Sabtu, 08 Agustus 2015

Oleh : Mansari



Negara Indonesia dikenal dengan bangsa yang kaya akan budaya, adat istiadat, suku, bahasa dan agama. Di wilayah Asia Timur tidak ada negara dan bangsa yang menandingi Indonesia dalam hal kemajemukan, baik topografis maupun sosial dan kultural. Maka untuk merumuskan kebangsaan Indonesia, kita lebih baik mengutip konsep Ernest Renan mengenai “apa itu bangsa”  yaitu “le desire d’etre ensemble” (keinginan untuk bersama-sama). Berbeda dengan negara lain seperti Jepang yang merupakan bangsa-etnis dengan kemajemukan yang sangat minim baik dalam hal ras, bahasa, maupu kepercayaan.
Kebangsaan Indonesia baru mulai dimantapkan secara konkrit pada tahun 1928, melalui peristiwa nasional yang kemudian dikenal sebagai “Sumpah Pemuda”, yaitu satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa yakni bahasa Indonesia (Satjipto: 2009: 191). Pemuda-pemuda yang ada pada waktu itu masih berhimpun dalam wadah yang terkotak-kotak seperti “Jong Ambon” dan “Jong Celebes”. Politik Kolonial Belanda memang menghendaki Indonesia tidak bersatu agar memudahkan penguasaan. Berbagai macam kategorisasi diciptakan seperti pembagian ke dalam golongan-golongan Eropa, Timur Asing dan Pribumi, masing-masing dengan ranah yurisdiksi yang berbeda-beda. Pembedaan serta pemisahan secara yuridis tersebut akhirnya menimbulkan pembedaan secara sociologi juga.
Keragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia menjadi aset brillian dalam pembangunan bangsa. Namun suatu hal yang tidak bisa dipungkiri dalam keberagaman tersebut adalah adanya golongan yang dianggap mayoritas dan minoritas terutama sekali dalam hal agama. Kelompok mayoritas sering kali meng-klaim dirinya sebagai superior dan menganggap golongan minoritas sebagai inferior. Akibat pelabelan demikian, yang superior menganggap dirinya berkuasa sementara inferior selalu berada pada posisi yang tertindas.
Masa otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola daerah dengan sebesar-besarnya memberikan peluang munculnya konflik sosial berbasis etnisitas. Dalam kaitan akses dan perebutan sumber daya di daerah yang bersifat structural seperti potensi ekonomi dan kekuasaan politik, manifestasi etnisitas sering menimbulkan ketegangan dan konflik sosial di antara pihak-pihak yang berkepentingan. Provinsi Aceh misalnya, yang mayoritasnya didominasi oleh suku Aceh, sehingga suku lain yang ada di Aceh seperti Gayo yang jumlah minoritas merasa didiskreditkan dan diperlakukan secara tidak adil.  Akibatnya muncullah wacana untuk membentuk Provinsi baru yakni Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) agar keadilan terealisasikan. Tapi sekarang Provinsi tersebut belum berhasil dibentuk karena masih adanya anggapan bahwa pembentukan Provinsi baru hanya dikarenakan hasrat kepentingan penguasa untuk meraih kekuasaan.

Berpotensi Menimbulkan Konflik
Karakter bangasa Indonesia dapat dilihat dari segi kemajemukan masyarakat yang tersusun oleh keragaman kelompok etnik (etnik group) atau suku bangsa beserta tradisi budayanya. Pluralitas dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Indonesia  bukan hanya berpeluang menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat di masa mendatang. Potensi timbulnya konflik sosial yang dapat mengancam sendi-sendi integrasi negara-bangsa (nation-state) pun suatu yang tidak bisa dielakkan. Hal tersebut tidaklah mustahil terjadi bila dinamika kemajemukan sosial budaya itu tidak dapat dikelola secara professional dan bertanggungjawab.
Sebagai Negara kepulauan yang masyarakatnya bersifat majemuk (plural society), pemerintah dan masyarakat Indonesia harus belajar banyak dari sejarah perjalanannya sendiri tentang bagaimana mengelola kemajemukan tersebut agar menjadi modal sosial pembangunan bangsa. Sebagai unsur pembentuk system sosial masyarakat majemuk, kelompok-kelompok etnik memiliki kebudayaan, batas-batas sosial, dan sejumlah atribut atau ciri-ciri budaya yang menandai identitas dan eksistensi mereka. Kebudayaan yang dimiliki kelompok etnik menjadi pedoman kehidupan mereka dan atribut-atribut budaya yang ada, seperti adat istiadat, tradisi, bahasa, kesenian, agama dan paham keagamaan, kesamaan leluhur, asal usul daerah, sejarah sosial, pakaian tradisional, atau aliran ideologi politik menjadi pembeda suatu kelompok etnik dari kelompok etnik yang lain. Kebudayaan dan atribut sosial budaya sebagai penanda identitas kelompok etnik memiliki sifat stabil, konsistensi dan bertahan lama.

Agama dan Disintegrasi Banga
Sebagai negara pluralism dalam berbagai sendi kehidupan, Indonesia mengakui keberadaan agama-agama. Dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan itu. Namun sayangnya dalam kehidupan beragama seringkali menimbulkan intoleransi antar umat beragama. Tindakan-tindakan anarkis yang menjurus pada pengrusakan dan pembakaran rumah ibadah sering sekali menghiasi media massa. Toleransi kehidupan antar umat beragama menjadi barang yang sangat langka di Indonesia.
Banyak fakta empiris intoleransi umat beragama yang menunjukkan kepada kita betapa rakyat Indonesia tidak menyadari keberagaman dan ideology bangsa yakni Pancasila. Tepatnya pada tanggal 1 Agustus 2011, gereja Batak Karo Protestan (GBKP), Gereja Methodist Indonesia (GMI) dan Gereja Pentakosta dibakar di Provinsi Riau (Supriadi Purba Mergana: 2012: 74).
Betapa memilukan dan memalukan hal itu terjadi di Negara yang majemuk ini. Bukankah setiap warga Negara bebas memeluk dan beribadah sesuai dengan keyakinan agamanya. Bukankah setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Lalu kenapa hal itu itu ? Itulah serentetan pertanyaan yang harus dijawab demi menjaga persatuan bangsa dan terhindar dari reintegrasi bangsa yang tidak kita inginkan sama sekali.
Tindakan-tindakan yang demikian sebagai bukti bahwa yang melakukan hal tersebut tidak memahami Islam secara utuh. Pemahaman Islam secara benar dan mendalam oleh seseorang akan melahirkan sikap saling toleran, cinta kasih, dan benci terhadap kekerasan. Islam tidak menganjurkan kepada pemeluknya bahwa perbedaan harus disikapi dengan kekerasan atau pemaksaan kehendak. Islam memperkenalkan sebuah institusi yang mampu menampung semua pemikiran dengan latar belakang yang berbeda, yaitu institusi musyawarah. Institusi ini tidak saja mampu mengakomodir semua perdebatan, namun yang terpenting adalah perbedaan diarahkan kepada situasi kehidupan positif bagi kehidupan manusia.

Membangun Bangsa Mulai Dari Diri Sendiri
Dengan kalimat mewujudkan diri sebagai negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya setiap golongan, kelompok, suku, agama dan yang berbeda satu dengan lainnya melebur dan bersepakat membentuk kesukuan bangsa yang satu, yaitu bangsa Indonesia. Karena itu, setiap generasi bangsa berdiri satu dengan lainnya dengan sejajar. Semua suku bangsa saling memberikan potensi terbaik yang mereka miliki kepada Negara kesatuan RI. Untuk itulah kita harus membangun bangsa kita, dimulai dari diri kita sendiri, Untuk mejadi unsur terbaik yang bisa memberikan kiprah gemilang menuju cita-cita besar para founding fathers kita.
Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia sekaligus ideology atau pandangan hidup bersama yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang beraneka ragam dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat (Alfian: 1985: 105). Kita tidak ingin mewujudkan generasi masa depan yang otaknya penuh dengan ilmu, tetapi dadanya kosong dari iman. Sebab, kita tidak ingin menjadi bangsa yang hanya kaya dari segi materi tetapi miskin dari segi rohani.
Keberagaman merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dielakkan, namun bukan berarti merusakkan. Akan tetapi keberagaman akan membuat bangsa kita menjadi kuat. Seperti sebuah pepatah yang mengatakan bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Kemerdekaan Indonesia diraih berkat adanya persatuan dan kesatuan dengan menggalang berbagai kekuatan sehingga mampu menaklukkan Belanda. Persatuan dan kesatuan merupakan karakter bangsa seperti yang dikatakan Bung Karno sebagai “Nation anda character building”. Di mana ada persatuan di sana pasti ada kesatuan dan rasa persatuan dan kesatuan inilah yang mengantar Indonesia ke hadapan pintu gerbang kemerdekaannya pada Tahun 1945.
Keberagaman menjadi sebuah kekuatan yang dapat mempersatukan bangsa. Semboyan Malaysia, “Bersekutu Bertambah Mutu”, sangat cocok disematkan kepada bangsa Indonesia dalam menegakkan persatuan bangsa. Persatuan yang kokoh akan menimbulkan kekuatan yang luar biasa.
Untuk itu, mari bersama-sama membangun bangsa Indonesia tercinta dengan saling memahami keberagaman, menjaga persatuan dan kesatuan. Tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, tapi kita semua bangsa Indonesia.  

Wallahu ‘alam.

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages