Sabtu, 08 Agustus 2015




BAB SATU
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Manusia dalam hidupnya memerlukan lingkungan hidup yang sehat dan kondusif. Lingkungan yang sehat bebas polusi merupakan dambaan setiap manusia. Perubahan lingkungan sangat ditentukan oleh sikap maupun perlindungan manusia pada lingkungannya. Dalam pendayagunaan sumber daya alam, baik hayati maupun non-hayati, sangat mempengaruhi kondisi lingkungan hidup bahkan dapat merombak system kehidupan yang sudah berimbang antara kehidupan itu sendiri dengan lingkungannya. Manusia dalam memanfaatkan sumber daya ala ini harus memperhatikan tujuannya, dan pengaruh yang ditimbulkan akibat pemakaiannya.
Terjadinya kerusakan lingkungan dimana mana yang pada akhirnya  menimbulkan bencana alam. Tatanan hutan yang rusak akan menimbulkan banjir, erosi, tanah longsor maupun  kekeringan dimusim kemarau. Kerusakan hutan juga akan berujung pada berkurangnya titik mata air, di mana air merupakan sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup dimuka bumi ini. Tanpa air manusia tidak dapat hidup dengan baik, bahkan kehidupan manusia di muka bumi ini akan punah bila tidak didukung oleh ketersediaan air yang cukup.
Pencemaran dan kerusakan lingkungan, sebagai akibat samping (dampak negatif) dari penggunaan teknologi dalam kegiatan industry, maupun dari rendahnya mutu perilaku (sebagian warga) masyarakat, niscaya menimbulkan masalah dalam kehidupan dan menjadi kendala bagi terwujudnya pembangunan berkesinambungan untuk peningkatan kesejahteraan manusia, yang menjadi tujuan dalam pengelolaan lingkungan, karenannya perlu dicegah dan ditanggulangi.[1]
Bentuk eksploitasi tambang pasir, galian batu apung, galian emas akan menimbulkan bahaya ekologis. Rusaknya tatanan sistem keseimbangan alam memiliki pengaruh yang besar bagi keberlangsungan hidup makhluk di atas bumi ini. Pembuangan limbah ke laut juga akan berpengaruh pada ekositem laut yang ada. Tidak hanya pembuangan limbah besar akan tetapi pembuangan limbah oleh perusahaan kecil dan menengah juga sedikit tidak akan berdampak pada ekosistem yang ada. Kalau kita melihat sungai-sungai yang ada di kota, dari segi warna sudah berubah, belum lagi ditambah pembuangan sampah sembarangan serta pembuangan bekas cucian kendaraan semakin membuat sungai semakin kotor.
Kerusakan lingkungan hidup yang terus dibiarkan akan berdampak pada generasi hidup di masa yang akan datang. Untuk mengantisipasi akan dampak lingkungan yang ada tidak terlalu parah dan tidak membahayakan generasi berikutnya, perlu adanya aturan yang mengatur tentang itu dan menegakkannya kepada setiap orang yang melanggar terhadap peraturan perundang-undangan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, di Indonesia telah banyak ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan lingkungan, yaitu UU Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan sampah, UU Nomor 19 Tahun 2009 Tentang Pengesahan Stockholm Convention On Persisten Organics Pollutants (Konvensi Stockholm Tentang Bahan Pencemar Organik Yang Persisten), UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, mengintat banyak kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, maka perlu kiranya ditulis mengenai peranan hukum untuk dalam rangka mengurangi angka perusakan terhadap lingkungan hidup. Untuk itu, judul penulisan ini penulis beri judul dengan “PERANAN HUKUM DALAM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP”.
1.2. Rumusan Masalah
Untuk membatasi pembahasan agar tidak terlalu menyebar luas, maka perlu dibatasi dengan dua rumusan permasalahan yang dianggap urgen. Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini adalah:
1.      Bagaimana peran hukum dalam rangka memberikan perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup ?

1.3. Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui peranan hukum dalam rangka memberikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang baik sehingga lingkungan hidup dapat dinikmati oleh generasi berikutnya di masa yang akan datang.

BAB DUA
PERANAN HUKUM DALAM PERLINDUNGAN DAN 
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
2.1. Fungsi Hukum Lingkungan
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tidak akan berjalan maksimal tanpa adanya perangkat hukum yang memadai yang secara khusus mengatur tentang perlindungan terhadap lingkungan. Lingkungan hidup akan mengalami pengrusakan yang luar biasa tanpa adanya upaya pencegahan dan memberikan hukum terhadap para pihak yang melanggarnya. Hukum memiliki peran penting untuk memberikan erfek jera kepada orang-orang yang melanggar hukum lingkungan. Bila hukum tidak ada yang mengatur mengenai lingkungan hidup, maka akan menimbulkan keruskana yang luar biasa pada lingkungan. Orang dengan seenaknya memanfaatkan hutan lindung demi kepentingan pribadi tanpa peduli dengan orang lain. dengan adanya hukum lingkungan yang disertai dengan tegas kepada pelanggarnya, maka akan meminimalisasikan kerusakan lingkungan. Hal ini dikarenakan, hukuman yang diberikan oleh UU kepada pelanggarnya sangat berat.
Dalam penegakan hukum lingkungan telah diatur segala bentuk pelanggaran maupun kejahatan , bagi pelaku baik yang dilakukan oleh perorangan maupun badan dengan upaya pencegahan (preventif) maupun penindakan (represif). Untuk tindakan represif ini ada beberapa jenis instrument yang dapat diterapkan dan penerapannya tergantung dari keperluannya, sebagai pertimbangan antara lain melihat dampak yang ditimbulkannya. Jenis-jenis instrument dimaksud meliputi[2]:
1.      Tindakan Administratif
2.      Tindakan Perdata (Proses Perdata)
3.      Tindakan Pidana (Proses Pidana)
Dari ketiga instrument tersebut tidak ada skala prioritas atau merupakan urutan pertama dan terakhir, sehingga apabila ada asumsi tindakan pidana meurpakan hukuman yang terakhir dalam penerapannya dan apabila tindakan yang lain tidak menyelesaikan masalahnya. Hal ini tidak seluruhnya benar, bahkan tindakan pidana ini hanya menyelesaikan secara sepihak belum menjangkau pada pihak penderitanya yaitu sekelompok orang yang terkena dampak tersebut dalam bentuk pemulihan ke keadaan semula.
Menurut Takdir Rahmadi, hukum lingkungan adalah sebuah bidang atau cabang hukum yang memiliki kekhasan yang oleh Drupsteen disebut sebagai bidang hukum fungsional (functioneel rechtsgebeid), yaiti di dalamnya terdapat unsure-unsur hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata. Oleh sebab itu, penegakan hukum lingkungan dapat dimaknai sebagai penggunaan atau penerapan instrument-instrumen dan sanks-sanksi dalam lapangan hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata. Gugatan tata usaha Negara merupakan sarana hukum administrasi Negara yang dapat digunakan oleh warga atau badan hukum perdata terhadap instansi atau pejabat pemerintah yang menerbitkan keputusan tata usaha Negara yang secara formal atau materiil bertentangan peraturan perundang-undangan lingkungan. Penggunaan sanksi-sanksi hukum pidana hanya dapat dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah. Penggunaan instrument hukum perdata, yaitu gugatan perdata, dapat dilakukan oleh warga, badan hukum perdata dan juga instansi pemerintah. Namun, jika dibandingkan di antara ketiga bidang hukum, sebagian besar norma hukum lingkungan termasuk ke dalam wilayah hukum administrasi Negara.[3]
Hukum pidana lingkungan yang dikandung oleh UUPLH 1997 dapat dicatat telah mengalami kemajuan sangat berarti. Jauh lebih berkembang dari lingkup jangkauan yang dimiliki KUHP, begitu pula terhadap UUPLH 1982. UUPLH 1997 menjadi dasar patokan system hukum pidana bagi pengaturan sektoral, yang memuat instrument hukum pidana, seperti pertanahan, pertambangan, kehutanan, perikanan, kelistrikan, sumber daya laut dan sebagainya. Penentuan hukum pidana di sector tertentu yang kurang sesuai dengan perkembangan, dapat menggunakan ketentuan UUPLH sebagai alternatif untuk mengatasi kekurangsesuaian tersebut.
UUPLH memuat system penegakan pidana yang relatif canggih yakni mengkombinasikan dengan system common law. Dalam hal-hal tertentu, terdapat misalnya pidana strict liability, yakni pertanggungjawaban pidana tanpa mendasarkan aspek ‘kesalahan’. Demikian pula system pemidanaan tidak semata-mata hanya berdasar kepada sifat kausalitas, yakni dengan lebih dulu membuktikan ada tidaknya hubungan sebab akibat dari peristiwa itu, yang disebut delik materil, tetapi juga dengan mendasarkan kepada perbuatan formal yang melanggar pasal yang ditentukan.[4]

2.2. Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan ketaatan bagi pemakai dan pelaksana peraturan perundang-undangan, dalam hal ini baik masyarakat maupun penyelenggara Negara yaitu penegak hukum. Dengan adanya sinyalemen bahwa hukum itu dipatuhi oleh masyarakatnya merupakan pertanda tujuan diciptakannya peraturan tercapai. Penegakan hukum yang berisi kepatuhan, timbulnya tidak secara tiba-tiba melainkan melalui suatu proses yang terbentuk dari kesadaran setiap insane manusia untuk melaksanakan dan tidak melaksanakan sesuai bunyi peraturan yang ada.
Penegakan hukum lingkungan, terkait dengan berbagai aspek yang cukup kompleks, dengan tujuan tetap mempertahankan dan menciptakan lingkungan yang dapat dinikmati oleh setiap manusia dalam pengertian luas dengan tidak mengganggu lingkungannya itu sendiri. Dalam menjaring sikap para pihak yang tidak bertanggungjawab telah diciptakan bentuk peraturan perundang-undangan dengna bentuk UU dan berbagai peraturan pelaksanaannya.[5]

Untuk mewujudkan tujuan pengelolaan lingkungan melalui pencegahan dan penanggulangan pencemaran, maka diperlukan suatu strategi pendekatan hukum yang tepat dalam penyelesaian kasus lingkungan dengan memanfaatkan secara optimal keberadaan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. Sebagai pendukung terlaksananya aturan tersebut adalah harus dilibatkan aparatur pemerintah yang memahami secara benar pelaksanaan dan penegakan hukum lingkungan sebagai hukum fungsional.[6]
Penegakan hukum administrasi lingkungan memiliki beberapa manfaat strategis bila dibandingkan dengan penegakan hukum perdata maupun pidana. Dan manfaat strategis tersebut, yaitu:
a.         Penegakan hukum administrasi dibidang lingkungan hidup dapat dioptimalkan sebagai perangkat pencegahan (preventive).
b.        Penegakan hukum administrasi (yang bersifat pencegahan) dapat lebih efisien dari sudut pembiayaan dibandingkan penegakan hukum pidana dan perdata. Pembiayaan untuk penegakan hukum administrasi meliputi biaya pengawasan lapangan yang dilakukan secara rutin dan pengujian laboratorium lebih murah dibandingkan dengan upaya pengumpulan bukti, investigasi lapangan, memperkerjakan saksi ahli untuk membuktikan aspek kausalitas (sebab akibat) dalam kasus pidana dan perdata.
c.         Penegakan hukum administrasi lebih memiliki kemampuan mengundang partisipasi masyarakat. Partispasi masyarakat dilakukan mulai dari proses perizinan, pemantauan penataan/pengawasan, dan partisipasi dalam mengajukan keberatan dan meminta pejabat tata usaha negara untuk memberlakukan sanksi administrasi.
Suatu perbuatan yang diatur dalam hukum pidana lingkungan untuk dapat dinyatakan sebagai tindak pidana selalu dikaitkan dengan pengaturan lebih lanjut dalam hukum administrasi, oleh karena didalam rumusan tindak pidana lingkungan, suatu perbuatan dinyatakan sebagai suatu tindak pidana jika dilakukan bertentangan dengan persyaratan administrasi.
 Keterjalinan antara hukum pidana dengan hukum administrasi dalam hukum lingkungan kepidanaan, delege lata, merupakan suatu fakta yang harus diterima keberadaannya dan akan menjadikan penegakan hukum lingkungan lebih baik jika berjalan dengan bersinergi, atau menjadi kendala jika tidak bersinergi.
Menurut Alvi Syahrin, ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam UUPLH dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup dengan memberikan ancaman sanksi pidana[7]. Proses penanganan tindak pidana, mengacu kepada hukum acara pidana yaitu UU No. 8 Tahun 1981Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP). Proses penegakan hukum pidana berdasarkan KUHAP terdiri dari :
1.      Pelaporan
2.      Penyelidikan
3.      Penyidikan
4.      Penuntutan
5.      Persidangan
6.      Putusan
7.      Pelaksanaan dan pengawasan putusan


BAB TIGA
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Untuk mewujudkan tujuan pengelolaan lingkungan melalui pencegahan dan penanggulangan pencemaran, maka diperlukan suatu strategi pendekatan hukum yang tepat dalam penyelesaian kasus lingkungan dengan memanfaatkan secara optimal keberadaan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. Sebagai pendukung terlaksananya aturan tersebut adalah harus dilibatkan aparatur pemerintah yang memahami secara benar pelaksanaan dan penegakan hukum lingkungan sebagai hukum fungsional. Keberaadan hukum lingkungan memiliki peran penting dalam rangka menanggulangi berbagai kerusakan lingkungan yang terjadi selama ini. Tidak cukup dengan aturan hukum, penegak hukum lingkungan juga bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam rangka memberikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan.

3.2. Saran
Disarankan kepada semua lapisan masyarakat agar tidak salah dalam memanfaatkan hutan lindung. Karena akan menimbulkan malapetaka yang lebih dahsyat serta dapat mengundang berbagai bencana alam seperti longsor, banjir bandang dan lain sebagainya. Ingatlah kepada anak cucu kita yang akan menikmati alam ini bila kita tidak menghuni lagi bumi ini. Aparat penegak hukum harus pro aktif untuk menindaklanjuti bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi dewasa ini guna untuk terjaganya kehidupan alam yang lestari dan abadi.

DAFTAR PUSTAKA
Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Medan: Sofmedia, 2009.
P. Joko Subagyo, Hukum Lingkungan (Masalah dan Penanggulangannya), cet. 3, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, ed. 1, (Jakarta: Raja Wali Press, 2011),
Syprianus Aristeus, Penerapan Sanksi Pidana dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup terhadap Pelanggaran Baku Mutu Lingkungan dari Limbah Kegiatan Operasi Produksi Migas, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM, 2012.
N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan, (dilengkapi UU PLH 1997, PP AMDAL 1999), (Jakarta: Pancuran Alam, 2008),



[1] Syprianus Aristeus, Penerapan Sanksi Pidana dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup terhadap Pelanggaran Baku Mutu Lingkungan dari Limbah Kegiatan Operasi Produksi Migas, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM, 2012), hlm. 1.
[2] P. Joko Subagyo, Hukum Lingkungan (Masalah dan Penanggulangannya), cet. 3, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 81.
[3] Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, ed. 1, (Jakarta: Raja Wali Press, 2011), hlm. 207-208.
[4] N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan, (dilengkapi UU PLH 1997, PP AMDAL 1999), (Jakarta: Pancuran Alam, 2008), hlm. 356.
[5] P. Joko Subagyo, Hukum Lingkungan (Masalah dan Penanggulangannya), cet. 3, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 85.
[6] Syprianus Aristeus, Penerapan Sanksi Pidana dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup terhadap Pelanggaran Baku Mutu Lingkungan dari Limbah Kegiatan Operasi Produksi Migas, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM, 2012), hlm. 1.

[7] Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Medan: Sofmedia, 2009), hlm. 19.

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages