Sabtu, 08 Agustus 2015

BAB SATU
PENDAHULUAN
A.    PENDAHULUAN
Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang sangat tercela, terkutuk dan sangat dibenci oleh sebagian besar masyarakat, tidak hanya oleh masyarakat dan bangsa Indonesia, tapi juga oleh masyarakat bangsa di dunia. Oleh karena itu, usaha penanggulangan dan pemberantasan korupsi merupakan seluruh usaha bangsa di dunia internasional. Keprihatinan dunia internasional terlihat dengan berulangkalinya masalah ini dibicarakan di berbagai forum internasional walaupun dengan ungkapan dan sebutan yang macam-macam.[1]
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan di Indonesia sebagai bangsa yang besar memerangi kejahatan korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum yang memiliki jabatan di pemerintahan. Sehingga dibentuklah lembaga yang khusus untuk menangani korupsi di Indonesia yang disebut dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, akhir-akhir ini, posisi KPK mulai melemah dikarenakan ketentuan UU yang mengatur tentang KPK yang menuntut untuk direvisi kembali. Banyaknya penetapan tersangka terhadap koruptor yang diajukan praperadilan, dan dimenangkan oleh pemohon sebagai bukti bahwa UU KPK sangatlah lemah.
Kasus-kasus penetapan tersangka yang diajukan praperadilan telah memberikan format baru dalam dunia peradilan Indonesia. Hal ini dikarenakan diberikan perluasan terhadap objek praperadilan melebihi dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam KUHAP. Perubahan itu berawal dari dikabulkannya praperadilan yang diajukan oleh Budi Gunawan terhadap penetapan dirinya sebagai tersangka. Hakim Sarpin yang mengadili perkara tersebut mengabulkan gugatan Budi Gunawan dengan memperluas objek praperadilan yaitu penambahan penetapan tersangka sebagai objek peradilan.
 Sebelumnya objek praperadilan terdiri dari sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan. Demikianlah ketentuan yang diatur dalam Pasal 79 KUHAP. Permohonana praperadilan dapat dimohonkan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya bila dinilai tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.[2]
            Perluasan objek praperadilan yang dilakukan oleh hakim Sarpin dapat memperbaharui system hukum pidana Indonesia. Akibat, Pasal yang mengatur objek praperadilan dijudicial review-kan kepada  Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan pengajuan permohonan tersebut, Hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan dan menyatakan bahwa penetapan tersangka menjadi salah satu objek praperadilan berdasarkan putusan Nomor Nomor 21/PUU-XII/2014.
            Dengan dikabulkannya perluasan objek praperadilan oleh Mahkamah Konstitusi, maka menjadi angin segar bagi para koruptor untuk mengajukan penetapan dirinya sebagai tersangka kepada Pengadilan Negeri yang memiliki yurisdiksi untuk mengadilinya. Akibatnya banyak koruptor yang mengajukannya dan ada yang diterima, namun ada pula yang ditolak oleh Hakim tunggal yang mengadilinya.
Kasus praperadilan terakhir yang menyedot perhatian publik adalah permohonan praperadilan yang dimohonkan oleh Dirjen Pajak Hadi Poernomo. Dalam kasus Hadi Poernomo, diadili oleh hakim tunggal Haswandi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Berdadsarkan pemeriksaan di persidangan, hakim memutuskan mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukannya dan menetapkan bahwa penetapan tersangka kepada dirinya tidak sah. Alasannya adalah penyidik yang melakukan penyidikan terhadap dirinya yakni Dadi tidak menyandang status “Penyidik Pegawai Negeri Sipil” di Instansi asalnya yakni Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, tetapai hanya sebagai auditor. Begitu juga dengan penyidik KPK Ambarita, dengan diberhentikannya secara terhormat dari Polri sejak 25 November 2014, maka status penyidik dalam dirinya juga telah hilang sejak ia diberhentikan. Artinya, penyidikan KPK atas HP juga tidak sah karena Penyelidik dan Penyidiknya memang tidak sah.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini menarik untuk dikaji dari aspek yuridis yang mengatur tentang itu. Untuk itu, judul penulisan ini adalah “Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Permohonan Praperadilan Hadi Poernomo”.
B.     Rumusan Masalah
Untuk mengantisipasi agar pembahasan tidak menyebar luas, kiranya pembahasan ini akan dibatasi dengan dua formulasi pertanyaan berikut ini:
1.      Apa dasar pertimbangan hakim mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh Hadi Poernomo?
2.      Bagaimanakan tinjauan yuridis terhadap dikabulkannya permohonan praperadilan yang diajukan oleh Hadi Poernomo?

C.    Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penulisan ini memiliki tujuan yang hendak dicapai yaitu:
1.      Untuk mengetahui pertimbangan-pertimbangan yang digunakan hakim dalam mengabulkan permohonan praperadilan yang dimohonkan oleh Hadi Poernomo.
2.      Untuk mengetahui tinjauan yuridis berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia terkait dikabulkannya permohonan praperadilan yang diajukan oleh Hadi Poernomo.
Dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan pengetahuan dalam kajian ilmu hukum di perguruan tinggi khususnya di Fakultas Hukum agar dapat memperbanyak literature yang membahan tentang objek praperadilan. Karena masalah perluasan objek praperadilan termasuk persoalan baru yang menggongcangkan jagat raya kajian hukum di Fakultas Hukum. kajian mengenai itu, tentu belum banyak, karena baru-baru diputuskan. Oleh karenanya, dengan adanya penulisan ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang dapat dijadikan referensi oleh penulis atau peneliti lainnya mengenai objek praperadilan.

BAB DUA
DASAR-DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MENGABULKAN PERMOHONAN PRAPERADILAN HADI POERNOMO

2.1. Dasar Pertimbangan Hakim
Salah satu syarat foemalitas yang harus dipenuhi dalam setiap putusan adalah adanya pertimbangan-pertimbangan hukum oleh hakim yang mengadili perkara tersebut. ketiadaan pertimbangan hukum dalam putusan akan berakibat fatal demi huku. Hal ini diatur dalam Pasal 197 Ayat (1) huruf d Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di siding yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Ayat (2) Pasal tersebut menyatakan kalau ketentuan tersebut tidak dipenuhi, kecuali yang tersebut pada huruf (g), putusan batal demi hukum[3]. Oleh karenanya, hakim wajib memberikan pertimbangan-pertimbangan yang menentukan kesalahan terdakwa supaya putusan yang diputuskan mempunyai kekuatan hukum.
Begitu juga dengan putusan yang diputuskan oleh hakim yang mengadili kasus Hadi Poernomo dengan perkara: 36 PID.PRAP/2015/PN.JKT yang telah memberikan pertimbangan-pertimbangannya sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Untuk memudahkan dalam mengananalisa putusan hakim tersebut, terlebih dahulu akan diuraikan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan hakim. Hal ini bertujuan untuk memudahkan dalam menganalisanya.
1.      Menimbang bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa penetapan tersangka masuk ke dalam obyek praperadilan.
2.      Menimbang bahwa KPK tidak melaksanakannya sesuai dengan prosedur yang diatur di dalam UU KPK. Hadi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyelahgunaan wewenang pada 21 April 2014. Penetapan tersangka itu bertepatan dengan tanggal penerbitan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprindik-17/01/04/2014.
3.      Menimbang, dengan demikian, harus ada proses penyidikan terlebih dahulu sebelum ditetapkan tersangkanya.
4.      Menimbang bahwa tindakan penyelidikan yang dilakukan Dadi Mulyadi dan penyidikan yang dilakukan Ambarita Damanik tidak sah. Pasalnya, Dadi tidak menyandang status penyelidik pegawai negeri sipil di instansi asalnya di Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Status Dadi hanya sebatas sebagai auditor.
5.      Menimbang bahwa Ambarita telah diberhentikan secara terhormat dari Polri sejak 25 November 2014. Dengan demikian, status penyidik yang sebelumnya melekat kepadanya telah hilang sejak ia diberhentikan.
6.      Menimbang bahwa penyidikan dan penyelidikan tidak sah, maka proses penyidikan terhadap Hadi Poernomo dihentikan.
2.2. Landasan Yuridis yang Digunakan Hakim
Sebelum dianalisis lebih jauh perlu juga dijelaskan landasan-landasan yuridis yang digunakan hakim dalam memutuskan kasus Hadi Poernomo. Melalui yuridis itulah yang akan dianalisa putusan tersebut sesuai atau tidaknya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai Negara hukum harus menjadikan hukum sebagai panglima dan menempatkan supremasi hukum di atas segala-galanya. Untuk itulah, disini perlu diuraikan aspek yuridis yang dipergunakan hakim dalam memutuskan perkara tersebut. adapun yang menjadi landasan yuridis bagi hakim dalam memutuskan kasus tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa penetapan tersangka masuk ke dalam obyek praperadilan.
2.      UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
3.      Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Dalam dictum amar putusan hakim memutuskan :
DALAM EKSEPSI :
Menolak eksepsi Termohon untuk seluruhnya;
DALAM POKOK PERKARA :
1.      Mengabulkan permohonan Pra Peradilan Pemohon untuk sebahagian;
2.      Menyatakan Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon berkenaan dengan peristiwa pidana sebagaimana dinyatakan dalam penetapan sebagai Tersangka terhadap diri Pemohon yang diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 JIS Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP adalah tidak sah oleh karenanya penyidikan aquo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan oleh karena itu di perintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan, No. Sprin DIK-17/01/04/2014 tanggal 21 April 2014;
3.      Menyatakan menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka yang melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 JIS Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. Sprin Dik-17/01/04/2014 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya Penetapan Tersangka aquo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4.      Menyatakan Penyitaan yang dilakukan Termohon terhadap barang milik Pemohon adalah tidak sah dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
5.      Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan Tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
6.      Membebankan biaya perkara kepada Termohon sebesar NIHIL;
7.      Menyatakan tidak dapat diterima tuntutan Pemohon untuk yang lain dan selebihnya.















BAB TIGA
SUATU TINJAUAN YURIDIS BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP KASUS HADI POERNOMO
3.1. Analisa Yuridis Kasus Hadi Poernomo
Setelah memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan hakim tunggal hakim Haswandi dalam mengadili kasus Hadi Poernomo dengan Nomor register perkara Nomor 36 PID.PRAP/2015/PN.JKT, tim penulis berpendapat bahwa hakim Hadi Poernomo telah menerapkan hukum secara benar. Pegangannya adalah rule of law, dan ia hanya menerapkan aturan hukumnya yang terdapat dalam UU kepada kasus Hadi Poernomo. Artinya ia tidak melakukan penemuan hukum terhadap kasus tersebut.
Hal ini dapat dipahami bahwa berbagai keputusan yang diambil hakim, telah menggunakan landasan hukum secara cermat dan teliti. Masalah penetapan tersangka sebagai objek praperadilan sebagaimana yang diajukan Hadi, mempunyai legalitasnya yaitu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Dari putusan itu, Mahkamah Konstitusi memberikan perluasan objek praperadilan dengan menambahkan petetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Perluasan itu dikarenakan adanya pihak yang mengajukan judicial review terhadap Pasal 77 yang mengatur tentang objek praperadilan. Dalam Pasal 77 KUHAP hanya menyebutkan “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang:
a.       Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
b.      Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
 Bila diperhatikan ketentuan Pasal 77 KUHAP yang tidak mengatur tentang penetapan tersangka sebagai objek praperadilan, akan tetapi dengan diajukann judicial review terhadap Pasal tersebut, maka diberikan putusan oleh MK dengan memperluasn objek praperadilan dengan penambahan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan melalui putusan Nomor 21/PUU-XII/2014. Putusan tersebut berawal dari permohonan praperadilan kasus Budi Gunawan yang dikabulkan oleh Hakim Sarpin. Adanya putusan tersebut, dapat dijadikan rujukan oleh hakim-hakim lain dalam memutuskan perkara-peraka yang sama. Karena substansi keputusan tersebut sama kedudukannya dengan Undang-Undang yang ditetapkan oleh lembaga legislatif. Untuk itu, sangat beralasan bagi hakim Haswandi mengutip putusan tersebut sebagai dasar dalam mengadili kasus praperadilan.
Penerapan itu sesuai dengan asas legalitas yang terdapat dalam hukum pidana yang menyatakan bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dipidina kecuali atas kekuatan Undang-Undang pidana yang ada sebelum perbuatan dilakukan.[4] Karenanya, apa yang dijadikan landasan yuridis oleh hakim memang sudah ada ketentuan hukum yang mengaturnya.
Dalam kasus Hadi Poernomo hakim mengabulkan permohonan praperadilan. Sehingga menyisakan tanda tanya besar bagi pengamat hukum Indonesia. Hal ini dikarenakan, hakim menyatakan bahwa penetapan Hadi sebagai tersangka tidak sah dikarenakan penyidik atau penyelidik yang melakukan penyidikan terhadap kasus dirinya tidak sah. Padahal sebelum kasus itu mencuat, sudah banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh penyidik yang sama, tapi tidak mempersoalkannya. Dengan dikabulkannya praperadilan Hadi menjadi alasan bagi koruptor-koruptor lain untuk mempersoalkan keabsahan penyidik dan penyelidik dari KPK. Sehingga boleh jadi, koruptor lain bisa keluar dari jeratan hukum.
Tapi itulah kelemahan UU KPK yang mengatur tentang penyidikan dan penyelidik. Pasal 43 Ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Selanjutnya Pasal 45 Ayat (1) UU yang sama menyatakan Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Memperhatikan kedua ketentuan tersebut, maka dikabulkannya gugatan praperadilan Hadi Poernomo mendapat pembenaran.
Tindakan penyelidikan yang dilakukan Dadi Mulyadi dan penyidikan yang dilakukan Ambarita Damanik tidak sah. Karena, Dadi tidak menyandang status penyelidik Pegawai Negeri Sipil di instansi asalnya di Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Status Dadi hanya sebatas sebagai auditor. Dengan demikian sangat beralasan hukum bagi hakim untuk mengabulkan praperadilan Hadi Poernomo. Penyidikan dan penyelidik adalah penyidik yang tidak sah menurut hukum yang berlaku.
Meskipun sebagian dari putusan hakim yang telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, tapi ada juga yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku yakni pada point tiga amar putusan yang menentukan penyidikan terhadap Hadi Poernomo dihentikan. Padahal dalam UU KPK tidak membenarkan penghentian penyidikan bila telah ditetapkan sebagai tersangka. Di samping itu, putusan tersebut memutuskan lebih dari yang dimintakan oleh pemohon (ultra petita). Hal ini sangat bertentangan dengan hukum acara yang berlaku yang tidak boleh mengabulkan selain yang dimintakan. Dalam kasus tersebut, pemohon hanya memintakan agar penetapan tersangka dinyatakan tidak sah. Sebaliknya hakim mengabulkan melebihi dari itu dengan memerintahkan menghentikan penyidikan terhadap kasus Hadi Poernomo.
Melihat putusan yang demikian, sebenarnya KPK memiliki peluang untuk mempersoalkan hakim Haswandi melalui Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal itu disebutkan bahwa   “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta”. Tapi nyata belum dipersoalkan sampai saat ini.
Dengan memperhatikan berbagai kelemahan yang dimiliki oleh UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK dengan tidak diberikannya pengangkatan penyidikan dari POLRI, maka jurus andalan yang harus ditempuh adalah supaya segera disahkan Peraturan pemerintah pengganti UU (Perlu). Pengeluaran Perpu ini sangat beralasan karena dalam keadaan darurat atau mendesak. Sehingga bila ini tidak dilakukan maka, untuk sementara waktu tidak bisa ditangkap koruptor karena tidak memiliki penyidik yang diangkat dan diberhentikan dari KPK. Karenanya, tindak pidana korupsi akan semakin merajalela di Indonesia dan koruptor akan berfoya-foya.

BAB EMPAT
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
            Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa point penting sebagai inti dari penelitian ini, yaitu:
1.      Dalam menemutuskan kasus Hadi Poernomo, hakim tunggal Haswandi telah mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa penetapan tersangka masuk ke dalam obyek praperadilan, KPK tidak melaksanakannya sesuai dengan prosedur yang diatur di dalam UU KPK, harus ada proses penyidikan terlebih dahulu sebelum ditetapkan tersangkanya, tindakan penyelidikan yang dilakukan Dadi Mulyadi dan penyidikan yang dilakukan Ambarita Damanik tidak sah, dan pertimbangannya bahwa Ambarita telah diberhentikan secara terhormat dari Polri sejak 25 November 2014.
2.      Setelah memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan hakim tunggal hakim Haswandi dalam mengadili kasus Hadi Poernomo dengan Nomor register perkara Nomor 36 PID.PRAP/2015/PN.JKT, tim penulis berpendapat bahwa hakim Hadi Poernomo telah menerapkan hukum secara benar. Pegangannya adalah rule of law, dan ia hanya menerapkan aturan hukumnya yang terdapat dalam UU kepada kasus Hadi Poernomo. Artinya ia tidak melakukan penemuan hukum terhadap kasus tersebut.
4.2. Saran
            Dengan memperhatikan uraian yang telah dibahas dalam bab satu hingga bab empat, maka disarankan segerai KPK diperkuat kembali dengan merivisi ketentuan perundang-undangan yang ada. Mengingat banyak ketentuan-ketentuan KPK masih sangat lemah, sehingga dapat dicarikan alasan oleh kuasa hukum koruptor untuk membebaskan kliennya dari tindak pidana korupsi. Di samping itu, perlu juga dikeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU agar KPK lebih kuat kembali sebelum dibentuk atau direvisi UU KPK. Bila hal ini tidak dilakukan segera, maka akan menimbulkan malapetaka besar dalam pembangunan bangsa mengingat merajalelanya para koruptor yang menghisap uang Negara.

DAFTAR PUSTAKA

Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Semarang: Erlangga, 2009.
Muladi, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Pustaka Alumni, 2007.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), ed. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Ed. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.






















Status Penyelidik/Penyidik
Pada sesungguhnya jika diamati secara cermat dalam Pasal 43 maupun Pasal 45 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK, putusan praperadilan yang memenangkan HP mengandung kebenaran bersesuaian dengan UU KPK itu sendiri, terkait dengan status Penyelidik KPK dan status Penyidik KPK yang harus berasal dari Polri atau PPNS.
Agar lebih jelas saya kutip ketentuan tersebut. Pasal 43 UU KPK “Penyelidik KPK adalah Penyelidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Lalu Pasal 45 UU KPK menegaskan “Penyidik adalah Penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK.”
Harus dipahami untuk meluruskan kesimpangsiuran tafsir yang terjadi oleh sejumlah pengamat saat ini, cara memaknai Pasal 43 dan Pasal 45 tersebut bukan pada frasa “diangkat dan diberhentikan” tetapi frasa “Penyelidik/Penyidik”pada KPK… yang harus ditafsirkan lebih awal. Sehingga tertafsir hanyalah pejabat yang menyandang status Penyelidik/ Penyidik… dapat diangkat dan diberhentikan oleh KPK.
Selain itu dengan melihat ketentuan lain dalam UU KPK juga terdapat racio logis yang menguatkan kalau Penyelidik dan Penyidik KPK harus dari Polri atau PPNS, dengan terdapatnya frasa  “mereka yang akan diangkat sebagai Penyelidik/Penyidik KPK diberhentikan sementara dari instansi Kepolisian… (Vide: Pasal 39 ayat 3 UU KPK). Mustahil kiranya terdapat klausula “pemberhentian sementara” kalau KPK dapat mengangkat Penyelidik/ Penyidik independen.
Itupun memang dalam UU KPK tidak terdapat ketentuan syarat dan tata cara pengangkatan Penyelidik/Penyidik KPK, sehingga rujukan tentang syarat dan tata cara pengangkatan jabatan demikian harus berdasarkan pada Perundang-Undangan di luar UU KPK. Alhasil, tafsir sistematis Penyelidik/ Penyidik KPK harus menunjuk pada Pasal  4 dan Pasal 6 KUHAP.
Terkait dengan  adanya sejumlah pendapat yang menyatakan kalau pada dasarnya KPK dapat mengangkat Penyidik independen berdasarkan Pasal 38 ayat 2, dalam hemat saya “tidak sependapat dengan argumentasi tersebut.”Sebab Pasal 38 hanya merupakan pengecualian atas Pasal 7 ayat 2 KUHAP dalam relasinya dengan “wewenang” Penyidik Tindak Pidana Korupsi untuk tidak berkoordinasi dan mendapat pengawasan dari Penyidik Polri. Satu pun dalam klausulanya, tidak ada frasa yang bisa termaknai “status Penyidik independen”, kiranya bukan dari unsur Polri atau PPNS yang bisa diangkat oleh KPK. Sehingga dalil Pasal 38 sebagai basis “Penyidik independen” sudah pasti tertolak dengan sendirinya.
Tafsir Hukum
Satu-satunya jalan sesuai dengan racio logis dalam penalaran yuridis yang dibenarkan, sehingga KPK dapat mengangkat Penyelidik dan Penyidik independen. Yaitu, dengan kembali pada konsideran UU KPK itu sendiri. Sembari mengikutsertakan corak tafsir hukum teleologis dan futuristik.
Tafsir teleologis maupun futuristik sejalan dengan konsideran dalam beberapa poinnya: (a)…Pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara.”(b) Bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi; (c)…Perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Maka berdasarkan tiga konsideran tersebut, terdapat “kesepahaman” hadirnya lembaga KPK adalah lembaga independen yang dituntut untuk  bekerja secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. Ada terbersit harapan agar KPK menangani perkara tindak pidana korupsi secara efektif, sebab lembaga yang ada pada saat itu (Kepolisian dan Kejaksaan) “terkesan” tidak efektif menangani perkara tindak pidana korupsi.
Dalam konteks demikian, secara teleologis (tujuan) tersingkap sebuah makna “KPK dibentuk karena ada ketidakpercayaan terhadap Kepolisian dan Kejaksaan.” Sehingga alur (tafsir) futuristiknya (ke depannya) KPK harus bersifat independen. Termasuk, dalam perekrutan Penyelidik dan Penyidik KPK sebenarnya tidak boleh dari unsur Kepolisian (Polri), sebab institusi Kepolisian dari awal tidak dapat efektif menangani perkara tindak pidana korupsi. Belum lagi, gugurnya “independensi” KPK tat kala akan melakukan penyidikan dugaan Perkara korupsi di institusi Kepolisian jika Penyidiknya dari Kepolisan.
Lantas, kalau demikian, lagi-lagi akan mengemuka sebuah pertanyaan: Kenapa KPK merekrut Penyelidik dan Penyidik dari Polri pada hal lembaga ini tidak bisa efektif dalam penanganan tindak pidana korupsi? Jawabannya, tak ada alasan selain KPK yang sudah harus cepat bekerja pada waktu itu, agar dapat menjalankan fungsi-fungsinya, akhirnya penyelidik/penyidik Polri diperbantukanlah ke KPK.

Tentunya dalam jangka penjang mau tidak mau manakala Penyelidik dan Penyidik KPK yang bersifat independen agar memiliki legalitas, sehingga tidak ada lagi Penyelidik/ Penyidik illegal, UU KPK harus direvisi dengan mengintegrasikan ketentuan “sahnya Penyelidik/Penyidik independen yang dapat diangkat oleh KPK.” Dalam revisi tersebut harus memuat syarat-syarat dan tata cara pengangkatan Penyelidik/Penyidik independen yang akan menjalankan fungsinya masing-masing di KPK.
Pastinya, dibalik solusi alternatif tersebut akan muncul pertanyaaan lainnya; Kenapa Penyelidik/Penyidik KPK tidak diatur dalam Peraturan KPK saja. Jawabannya, tidak mungkin, sebab tidak ada “delegasi” Perundang-Undangan (UU KPK) yang berbunyi demikian; “selanjutnya penyelidik/penyidik KPK akan diatur melalui Peraturan KPK.”
Oleh karena itu, metode memberi legalitas Penyelidik/Penyidik independen memang hanya dengan revisi UU KPK saja. Cuma masalahnya, “legalitas” itu dibutuhkan sekarang, dan hanyalah Perppu bisa mewadahinya.
Penerbitan Perppu selalu terkait dengan alasan yang “genting” dan memaksa. Dalam hemat Penulis hal demikian memungkinkan dengan  bersandar pada beberapa alasan. Pertama, KPK bekerja dalam fungsi penindakan korupsi sebagai “penyelamat” kerugian keuangan negara guna mencegah hambatan pembangunan nasional. Kedua, dengan tuntutan pekerjaan KPK, dalam kondisi faktualnya terdapat 371 perkara korupsi yang penyelidik dan penyidiknya diangkat sendiri oleh KPK, maka perkara tersebut bisa menimbulkan “ketidakpastian” hukum kalau Penyelidik/Penyidiknya dipermasalahkan.
Landasan konstitusional sehingga Perppu perlu dihadirkan “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden dapat menerbitkan Perppu” a quo dengan syarat-syarat dalam putusan MK Nomor:  138/ PU-VII/ 2009. Ada kebutuhan hukum mendesak, sebab kondisi faktualnya Penyelidik/Penyidik KPK telah menjalankan fungsinya masing-masing dalam menyelesaikan perkara korupsi sesuai dengan SOP KPK dan peraturan yang berlaku, hanya saja karena status pejabat bersangkutan tidak sah sehingga segala tindakan dan dokumen perkaranya juga menjadi tidak sah. Demikian pula terdapat “kekosongan hukum” yang meniscayakan secara asali KPK membutuhkan Penyelidik/Penyidik independen tetapi “legalitasnya” dalam UU KPK tidak diatur.
Terakhir, dalam hal penerbitan Perppu harus ada “ketidakpastian hukum” juga menjadi prasyarat, pada dasarnya memenuhi untuk “Perppu Penyelidik/Penyidik KPK”, sebab ketidakabsahan Penyelidik/Penyidik KPK akan menimbulkan ketidakpastian dalam forum Praperadlan yang menguji sah/tidaknya penetapan tersangka. Perppu harus menutup celah terjadinya “inkonsistensi” putusan praperadilan karena efek Penyelidik/Penyidik independen KPK yang tidak sah.
Sudah saatnya Presiden Jokowi membuktikan janjinya akan memperkuat KPK dengan jalan penerbitan “Perppu Penyelidik dan Penyidik KPK”.  Kalau komisionernya saja bisa dikuatkan dengan Perppu, tidak ada alasan lain Penyelidik dan Penyidik independen juga harus dikuatkan. Sebab apalah arti Komisioner KPK kalau “Penyelidik/Penyidik independen” yang bekerja secara totalitas, tetapi berada dalam ancaman “kelumpuhan” di Praperadilan nantinya.





[1] Muladi, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Pustaka Alumni, 2007), hlm. 143.
[2] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), ed. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 8-9.
[3] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Ed. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 288.
[4] Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, (Semarang: Erlangga, 2009), hlm. 18-19.

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages