Kamis, 29 Oktober 2015



BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah          
Salah satu permbaharuan hukum keluarga Islam di Indonesia dan nergara muslim lainnya adalah pencatatan perkawinan. Keharusan mencatat setiap perkawinan yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia tidak pernah ditemukan satu dalil yang mengharuskannya. Akan tetapi, pencatatan perkawinan merupakan persoalan kontemporer yang memiliki kemaslahatan bagi manusia khususnya perempuan dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut memiliki perlindungan hukum dari negara bila terjadi konflik dalam rumah tangga.
      Pencatatan perkawinan memiliki kedudukan penting yang harus dilaksanakan agar terjaminnya kepastian hukum serta mendapatkan perlindungan hukum dari negara. Sedangkan bila tidak dicatat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau yang sering disebut dengan nikah sirri tidak memiliki legalitas dari Negara. Karenanya tidak ada perlindungan hukum bila terjadinya perceraian antara suami isteri dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Untuk itu judul penulisan ini adalah “Perlindungan Terhadap Isteri Dan Anak Dari Perkawinan Sirri”.

1.2. Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan nikah sirri dan bagaimana perlindungannya terhadap isteri dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut ?

BAB II
PERLINDUNGAN TERHADAP ISTERI DAN ANAK DARI
PERKAWINAN SIRRI

2.1. Pengertian Nikah Sirri
Nikah siri terdiri dari kata nikah dan sirri. Kata sirri yang berarti rahasia adalah lawan dari kata ‘jahri’ artinya terang-terangan (terbuka bagi umum).[1] Menurut terminologi fiqh Maliki, nikah sirri adalah nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya isterinya atau jama’ahnya, sekalipun keluarga setempat.[2] Menurut Abdul Somad perkawinan sirri atau perkawinan di bawah tangan ialah perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang-undangan.[3]
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa nikah sirri merupakan sebuah bentuk pernikahan yang tidak dicatat oleh pejabat berwenang. Dengan kata lain, nikah sirri adalah nikah yang tidak dicatat sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Menurut hukum Islam, perkawinan di bawah tangan atau sirri adalah sah apabila terpenuhi syarat dan rukun perkawinan. Namun dari aspek peraturan perundang-undangan perkawinan model ini belum lengkap dikarenakan belum dicatat. Pencatatan perkawinan hanya merupakan perbuatan administratif yang tidak berpengaruh pada sah tidaknya perkawinan.[4]

2.2. Perlindungan Hukum Bagi Isteri dan Anak Dari Perkawinan Sirri
Pencatatan perkawinan kendatipun bukan merupakan rukun nikah, tetapi dianggap sangat penting untuk pembuktian pernikahan yang sah yang dilakukan oleh seseorang. Selain dari perkawinan itu sendiri harus dicatat, surat-surat (keterangan, formulir yang telah diisi dan ditandatangani para pihak) harus disimpan, didokumentasikan untuk kepentingan pembuktian kalau timbul keraguan atau masalah kemudian hari.[5] Berbeda dengan hukum Islam yang terdapat dalam ketentuan kitab-kitab fiqh yang menerangkan bahwa perkawinan sah apabila terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan. Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri dari, calon suami dan isteri yang akan melangsungkan perkawinan, adanya wali dari pihak calon pengantin wanita, adanya dua orang saksi, sighat akad nikah.[6]
Perkawinan yang dilangsungkan tanpa melalui prosedur formal tidak memiliki perlindungan hukum. Bahkan tidak jarang akan menimbulkan malapetaka bagi orang-orang yang melakukan perkawinan tersebut. Menurut Rusjdi Ali, nikah sirri atau nikah di bawah tangan atau nikah yang tidak dicatat di KUA merugikan salah satu pihak. Dalam banyak kasus, potensi kerugian lebih besar dialami oleh perempuan dan anak. Pernikahan yang tidak dicatatkan misalnya, bila menghasilkan anak, maka anak tersebut hanya diakui hak-haknya dari pihak ibunya. Dalam pembuatan akta kelahiran, anak hanya akan dicatat mengikuti nama ibu karena pencatatan sipil untuk kelahiran anak mensyaratkan adanya surat resmi pernikahan dari negara.[7]
Dampak yang merugikan kepada perempuan dan anak merupakan suatu bentuk perlakuan yang tidak dibenarkan dalam penetapan hukum syara’. Karena pada dasarnya tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama, akhlak, jiwa dan keturunan. Dengan demikian, setiap aturan hukum yang dimaksudkan untuk memelihara kelima tujuan hukum syara’ itu, disebut dengan mashlahat.[8]
Sebenarnya melalui konsep mashlahat dan maqashid syari’ah, sangatlah jelas betapa pencatatan perkawinan memberikan perlindungan hukum terhadap perkawinan itu sendiri dan terhadap anak-anak yang akan lahir nantinya. Jalan lain adalah dengan cara qias terhadap pencatatan hutang yang tegas dinyatakan dalam Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 282. Bahkan dalam satu ayat ini saja terdapat sembilan kali kata kitabah dengan berbagai derivasinya, yang bermakna penulisan atau pencatatan, sebuah isyarat tentang pentingnya kitabah tersebut untuk dipahami, dipelajari dan dikerjakan.[9]
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami isteri menadapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak-hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami isteri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah dilakukan.[10]

BAB TIGA
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

            Dari pemaparan yang telah dideskripsikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa nikah sirri merupakan nikah yang dilakukan antara seorang laki-laki dan perempuan tidak berdasarkan ketentuan perundang-undangan akan tetapi sah menurut agama karena telah terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan yaitu adanya calon suami, calon isteri, wali, saksi dan aqad.
            Nikah sirri tidak memiliki legalitas dari Negara, karenanya tidak memiliki perlindungan dari Negara. Akibatnya akan merugikan pihak-pihak yang melangsungkannya. Terutama sekali isteri dan dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut yang tidak memiliki perlindungan hukum dari negara. Apalagi bila terjadinya perceraian, isteri tidak dapat meminta harta bersama, bila terjadinya kematian suami, isteri dan anak tidak bisa mendapatkannya karena tidak ada bukti authentic. Biaya pemeliharaan anak jikalau tidak dibayar oleh si ayah tidak dapat dituntut, karena tidak sanggung membuktikan bahwa di antara mereka telah terjadinya perkawinan.

3.2. Saran

            Sudah seharusnya masyarakat sadar akan pentingnya pencatatan perkawinan. Karena hal itu akan menjamin terwujudnya ketertiban dan mendapatkan perlindungan hukum dari negara bila terjadinya perceraian atau konflik dalam rumah tangga. Terutama sekali bagi isteri dan anak-anak yang kerap kali menjadi korban dari nikah sirri. Untuk itu, utamakanlah keselamatan dan hindari malapetaka yang menghadang.

DAFTAR PUSTAKA
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2012.
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2010.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. 3, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Masjfuk Zuhdi, Nikah Sirri, Nikah di Bawah Tangan, dan Status Anaknya Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif, Jurnal Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Th. VII 1996, Sept-Okt, Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1996.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Rusjdi Ali Muhammad, Khairizzaman, Konstelasi Syari’at Islam di Era Global, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Aceh, 2011.
Wildan Suyuti Mustofa, Nikah Sirri (Antara Kenyataan dan Kepastian Hukum), Jurnal Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Th. VII 1996, Sept-Okt, Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1996.



[1] Wildan Suyuti Mustofa, Nikah Sirri (Antara Kenyataan dan Kepastian Hukum), Jurnal Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Th. VII 1996, Sept-Okt, ( Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1996), hlm. 35.
[2] Masjfuk Zuhdi, Nikah Sirri, Nikah di Bawah Tangan, dan Status Anaknya Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif, Jurnal Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Th. VII 1996, Sept-Okt, ( Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1996), hlm. 8.
[3] Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 295.
[4] Ibid., hlm. 295.
[5] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 98.
[6] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 46-47.
[7] Rusjdi Ali Muhammad, Khairizzaman, Konstelasi Syari’at Islam di Era Global, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Aceh, 2011), hlm. 108.
[8] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 262.
[9] Rusjdi Ali Muhammad, Khairizzaman, Konstelasi Syari’at Islam di Era Global.,,,,,hlm. 104-105.
[10] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. 3, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 107.

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages