 241 Ayat 3 menyatakan bahwa Qanun dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dipahami beberapa hal yaitu: Pertama, ancaman hukuman dalam qanun yang diatur di Aceh dibenarkan mencantumkan sanksi di dalamnya. Hukuman yang dapat ditentukan paling lama 6 bulan kurungan dan atau dengan paling banyak 50 Juta. Ketentuan tersebut berlaku untuk semua Qanun. Kedua, khusus untuk aturan yang mengatur tentang Jinayat ancaman hukumannya dapat diatur dengan hukuman yang berbeda atau dikecualikan dari ancaman hukuman 6 bulan penjara maupun 50 Juta. Inilah sebenarnya yang memberikan mandat kepada pemerintah Aceh untuk menyusun hukuman tersendiri khusus di bidang jinayat. Oleh karenanya, adanya aturan mengenai cambuk merupakan suatu hal yang dapat dibenarkan secara hukum, karena rujukan perumusan Qanun di Aceh selain melihat tatanan hukum yang berlaku secara nasional sebagaimana yang diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, juga melihat ketentuan yang diatur dalam UU Pemerintah Aceh. Jadi, hukuman cambuk yang diatur di Aceh mendapatkan legitimasi dari UU sehingga pemberlakuannya dapat diberlakukan bagi masyarakat di Aceh meskipun jenis hukumannya berbeda dengan sanksi yang diatur dalam sistem hukum nasional yang berlaku di Indonesia.

Hukuman cambuk khusus untuk kasus Khamar, zina dan Qadzaf diatur sebagai bentuk hukuman hudud yang hukumannya tidak dapat dilebihkan maupun dikurangi, yaitu 40 kali bagi pelaku peminum khamar, 100 kali untuk pelaku zina dan 80 kali untuk pelaku qadzaf (menuduh orang berzina tanpa bukti). Sedangkan dalam ketentuan zina yang dilakukan terhadap anak atau orang yang memiliki mahram selain ada hukuman hudud juga bisa ditambahkan dengan hukuman ta'zir. Hukuman ta'zir dalam Qanun Hukum Jinayat dibedakan menjadi beberapa kategori yaitu hukuman ta'zir utama dan hukuman ta'zir tambahan. Hukuman ta'zir utaman terdiri dari cambuk; denda; penjara; dan restitusi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa hukuman ('uqubat) cambuk dapat diklasifikasi menjadi hukuman ta'zir, meskipun dalam kasus yang ancaman hukumannya hudud seperti khamar, zina dan qazhaf itu sebagai hudud yang ancaman hukumannya tidak dapat dikurangi atau ditambahkan oleh hakim yang memutuskan perkaranya. 

Untuk ta'zir tambahan, Qanun Jinayat mengatur beberapa kategori yaitu: pembinaan oleh negara; Restitusi oleh orang tua/wali; pengembalian kepada orang tua/wali; pemutusan perkawinan; pencabutan izin dan pencabutan hak; perampasan barang-barang tertentu; dan kerja sosial.


Banda Aceh, 15 Februari 2023

Mansari


 


Hukum materil merupakan suatu ketentuan yang mengatur tentang persoalan tertentu berkaitan dengan materi hukum baik yang dilarang maupun yang dibolehkan serta ancaman hukuman yang ditetapkan di dalamnya. Hukum materil  berisi tentang materi hukum tentang suatu persoalan tertentu. Baik dalam konteks keperdataan maupun dalam aspek hukum pidana. Berbeda dengan hukum materil, hukum formil merupakan hukum proses yang digunakan manakala hukum materil dilanggar oleh seseorang atau sekelompok orang. Hukum formil disebut juga dengan hukum acara yang mengatur tentang bagaimana memproses seseorang yang diduga melakukan sebuah pelanggaran atau kejahatan yang melanggar ketentuan yang diatur dalam hukum materil. 

Baik dalam konteks hukum perdata maupun hukum pidana dikenal adanya hukum materil dan hukum formil. Begitu pula dengan hukum jinayat yang berlaku di Aceh selain mengatur sejumlah pengaturan tentang hukum materil dan juga hukum formil yang telah disahkan serta diberlakukan di Aceh. Hukum Materil yang menjadi hukum materil dalam kaiatannya dengan penerapan syari'at Islam adalah Qanun Aceh Nomr 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Sedangkan hukum formil yang digunakan untuk menegakkan Qanun Hukum JIinayat adalah Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat.

Hukum materil dan hukum formil dalam konteks penegakan syariat Islam di Aceh memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. Hukum formil tidak dapat diberlakukan secara maksimal tanpa adanya hukum materil. Begitu pula dengan hukum materil tidak akan berfungsi secara baik tanpa adanya hukum formil. Jadi, keduanya bagaikan dua sisi mata uang logam yang tak dapat dipisahkan. Hukum materil dan hukum formil itulah yang akan menjadi standart of conduct (pedoman) bagi penegak hukum dalam rangka penegakan syariat Islam. Hukum materil digunakan sebagai dasar untuk menentukan seseorang melanggar jarimah (tindak pidana) yang diatur dalam qanun, sedangkan hukum formil menentukan bagaimana memproses seseorang yang diduga melakukan jarimah sebagaimana yang diatur. Jadi, keduanya berjalan berbarengan dalam konteks penegakan hukum jinayat di Aceh.

Banda Aceh, 15 Februari 2023

Mansari


 



Pemberlakuan Qanun Hukum Jinayat (QHJ) di Aceh tidak hanya diberlakukan bagi orang dewasa, namun dapat pula dikenakan kepada anak. Meskpun demikian, ada perlakuan khusus yang telah diatur sedemikian rupa dalam QHJ serta mekanisme penanganannya yang sangat berbeda dengan perlakuan yang terhadap orang dewasa. Pertama sekali yang perlu diperhatikan ketika menangani anak yang berhadapan dengan hukum jinayat adalah usianya. Qanun Jinayat mengatur usia anak dalam Pasa 1 angka 40 QHJ yang menyatakan Anak adalah orang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah. 

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah anak yang berumur dari satu tahun sampai 18 tahun dapat dikenakan dengan hukum jinayat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diperhatikan ketentuan Pasal 67 Ayat 1 QHJ yang menyatakan Apabila anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum menikah melakukan Jarimah, maka terhadap anak tersebut dapat dikenakan ‘Uqubat paling banyak 1/3 (satu per tiga) dari ‘Uqubat yang telah ditentukan bagi orang dewasa dan/atau dikembalikan kepada orang tuanya/walinya atau ditempatkan di tempat yang disediakan oleh Pemerintah Aceh atau Pemerintah Kabupaten/Kota. Berdasarkan ketentuan tersebut mengandung makna yang implisit yang menunjukkan bahwa hanya anak yang berumur antara 12 tahun sampai 18 tahun yang dapat dikenakan dengan ancaman hukuman yang diatur dalam QHJ. Sementara anak yang berumur 12 tahun ke bawah tidak dapat dikenakan, akan tetapi dikembalikan kepada orangtuanya.

QHJ memperlakukan secara khusus terhadap anak yang berhadap dengan kasus jinayat, selain umurnya antara 12 sampai dengan 18 tahun, berkaitan dengan hukuman pun dibedakan dengan ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan kepada orang dewasa. Ketentuan Pasal 67 Ayat 1 sebagaimana yang telah disebutkan di atas yang memberikan pengurangan hukuman menjadi 1/3 (satu per tiga) dari hukuman orang dewasa, dikembalikan kepada orangtua/waliya atau ditempatkan di tempat yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Berdasarkan ketentuan tersebut ternyata adanya perbedaan perlakuan antara orang dewasa yang melakukan jarimah dengan anak yang melakukan jarimah sebagaimana yang telah diatur dalam QHJ. Perbedaan tersebut sebagai bentuk kekhususan pengaturan yang orientasi utamanya adalah untuk melindungi anak.  

Pengaturan yang mengatur pengurangan hukuman 1/3 (satu per tiga) di atas bila dianalisis secara lebih jauh dengan ancaman hukuman hudud kiranya dapat bermasalah. Prinsipnya dalam konteks jarimah yang ancaman 'uqubatnya (hukumannya) hudud seperti minum khamar, zina dan qazhaf tidak dapat dikurangi maupun ditambahkan oleh hakim yang mengadili perkaranya. Meskipun dalam QHJ sebenarnya ada penambahan hukuman ta'zir bagi pelaku yang mengulangi jarimah hudud atau dilakukan dengan anak yang ancamannya bisa ditambahkan oleh hakim. Lalu pertanyaan yang kemudian muncul bisakah untuk ketiga kasus tersebut digunakan khusus untuk anak. Jawabannya tentu lah tidak dapat dikurangi, karena menurut ketentuan Pasal 1 angka 18 QHJ yang menyatakan hudud adalah jenis ‘Uqubat yang bentuk dan besarannya telah ditentukan di dalam Qanun secara tegas. Ketiga kasus tersebut tegas ancaman hukumannya yaitu 40 kali cambuk bagi pelaku khamar, 100 kali cambuk untuk pelaku zina dan 80 kali cambuk bagi pelaku Qazhaf (menuduh orang berzina). Dengan demikian merupakan suatu dilema aturan dalam QHJ berkaitan dengan pengurangan ancaman hukuman bagi pelaku anak dalam konteks hukumannya hudud.

Perlakuan yang berbeda selanjutnya untuk kasus anak yang berhadapan dengan hukum jinayat adalah mekanisme penanganannya yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan lainnya yang dalam hal ini adalah UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Keharusan merujuk kepada peraturan yang lain itu merupakan perintag langsung dari Pasal 66 QHJ yang menyatakan apabila anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun melakukan atau diduga melakukan Jarimah, maka terhadap Anak tersebut dilakukan pemeriksaan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan mengenai peradilan pidana anak. Salah satu pedoman tersebut diatur secara spesifik dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Misalnya, hakim tidak boleh menggunakan toga, anak didampingi oleh Pekerja Sosial, hakim yang memeriksanya adalah hakim tunggal dan sejumlah perbedaan lainnya.


Banda Aceh, 12 Februari 2023

Mansari

 

  


 


 

Persoalan harta bersama selalu menjadi kajian menarik di berbagai kalangan, terutama di kalangan akademisi yang memiliki konsentrasi di bidang hukum Islam. Apalagi persoalan harta bersama secara konsepsi fiqh tidak diatur di dalamnya. Pengaturan tentang harta bersama barulah diatur secara spesifik dalam UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Begitu pula dengan masyarakat yang kerapkali memiliki relevansi dengan topik harta bersama dengan alasan pasca terjadinya perceraian seringkali terjadi keributan dan perselisihan di antara pasangan suami isteri untuk memperebutkan harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.

Pemahaman tentang harta bersama haruslah mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan. Hal ini bertujuan supaya tidak terjadi konflik yang berkepanjangan antara pasangan suami isteri setelah bercerai yang masing-masing menuntut harta bersama. Para pihak yang terlibat haruslah memahami dengan betul ketentuan mengenai bagian yang diperoleh oleh masing-masing pihak pasca terjadinya perceraian. Secara regulasi yang berlaku di Indonesia, ketentuan tentang harta bersama diatur dalam Pasal beberapa Pasal dalam UU Perkawinan dan beberapa Pasal dalam KHI. UU Perkawinan mengaturnya dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37. Sedangkan dalam KHI diatur dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97.

Menurut Pasal 35 UU Perkawinan Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Kemudian Pasal 35 Ayat 2 menyatakan bahwa Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Berdasarkan Pasal 35 Ayat 1 dan Pasal 35 Ayat 2 tersebut dapat dipahami bahwa hukum positif yang berlaku di Indonesia membedakan dua kategori harta dari suami maupun isteri yakni harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama diperoleh pasca perkawinan di antara pasangan suami isteri tersebut tanpa mempersoalkan atas dasar nama siapa terdaftar dari harta tersebut. Sementara harta bawaan merupakan harta yang memang sudah diperoleh sebelum mereka menikah, baik diperoleh dengan cara membeli sendiri maupun diperoleh melalui hadiah, warisan maupun hibah. Harta bawaan menjadi milik masing-masing sepanjang tidak diperjanjikan lain oleh pasangan tersebut. 

Selain adanya perbedaan dari harta bersama dan harta bawaan dari sisi waktu perolehan dan cara perolehannya, perbedaan berikutnya dapat dilihat pada aspek penggunaannya. Harta bersama dapat digunakan secara bersama-sama dan salah satu pihak tidak dibenarkan menggunakan harta bersama tanpa adanya persetujuan dari pihak lain. Penggunaan secara sepihak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan bahkan dapat dituntut dengan tindak pidana penggelapan jika salah satu pihak menggunakan harta bersama tersebut, Sementara harta bawaan dapat dipergunakan secara langsung oleh para pihak tanpa memperoleh persetujuan dari salah satu pihak, karena harta bawaan menjadi sepenuhnya harta miliknya. Oleh karenanya penggunaan terhadap harta tersebut tanpa perlu persetujuan dari pasangannya. 

Pasal 36 Ayat 1 UU Perkawinan menyatakan bahwa Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Kemudian Pasal 36 Ayat 2 menyatakan bahwa Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa suami dapat bertindak terhadap harta bawaannya, begitu pula dengan isteri dapat bertindak sendiri tanpa memerlukan persetujuan dari suaminya. Sedangkan untuk penggunaan harta bersama harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari pasangannya masing-masing bila tidak ingin menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.

UU Perkawinan tidak mengatur secara detail mengenai harta bersama. Berbeda dengan KHI yang secara signifikan mengatur tentang harta bersama ini. Bahkan porsi bagian masing-masing dari harta bersama pun diatur secara detail. Hal ini dapat diperhatikan dari ketentuan Pasal 97 KHI menentukan bahwa Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Begitu pula dengan ketentuan Pasal 96 Ayat 1 yang menyatakan bahwa Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Merujuk pada kedua ketentuan di atas dapat dipahami bahwa KHI membagikan harta bersama dengan bagian 1/2 (setengah) bagi isteri dan 1/2 (setengah) bagi suami baik karena cerai hidup maupun cerai mati. 

Dalam perkembangannya di dunia peradilan, Pembagian harta bersama sudah tidak terlalu kaku lagi dalam pembagiannya. Ada sebagian Pengadilan yang sudah membagi dengan porsi yang tidak seimbang antara suami dan isteri. Bahkan ada yang pembagiannya lebih banyak diberikan kepada isteri dengan pertimbangan kontribusi isteri lebih banyak dari suami dan ada juga pertimbangan suami tidak pernah memberikan nafkah selama masih adanya ikatan perkawinan dan cenderung menghabiskan harta bersama yang telah diperoleh oleh pasangan suami isteri tersebut. Bahkan pembagian yang tidak berimbang tersebut sudah menjadi yurisprudensi Mahkamah Agung.  

Banda Aceh, 12 Februari 2023

Mansari


 


Pelecehan seksual merupakan salah satu jarimah (tindak pidana) yang diatur dalam Qanun Hukum Jinayat yang berlaku di Aceh selain sembilan jenis jarimah lainnya yaitu Khamar, Maisir, khalwat, ikhtilat, zina, pemerkosaan, qadzaf, liwath dan musahaqah. Kesepuluh jarimah tersebut untuk saat ini sudah menjadi kewenangan Mahkamah Syar'iyah dalam mengadili dan memutuskannya. Sebelumnya hanya tiga jenis jarimah yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar'iyah yaitu kasus khamar, maisir dan khalwat berdasarkan Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar, Qanun Aceh Nomor 13 tentang Maisir, Qanun Aceh Nomor 14 tentang Khalwat. Pasca disahkannya Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (QHJ), kewenangan Mahkamah Syar'iyah semakin bertambah dalam mengadili perkara jinayat menjadi 10 jarimah, termasuk di dalam kasus pelecehan seksual.

Setelah disahkannya QHJ, memang awalnya masih terjadinya tumpang tindih kewenangan antara Mahkamah Syar'iyah dan Pengadilan Negeri dalam mengadili perkara pemerkosaan dan pelecehan seksual. Sebagian Mahkamah Syar'iyah sudah menerima dan mengadili perkara tersebut, namun sebagian yang lain tidak mengadilinya karena tidak dilimpahkan oleh JPU. JPU melimpahkan ke Pengadilan Negeri. Hal ini disebabkan karena memang awalnya kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual masuk ke dalam kategori tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan UU Perlindungan Anak yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri sehingga tepat dan berwenang Pengadilan Negeri dalam mengadili perkara pemerkosaan dan pelecehan seksual. Namun setelah dimasukkan ke dalam Qanun Hukum Jinayat sudah mulai beralih kewenangan menjadi kewenangan Mahkamah Syar'iyah. 

Dinamika dalam penegakan kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan masih tetap terjadi meskipun jarimah pelecehan seksual dan pemerkosaan telah diatur dalam QHJ. Tumpang tindih kewenangan pun masih ada di antara Mahakamah Syar'iyah dan Pengadilan Negeri. Dorongan dari masyarakat sipil pun sangat tinggi yang mendesak supaya kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan yang korbannya anak supaya diadili oleh Pengadilan Negeri dengan dasar bahwa dasar hukum yang digunakan bisa menjadi lebih tinggi yaitu UU Perlindungan Anak, sedangkan ancaman hukuman bagi pelaku yang diatur dalam QHJ lebih rendah dari UU Perlindungan Anak. Dinamika kewenangan mengadili barulah berakhir setelah lahirnya Surat Edara dari Kejaksaan Agung Nomor SE-2/E/11/2020 tentang Pedoman Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum dengan Hukum Jinayat di Provinsi Aceh. Sejak saat itulah baru kasus pelecehan seksual dan Mahkamah Syar'iyah diadili oleh Mahkamah Syar'iyah. 

QHJ jinayat mengklasifikasi jarimah pelecehan seksual menjadi dua kategori, yaitu pertama yang korbannya anak dan kedua korbannya adalah orang dewasa. Untuk kasus pelecehan seksual yang korbannya adalah anak, ancamannya diberikan lebih tinggi dibandingkan dengan ancaman hukuman yang diberikan kepada kasus yang korbannya orang dewasa. Pemberian hukuman yang lebih tinggi kepada korban yang masih berstatus anak bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak.

Berkaitan dengan pengaturan tentang jarimah pelecehan seksual dapat dilihat pada Pasal 46 QHJ yang menyatakan bahwa Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah pelecehan seksual, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 45 (empat puluh lima) kali atau denda paling banyak 450 (empat ratus lima puluh) gram emas murni atau penjara paling lama 45 (empat puluh lima) bulan. Kemudian Pasal 47 QHJ menyatakan bahwa Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Pelecehan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terhadap anak, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 90 (sembilan puluh) kali atau denda paling banyak 900 (sembilan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 90 (sembilan puluh) bulan.

Berdasarkan kedua ketentuan di atas dapat dipahami bahwa ancaman hukum terhadap pelaku yang korbannya anak adalah tiga alternatif pilihan yaitu Cambuk 90 kali atau denda 900 gram emas murni atau 90 bulan penjara. Sedangkan untuk kasus pelecehan seksual yang korbannya adalah orang dewasa, ancaman hukumannya 45 kali cambuk atau 450 gram emas murni atau 45 bulan penjara. Dengan kata lain, hukuman yang diberikan kepada pelaku yang korbannya anak adalah dua kali lipat dari orang dewasa. Ancaman tersebut bersifat alternatif yang dapat dipilih salah satu oleh JPU dan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku.

Banda Aceh, 16 Februari 2023

Mansari


j.     


  


Latar Belakang Masalah (LBM) merupakan bagian penting dalam sebuah Skripsi, Tesis dan Disertasi dan juga dalam proposal penelitian yang diajukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada penelitian untuk diajukan ke lembaga Donatur (funding). Sebuah LBM sangat menentukan diterima atau tidaknya proposal yang diajukan. Semakin tinggi kualitas proposal yang dibuat akan semakin besar kemungkinan diterima oleh Program Studi di Perguruan Tinggi atau oleh Lembaga Donor (Funding). Sebaliknya, semakin tidak terarah LBM yang diuraikan akan semakin kecil kemungkinan diterima. Oleh karena itu, bagian ini harus dioptimalkan penulisannya agar proposal yang diajukan dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk diterima.   

Menurut pengamatan yang penulis perhatikan dari LBM yang disusun oleh mahasiswa dan sebagian dosen masih menuliskan masalah di bagian terkakhir mendekati rumusan masalah. Penulisan dengan pola demikian memang bukanlah suatu hal yang dilarang, tapi akan menghabiskan waktu relatif lebih lama dibandingkan dengan menguraikan isu utama langsung di paragraph pertama. Pembaca harus membaca dulu apa yang dituliskan oleh penulis yang berputar-putar dan penuh lika-likunya menuju ke isu utama (point issue). Padahal yang ingin dicari oleh pembaca adalah di mana letak kesenjangan (gap) antara “yang seharusnya (dass sollen) dengan kenyataan (dass sein), antara “harapan” dan “yang terjadi”.

Berikut ini penulis akan menguraikan dua contoh di mana contoh pertama uraian LBM yang langsung ke focus permasalahan sedangkan contoh kedua menguraikan isu pokok persoalan di bagian akhir. Setelah contoh diuraikan barulah nantinya akan diberikan penjelasan mana yang baik dan apa alasannya serta hal-hal apa saja yang harus ada dalam LBM sehingga menjadi lebih menarik bagi pembacanya. Berikut adalah dua contoh LBM:

Contoh I (Menguraikan Isu di Paragraf Pertama:

Angka perceraian yang terjadi di Provinsi Aceh terus meningkat dari Tahun ke Tahun. Pada Tahun 2021 angka perceraian mencapai 2000 kasus, kemundian pada Tahun 2021 meningkat menjadi 2500 dan terakhir pada Tahun 2022 angka semakin meningkat menjadi 2750 kasus. Berdasarkan data tersebut menunjukan adanya fenomena yang serius di bidang perkawinan yang memerlukan perhatian dari berbagai kalangan. Terutama bagi pemerintah yang perlu mencarikan solusi konkrit guna mengurangi praktik perceraian di kalangan masyarakat, karena perceraian menimbulkan dampak yang tidak baik bagi pasangan suami isteri serta anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

Contoh II (Menguraikan Isu Utama di Bagian Terakhir):

Perceraian merupakan perpisahan antara pasangan suami dan isteri serta menghilagkan seluruh hak dan kewajiban sebagai suami isteri. Bagi pasangan suami isteri yang ingin bercerai dalam konteks hukum Indonesia harus menempuh jalur Pangadilan dalam hal ini Pengadilan Agama. Perceraian yang dilakukan di luar pengadilan sebagai perceraian liar dan tidak memiliki kekuatan hukum. Akibat yang muncul dari perceraian di luar pengadilan akan menimbukan dampak negatif bagi pasangan tersebut. Terutama bagi isteri yang tidak dapat menuntut hak-haknya. Berbeda dengan perceraian dilakukan di hadapan pengadilan yang mana isteri dapat menuntut hak-haknya. Apabila tidak dilaksanakan dapat diminta eksekusi kepada Ketua Pengadilan.

Ajaran agama Islam sangat melarang praktik perceraian. Meskipun cerai itu halal tapi sangat dibenci oleh Allah. Untuk itu seorang muslim sangat tidak dianjurkan bercerai, karena dapat menimbulkan dampak yang tidak baik. Terutama bagi anak yang awalnya mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuanya, pasca bercerai seorang anak hanya mendapatkan kasih sayang dari salah satu orangtuanya. Dampak perceraian lainnya juga akan menimbulkan trauma bagi anak.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Mahkamah Syar’iyah angka perceraian semakin meningkat terus menerus setiap tahunnya. Pada Tahun 2021 angka perceraian mencapai 2000 kasus, kemundian pada Tahun 2021 meningkat menjadi 2500 dan terakhir pada Tahun 2022 angka semakin meningkat menjadi 2750 kasus. Berdasarkan data tersebut menunjukan adanya fenomena yang serius di bidang perkawinan yang memerlukan perhatian dari berbagai kalangan. Terutama bagi pemerintah yang perlu mencarikan solusi konkrit guna mengurangi praktik perceraian di kalangan masyarakat, karena perceraian menimbulkan dampak yang tidak baik bagi pasangan suami isteri serta anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

 

            Kedua contoh di atas dapat dilihat perbedaannya. Contoh pertama uraiannya langsung to the point yakni langsung focus ke pokok persoalan yakni tingginya angka perceraian yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan. Sedangkan pada contoh kedua uraiannya terlalu berbelit-belit dan berlika-liku, tidak to the point, pembaca harus membaca pengantar dulu definisi perceraian yang diuraikan oleh penulis. Memang kedua contoh di atas di dalamnya ada dass sollen dan dass sein tapi membaca contoh yang pertama akan membuat pembaca baik Ketua Prodi atau Lembaga Donor semakin yakin dengan proposal yang kita ajukan dan semakin penasaran dengan hasil temuan yang akan diperoleh setelah penelitian dilaksanakan. Jadi, menulis pokok permasalahan di bagian paragraf pertama menjadi salah satu trik yang perlu dimanfaatkan akan proposal yang dituliskan semakin membuka peluang yang besar diterima.

Berdasarkan contoh di atas pula dapat dipahami bahwa isu pokok yang diajukan sudah dapat ditampilkan dengan baik. Di contoh sudah menguraikan betapa perceraian ini menjadi hal yang tidak baik dampaknya baik bagi pasangan suami isteri maupun kepada anak-anak yang lahir dari perkawian tersebut. Jadi, berdasarkan data-data yang ditunjukkan semakin memperkuat Lembaga Donor atau Prodi untuk menerima proposal yang kita ajukan karena tingkat urgensinya sangatlah tinggi untuk diselesaikan melalui penelitian.

Berdasarkan contoh tersebut pula, dapat dipahami bahwa uraian fenomena mengenai suatu peristiwa perlu digambarkan atau diuraikan dalam LBM agar semakin menyakinkan pembaca bahwa yang dituliskan itu benar-benar isu konkrit yang perlu diselesaikan.

Dari beberapa hal yang telah dideskripsikan di atas, maka yang perlu diperhatikan dalam menulis LBM adalah: Pertama, Adanya isu utama yang perlu diselesaikan yakni adanya kesenjangan antara yang seharusnya dengan kenyataan, antara yang diharapkan dengan yang terjadi. Di mana seharusnya penelitian bertujuan mewujudkan Sakinah, mawaddah dan warahmah namun yang terjadi justeru sebaliknya. Inilah yang disebut sebagai bagian kegelisahan akademik dari peneliti yang mendorong sehingga tergerak meneliti topik tersebut.

Kedua, Adanya fenomena dan data-data konkrit yang ditunjukkan dalam LBM sehingga proposal yang diajukan membutuhkan penyelesaian. Ketiga, Urgensitas dari topik yang kita ajukan karena diperkuat dengan bukti bahwa perceraian menimbulkan dampak yang tidak baik anak sehingga menjadi hal yang urgen diteliti agar mendapatkan gambaran secara komprehensif melalui penelitian.

Banda Aceh, 17 Februari 2023

Mansari


Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages

Blog Archive