BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Salah
satu permbaharuan hukum keluarga Islam di Indonesia dan nergara muslim lainnya
adalah pencatatan perkawinan. Keharusan mencatat setiap perkawinan yang
dilakukan oleh umat Islam Indonesia tidak pernah ditemukan satu dalil yang
mengharuskannya. Akan tetapi, pencatatan perkawinan merupakan persoalan
kontemporer yang memiliki kemaslahatan bagi manusia khususnya perempuan dan
anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut memiliki perlindungan hukum dari
negara bila terjadi konflik dalam rumah tangga.
Pencatatan perkawinan memiliki kedudukan
penting yang harus dilaksanakan agar terjaminnya kepastian hukum serta
mendapatkan perlindungan hukum dari negara. Sedangkan bila tidak dicatat
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau yang sering disebut
dengan nikah sirri tidak memiliki legalitas dari Negara. Karenanya tidak ada
perlindungan hukum bila terjadinya perceraian antara suami isteri dan anak yang
lahir dari perkawinan tersebut. Untuk itu judul penulisan ini adalah “Perlindungan
Terhadap Isteri Dan Anak Dari Perkawinan Sirri”.
1.2. Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan nikah sirri dan bagaimana perlindungannya terhadap isteri
dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut ?
BAB II
PERLINDUNGAN
TERHADAP ISTERI DAN ANAK DARI
PERKAWINAN
SIRRI
2.1. Pengertian
Nikah Sirri
Nikah
siri terdiri dari kata nikah dan sirri. Kata sirri yang berarti rahasia
adalah lawan dari kata ‘jahri’ artinya terang-terangan (terbuka bagi
umum).[1]
Menurut terminologi fiqh Maliki, nikah sirri adalah nikah yang atas pesan
suami, para saksi merahasiakannya isterinya atau jama’ahnya, sekalipun keluarga
setempat.[2]
Menurut Abdul Somad perkawinan sirri atau perkawinan di bawah tangan ialah
perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi syarat dan prosedur
peraturan perundang-undangan.[3]
Dari
pengertian tersebut dapat dipahami bahwa nikah sirri merupakan sebuah bentuk
pernikahan yang tidak dicatat oleh pejabat berwenang. Dengan kata lain, nikah
sirri adalah nikah yang tidak dicatat sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 2
Ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Pasal tersebut
dinyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Menurut
hukum Islam, perkawinan di bawah tangan atau sirri adalah sah apabila terpenuhi
syarat dan rukun perkawinan. Namun dari aspek peraturan perundang-undangan
perkawinan model ini belum lengkap dikarenakan belum dicatat. Pencatatan
perkawinan hanya merupakan perbuatan administratif yang tidak berpengaruh pada
sah tidaknya perkawinan.[4]
2.2.
Perlindungan Hukum Bagi Isteri dan Anak Dari Perkawinan Sirri
Pencatatan
perkawinan kendatipun bukan merupakan rukun nikah, tetapi dianggap sangat
penting untuk pembuktian pernikahan yang sah yang dilakukan oleh seseorang.
Selain dari perkawinan itu sendiri harus dicatat, surat-surat (keterangan,
formulir yang telah diisi dan ditandatangani para pihak) harus disimpan,
didokumentasikan untuk kepentingan pembuktian kalau timbul keraguan atau
masalah kemudian hari.[5]
Berbeda dengan hukum Islam yang terdapat dalam ketentuan kitab-kitab fiqh yang
menerangkan bahwa perkawinan sah apabila terpenuhinya rukun dan syarat
perkawinan. Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri dari, calon
suami dan isteri yang akan melangsungkan perkawinan, adanya wali dari pihak
calon pengantin wanita, adanya dua orang saksi, sighat akad nikah.[6]
Perkawinan yang dilangsungkan tanpa melalui
prosedur formal tidak memiliki perlindungan hukum. Bahkan tidak jarang akan
menimbulkan malapetaka bagi orang-orang yang melakukan perkawinan tersebut.
Menurut Rusjdi Ali, nikah sirri atau nikah di bawah tangan atau nikah yang
tidak dicatat di KUA merugikan salah satu pihak. Dalam banyak kasus, potensi
kerugian lebih besar dialami oleh perempuan dan anak. Pernikahan yang tidak
dicatatkan misalnya, bila menghasilkan anak, maka anak tersebut hanya diakui
hak-haknya dari pihak ibunya. Dalam pembuatan akta kelahiran, anak hanya akan
dicatat mengikuti nama ibu karena pencatatan sipil untuk kelahiran anak
mensyaratkan adanya surat resmi pernikahan dari negara.[7]
Dampak yang merugikan kepada perempuan dan anak
merupakan suatu bentuk perlakuan yang tidak dibenarkan dalam penetapan hukum
syara’. Karena pada dasarnya tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama,
akhlak, jiwa dan keturunan. Dengan demikian, setiap aturan hukum yang
dimaksudkan untuk memelihara kelima tujuan hukum syara’ itu, disebut dengan
mashlahat.[8]
Sebenarnya melalui konsep mashlahat dan
maqashid syari’ah, sangatlah jelas betapa pencatatan perkawinan memberikan
perlindungan hukum terhadap perkawinan itu sendiri dan terhadap anak-anak yang
akan lahir nantinya. Jalan lain adalah dengan cara qias terhadap pencatatan
hutang yang tegas dinyatakan dalam Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 282. Bahkan
dalam satu ayat ini saja terdapat sembilan kali kata kitabah dengan berbagai
derivasinya, yang bermakna penulisan atau pencatatan, sebuah isyarat tentang
pentingnya kitabah tersebut untuk dipahami, dipelajari dan dikerjakan.[9]
Pencatatan
perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat.
Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk
melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan
dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan
dengan akta nikah, yang masing-masing suami isteri menadapat salinannya,
apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka atau salah satu
tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna
mempertahankan atau memperoleh hak-hak masing-masing. Karena dengan akta
tersebut, suami isteri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah
dilakukan.[10]
BAB
TIGA
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pemaparan yang telah
dideskripsikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa nikah sirri merupakan nikah
yang dilakukan antara seorang laki-laki dan perempuan tidak berdasarkan ketentuan
perundang-undangan akan tetapi sah menurut agama karena telah terpenuhinya
rukun dan syarat perkawinan yaitu adanya calon suami, calon isteri, wali, saksi
dan aqad.
Nikah sirri tidak memiliki legalitas
dari Negara, karenanya tidak memiliki perlindungan dari Negara. Akibatnya akan
merugikan pihak-pihak yang melangsungkannya. Terutama sekali isteri dan dan
anak yang lahir dari perkawinan tersebut yang tidak memiliki perlindungan hukum
dari negara. Apalagi bila terjadinya perceraian, isteri tidak dapat meminta
harta bersama, bila terjadinya kematian suami, isteri dan anak tidak bisa
mendapatkannya karena tidak ada bukti authentic. Biaya pemeliharaan anak
jikalau tidak dibayar oleh si ayah tidak dapat dituntut, karena tidak sanggung
membuktikan bahwa di antara mereka telah terjadinya perkawinan.
3.2. Saran
Sudah seharusnya masyarakat sadar
akan pentingnya pencatatan perkawinan. Karena hal itu akan menjamin terwujudnya
ketertiban dan mendapatkan perlindungan hukum dari negara bila terjadinya
perceraian atau konflik dalam rumah tangga. Terutama sekali bagi isteri dan
anak-anak yang kerap kali menjadi korban dari nikah sirri. Untuk itu,
utamakanlah keselamatan dan hindari malapetaka yang menghadang.
DAFTAR
PUSTAKA
Abd.
Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia, cet.
2, (Jakarta: Kencana, 2012.
Abdul
Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, cet. 1, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006.
Abdul
Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2010.
Ahmad
Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. 3, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003.
Masjfuk
Zuhdi, Nikah Sirri, Nikah di Bawah Tangan, dan Status Anaknya Menurut Hukum
Islam dan Hukum Positif, Jurnal Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No.
28 Th. VII 1996, Sept-Okt, Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1996.
Mohammad
Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002.
Rusjdi
Ali Muhammad, Khairizzaman, Konstelasi Syari’at Islam di Era Global, Banda
Aceh: Dinas Syari’at Islam Aceh, 2011.
Wildan
Suyuti Mustofa, Nikah Sirri (Antara Kenyataan dan Kepastian Hukum),
Jurnal Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Th. VII 1996, Sept-Okt, Jakarta:
Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1996.
[1] Wildan Suyuti
Mustofa, Nikah Sirri (Antara Kenyataan dan Kepastian Hukum), Jurnal
Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Th. VII 1996, Sept-Okt, ( Jakarta:
Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1996), hlm. 35.
[2] Masjfuk Zuhdi,
Nikah Sirri, Nikah di Bawah Tangan, dan Status Anaknya Menurut Hukum Islam
dan Hukum Positif, Jurnal Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Th.
VII 1996, Sept-Okt, ( Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1996), hlm.
8.
[3]
Abd. Shomad, Hukum
Islam Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia, cet. 2, (Jakarta:
Kencana, 2012), hlm. 295.
[4] Ibid.,
hlm. 295.
[5] Mohammad Daud
Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 98.
[6] Abdul Rahman
Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 46-47.
[7]
Rusjdi Ali
Muhammad, Khairizzaman, Konstelasi Syari’at Islam di Era Global, (Banda
Aceh: Dinas Syari’at Islam Aceh, 2011), hlm. 108.
[8] Abdul Manan, Reformasi
Hukum Islam di Indonesia, cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),
hlm. 262.
[9]
Rusjdi Ali
Muhammad, Khairizzaman, Konstelasi Syari’at Islam di Era Global.,,,,,hlm.
104-105.
[10] Ahmad Rofiq,
Hukum Islam di Indonesia, cet. 3, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),
hlm. 107.
0 comments:
Posting Komentar