Kamis, 29 Oktober 2015




BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Fenomena abad ke – 20 di dunia muslim adalah adanya usaha pembaharuan hukum keluarga (perkawinan, perceraian, dan warisan). Di Turki misalnya melakukannya pada tahun 1917, Mesir 1920, Iran 1931, Syiria 1953, Tunisia 1956, Pakistan 1961 dan Indonesia pada tahun 1974.[1] Salah satu pembaharuan hukum keluarga kontemporer di negara-negara muslim adalah kewajiban bagi setiap muslim untuk mencatat perkawinannya menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Termasuk di Indonesia telah mengatur persoalan pencatatan perkawinan sedemikian rupa dalam rangka mewujudkan kemaslahatan perkawinan. Pengaturan mengenai kewajiban pencatatan perkawinan di Indonesia terdapat dalam dua sumber hukum yang mengaturnya yaitu UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Pencatatan perkawinan merupakan persoalan baru dalam hukum keluarga Islam yang belum ada perintah dari Alquran maupun Hadits yang secara tegas. Namun, persoalan pencatatan perkawinan butuh intervensi Negara agar terjaminnya administrasi setiap warga negara. Penulisan ini ingin mengetahui apa yang dimaksud dengan pencatatan perkawinan dan bagaimana tinjauan maslahah mursalah bila perkawinan tidak dicatat sesuai dengan aturan yang ada.

BAB DUA
PENCATATAN PERKAWINAN : SUATU TINJAUAN
MASLAHAT MASHLAHAH

2.1. Pencatatan Perkawinan
Dalam Pasal 2 Ayat (2) dinyatakan bahwa ‘Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku’. Selanjutnya dalam Pasal 5 Ayat (1) menyatakan hal yang sama yang menyatakan Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa syarat sahnya perkawinan merurut hukum positif yang berlaku di Indonesia adalah harus dicatat menurut ketentuan hukum yang berlaku. Perkawinan yang tidak dicatat tidak mempunyai kekuatan hukum.
Hukum keluarga baru yang berlaku di Negara-negara muslim semua mewajibkan pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara masing-masing. Pencatatan ini, kendatipun bukan merupakan rukun nikah, tetapi dianggap sangat penting untuk pembuktian pernikahan yang sah yang dilakukan oleh seseorang. Selain dari perkawinan itu sendiri harus dicatat, surat-surat (keterangan, formulir yang telah diisi dan ditandatangani para pihak) harus disimpan, didokumentasikan untuk kepentingan pembuktian kalau timbul keraguan atau masalah kemudian hari.[2] Berbeda dengan hukum Islam yang terdapat dalam ketentuan kitab-kitab fiqh yang menerangkan bahwa perkawinan sah apabila terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan. Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri dari, calon suami dan isteri yang akan melangsungkan perkawinan, adanya wali dari pihak calon pengantin wanita, adanya dua orang saksi, sighat akad nikah.[3]

2.2. Suatu Tinjauan Mashlahah Mursalah Terhadap Pencatatan Perkawinan
Perkawinan merupakan peristiwa hukum penting, sebagaimana peristiwa kelahiran, kematian dan lain-lain. Untuk membuktikan adanya perkawinan tidak cukup hanya dibutkikan dengan adanya peristiwa itu sendiri tanpa adanya bukti tertulis berdasarkan pencatatan di lembaga yang ditunjuk. Akan tetapi harus dibuktikan dengan bukti authentic yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang.[4]
Oleh karena pernikahan merupakan peristiwa hukum, maka akan menimbulkan akibat hukum bagi pihak yang melangsungkannya. Menurut kesepakatan ulama fikih, perkawinan mengakibatkan munculnya hak dan kewajiban suami isteri yang harus dipelihara dan dijalankan masing-masing-masing pihak, di antaranya: kehalalan hubungan suami isteri, isteri berhak mendapatkan mahar yang belum dilunasi suaminya pada saat akad nikah berlangsung, isteri berhak mendapatkan nafkah, lahirnya hubungan kekeluargaan yang baru, saling mewarisi, wajib memperlakukan secara adil bagi suami yang memiliki isteri lebih dari satu, anak yang lahir bernasab kepada ayah dan kedua orang tua berkewajiban memeliharanya, isteri wajib menaati suaminya dan suaminya wajib mempergauli dengan ma’ruf.[5]
Hak tersebut didapatkan bukan hanya pada saat hubungan perkawinan masih dalam suasana harmonis dan damai, bahkan akibat hukum tersebut masih berhak didapatkan sampai hubungan perkawinan mereka berakhir (perceraian). Harta kewarisan, biaya pemeliharaan anak, mahar isteri yang belum dilunasi tetap menjadi hak isteri dan anak-anaknya bila terjadi perceraian. Namun sangat sulit mempertahankan kembali hak-haknya bila tidak ada bukit authentic yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Isteri tidak dapat menunjukkan bukti bahwa mereka telah melangsungkan perkawinan, karena jalinan rumah tangga yang mereka jalin selama ini hanya dalam bentuk nikah sirri.
Perkawinan yang dilangsungkan tanpa melalui prosedur formal tidak memiliki perlindungan hukum bagi yang melangsungkannya. Bahkan tidak jarang akan menimbulkan malapetaka bagi orang-orang yang melakukan perkawinan tersebut. Menurut Rusjdi Ali, nikah sirri atau nikah di bawah tangan atau nikah yang tidak dicatat di KUA merugikan salah satu pihak. Dalam banyak kasus, potensi kerugian lebih besar dialami oleh perempuan dan anak. Pernikahan yang tidak dicatatkan misalnya, bila menghasilkan anak, maka anak tersebut hanya diakui hak-haknya dari pihak ibunya. Dalam pembuatan akta kelahiran, anak hanya akan dicatat mengikuti nama ibu karena pencatatan sipil untuk kelahiran anak mensyaratkan adanya surat resmi pernikahan dari negara.[6]
Dampak yang merugikan kepada perempuan dan anak merupakan suatu bentuk perlakuan yang tidak dibenarkan dalam penetapan hukum syara’. Karena pada dasarnya tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama, akhlak, jiwa dan keturunan. Dengan demikian, setiap aturan hukum yang dimaksudkan untuk memelihara kelima tujuan hukum syara’ itu, disebut dengan mashlahat.[7]
Sebenarnya melalui konsep mashlahat dan maqashid syari’ah, sangatlah jelas betapa pencatatan perkawinan memberikan perlindungan hukum terhadap perkawinan itu sendiri dan terhadap anak-anak yang akan lahir nantinya. Jalan lain adalah dengan cara qias terhadap pencatatan hutang yang tegas dinyatakan dalam Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 282. Bahkan dalam satu ayat ini saja terdapat sembilan kali kata kitabah dengan berbagai derivasinya, yang bermakna penulisan atau pencatatan, sebuah isyarat tentang pentingnya kitabah tersebut untuk dipahami, dipelajari dan dikerjakan.[8]
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami isteri menadapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak-hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami isteri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah dilakukan.[9]


BAB TIGA
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.     Pencatatan perkawinan merupakan suatu syarat penting berdasarkan ketentuan hukum positif Indonesia. Perkawinan yang tidak dicatat tidak mempunyai kekuatan atau perlindungan hukum terhadap orang yang melakukannya. Sementara itu, pencatatan perkawinan tidak diatur secara tegas dalam Alquran dan Hadits, namun bila melihat dari segi kemanfaatan dari pencatatan perkawinan sangatlah besar. Oleh karenanya, setiap perkawinan harus dicatat sebagaimana prosedur yang ada.
2.    Berdasarkan mashlahah mursalah, maka pencatatan perkawinan suatu hal yang harus dilaksanakan agar tidak menimbulkan malapetaka yang lebih besar. Karena setiap perkawinan pasti menimbulkan akibat hukumnya. Dalam hal perkawinan misalnya, akibat hukum yang ditimbulkan adalah adanya hak dan kewajiban suami isteri, saling mewarisi antara keduanya dan lain sebagainya. Hak-hak tersebut akan sulit didapatkan bila tidak ada bukti authentic yang menerangkan bahwa di antara mereka telah terjadi hubungan hukum dalam hal ini perkawinan. Oleh karenanya berdasarkan mashlahah mursalah, maka perkawinan harus dicatat untuk menghindari agar tidak terjadinya kerusakan dan kesulitan terutama sekali kepada isteri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu.

DAFTAR PUSTAKA
Atho’ Mudhzar, Khairuddi, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. 3, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Rusjdi Ali Muhammad, Khairizzaman, Konstelasi Syari’at Islam di Era Global, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Aceh, 2011.
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2010.
Wildan Suyuti Mustofa, Nikah Sirri (Antara Kenyataan dan Kepastian Hukum), Jurnal Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Th. VII 1996, Sept-Okt, ( Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1996.



[1] Atho’ Mudhzar, Khairuddi, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), hlm. 1.
[2] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 98.
[3] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 46-47.
[4] Wildan Suyuti Mustofa, Nikah Sirri (Antara Kenyataan dan Kepastian Hukum), Jurnal Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Th. VII 1996, Sept-Okt, ( Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1996), hlm. 35-36.
[5]Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 1344.
[6] Rusjdi Ali Muhammad, Khairizzaman, Konstelasi Syari’at Islam di Era Global, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Aceh, 2011), hlm. 108.
[7] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 262.
[8] Rusjdi Ali Muhammad, Khairizzaman, Konstelasi Syari’at Islam di Era Global.,,,,,hlm. 104-105.
[9] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. 3, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 107.

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages