BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Fenomena
abad ke – 20 di dunia muslim adalah adanya usaha pembaharuan hukum keluarga
(perkawinan, perceraian, dan warisan). Di Turki misalnya melakukannya pada
tahun 1917, Mesir 1920, Iran 1931, Syiria 1953, Tunisia 1956, Pakistan 1961 dan
Indonesia pada tahun 1974.[1]
Salah satu pembaharuan hukum keluarga kontemporer di negara-negara muslim
adalah kewajiban bagi setiap muslim untuk mencatat perkawinannya menurut
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Termasuk di Indonesia telah mengatur
persoalan pencatatan perkawinan sedemikian rupa dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan perkawinan. Pengaturan mengenai kewajiban pencatatan perkawinan di
Indonesia terdapat dalam dua sumber hukum yang mengaturnya yaitu UU No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dan Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum
Islam.
Pencatatan
perkawinan merupakan persoalan baru dalam hukum keluarga Islam yang belum ada
perintah dari Alquran maupun Hadits yang secara tegas. Namun, persoalan pencatatan
perkawinan butuh intervensi Negara agar terjaminnya administrasi setiap warga
negara. Penulisan ini ingin mengetahui apa yang dimaksud dengan pencatatan
perkawinan dan bagaimana tinjauan maslahah mursalah bila perkawinan tidak
dicatat sesuai dengan aturan yang ada.
BAB
DUA
PENCATATAN
PERKAWINAN : SUATU TINJAUAN
MASLAHAT
MASHLAHAH
2.1. Pencatatan
Perkawinan
Dalam
Pasal 2 Ayat (2) dinyatakan bahwa ‘Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku’. Selanjutnya dalam Pasal 5 Ayat (1) menyatakan
hal yang sama yang menyatakan Agar terjamin
ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa syarat sahnya perkawinan merurut hukum
positif yang berlaku di Indonesia adalah harus dicatat menurut ketentuan hukum
yang berlaku. Perkawinan yang tidak dicatat tidak mempunyai kekuatan hukum.
Hukum
keluarga baru yang berlaku di Negara-negara muslim semua mewajibkan pencatatan
perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara
masing-masing. Pencatatan ini, kendatipun bukan merupakan rukun nikah, tetapi
dianggap sangat penting untuk pembuktian pernikahan yang sah yang dilakukan
oleh seseorang. Selain dari perkawinan itu sendiri harus dicatat, surat-surat
(keterangan, formulir yang telah diisi dan ditandatangani para pihak) harus
disimpan, didokumentasikan untuk kepentingan pembuktian kalau timbul keraguan
atau masalah kemudian hari.[2]
Berbeda dengan hukum Islam yang terdapat dalam ketentuan kitab-kitab fiqh yang
menerangkan bahwa perkawinan sah apabila terpenuhinya rukun dan syarat
perkawinan. Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri dari, calon suami
dan isteri yang akan melangsungkan perkawinan, adanya wali dari pihak calon
pengantin wanita, adanya dua orang saksi, sighat akad nikah.[3]
2.2. Suatu Tinjauan Mashlahah Mursalah Terhadap Pencatatan
Perkawinan
Perkawinan merupakan peristiwa hukum penting,
sebagaimana peristiwa kelahiran, kematian dan lain-lain. Untuk membuktikan
adanya perkawinan tidak cukup hanya dibutkikan dengan adanya peristiwa itu
sendiri tanpa adanya bukti tertulis berdasarkan pencatatan di lembaga yang
ditunjuk. Akan tetapi harus dibuktikan dengan bukti authentic yang dikeluarkan
oleh lembaga yang berwenang.[4]
Oleh karena pernikahan merupakan peristiwa
hukum, maka akan menimbulkan akibat hukum bagi pihak yang melangsungkannya.
Menurut kesepakatan ulama fikih, perkawinan mengakibatkan munculnya hak dan
kewajiban suami isteri yang harus dipelihara dan dijalankan
masing-masing-masing pihak, di antaranya: kehalalan hubungan suami isteri,
isteri berhak mendapatkan mahar yang belum dilunasi suaminya pada saat akad
nikah berlangsung, isteri berhak mendapatkan nafkah, lahirnya hubungan
kekeluargaan yang baru, saling mewarisi, wajib memperlakukan secara adil bagi
suami yang memiliki isteri lebih dari satu, anak yang lahir bernasab kepada
ayah dan kedua orang tua berkewajiban memeliharanya, isteri wajib menaati
suaminya dan suaminya wajib mempergauli dengan ma’ruf.[5]
Hak tersebut didapatkan bukan hanya pada saat
hubungan perkawinan masih dalam suasana harmonis dan damai, bahkan akibat hukum
tersebut masih berhak didapatkan sampai hubungan perkawinan mereka berakhir
(perceraian). Harta kewarisan, biaya pemeliharaan anak, mahar isteri yang belum
dilunasi tetap menjadi hak isteri dan anak-anaknya bila terjadi perceraian.
Namun sangat sulit mempertahankan kembali hak-haknya bila tidak ada bukit
authentic yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Isteri tidak dapat
menunjukkan bukti bahwa mereka telah melangsungkan perkawinan, karena jalinan
rumah tangga yang mereka jalin selama ini hanya dalam bentuk nikah sirri.
Perkawinan yang dilangsungkan tanpa melalui
prosedur formal tidak memiliki perlindungan hukum bagi yang melangsungkannya.
Bahkan tidak jarang akan menimbulkan malapetaka bagi orang-orang yang melakukan
perkawinan tersebut. Menurut Rusjdi Ali, nikah sirri atau nikah di bawah tangan
atau nikah yang tidak dicatat di KUA merugikan salah satu pihak. Dalam banyak
kasus, potensi kerugian lebih besar dialami oleh perempuan dan anak. Pernikahan
yang tidak dicatatkan misalnya, bila menghasilkan anak, maka anak tersebut
hanya diakui hak-haknya dari pihak ibunya. Dalam pembuatan akta kelahiran, anak
hanya akan dicatat mengikuti nama ibu karena pencatatan sipil untuk kelahiran
anak mensyaratkan adanya surat resmi pernikahan dari negara.[6]
Dampak yang merugikan kepada perempuan dan anak
merupakan suatu bentuk perlakuan yang tidak dibenarkan dalam penetapan hukum
syara’. Karena pada dasarnya tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama,
akhlak, jiwa dan keturunan. Dengan demikian, setiap aturan hukum yang
dimaksudkan untuk memelihara kelima tujuan hukum syara’ itu, disebut dengan
mashlahat.[7]
Sebenarnya melalui konsep mashlahat dan
maqashid syari’ah, sangatlah jelas betapa pencatatan perkawinan memberikan
perlindungan hukum terhadap perkawinan itu sendiri dan terhadap anak-anak yang
akan lahir nantinya. Jalan lain adalah dengan cara qias terhadap pencatatan
hutang yang tegas dinyatakan dalam Al-Quran, Surat Al-Baqarah Ayat 282. Bahkan
dalam satu ayat ini saja terdapat sembilan kali kata kitabah dengan berbagai
derivasinya, yang bermakna penulisan atau pencatatan, sebuah isyarat tentang
pentingnya kitabah tersebut untuk dipahami, dipelajari dan dikerjakan.[8]
Pencatatan
perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat.
Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk
melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan
dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan
dengan akta nikah, yang masing-masing suami isteri menadapat salinannya,
apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka atau salah satu
tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna
mempertahankan atau memperoleh hak-hak masing-masing. Karena dengan akta
tersebut, suami isteri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah
dilakukan.[9]
BAB TIGA
PENUTUP
Berdasarkan
pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Pencatatan
perkawinan merupakan suatu syarat penting berdasarkan ketentuan hukum positif
Indonesia. Perkawinan yang tidak dicatat tidak mempunyai kekuatan atau
perlindungan hukum terhadap orang yang melakukannya. Sementara itu, pencatatan
perkawinan tidak diatur secara tegas dalam Alquran dan Hadits, namun bila
melihat dari segi kemanfaatan dari pencatatan perkawinan sangatlah besar. Oleh
karenanya, setiap perkawinan harus dicatat sebagaimana prosedur yang ada.
2. Berdasarkan
mashlahah mursalah, maka pencatatan perkawinan suatu hal yang harus
dilaksanakan agar tidak menimbulkan malapetaka yang lebih besar. Karena setiap
perkawinan pasti menimbulkan akibat hukumnya. Dalam hal perkawinan misalnya,
akibat hukum yang ditimbulkan adalah adanya hak dan kewajiban suami isteri,
saling mewarisi antara keduanya dan lain sebagainya. Hak-hak tersebut akan
sulit didapatkan bila tidak ada bukti authentic yang menerangkan bahwa di
antara mereka telah terjadi hubungan hukum dalam hal ini perkawinan. Oleh
karenanya berdasarkan mashlahah mursalah, maka perkawinan harus dicatat untuk
menghindari agar tidak terjadinya kerusakan dan kesulitan terutama sekali
kepada isteri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu.
DAFTAR PUSTAKA
Atho’ Mudhzar, Khairuddi, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. 3, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan
Tulisan), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Rusjdi Ali Muhammad, Khairizzaman, Konstelasi Syari’at Islam di
Era Global, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Aceh, 2011.
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, cet. 1,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1996.
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana,
2010.
Wildan Suyuti Mustofa, Nikah Sirri (Antara Kenyataan dan
Kepastian Hukum), Jurnal Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Th.
VII 1996, Sept-Okt, ( Jakarta: Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1996.
[1] Atho’ Mudhzar,
Khairuddi, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat
Press, 2003), hlm. 1.
[2] Mohammad Daud
Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 98.
[3] Abdul Rahman
Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 46-47.
[4]
Wildan Suyuti
Mustofa, Nikah Sirri (Antara Kenyataan dan Kepastian Hukum), Jurnal
Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 Th. VII 1996, Sept-Okt, ( Jakarta:
Al-Hikmah & Ditbinbapera Islam, 1996), hlm. 35-36.
[5]Abdul Aziz
Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), hlm. 1344.
[6]
Rusjdi Ali
Muhammad, Khairizzaman, Konstelasi Syari’at Islam di Era Global, (Banda
Aceh: Dinas Syari’at Islam Aceh, 2011), hlm. 108.
[7] Abdul Manan, Reformasi
Hukum Islam di Indonesia, cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),
hlm. 262.
[8]
Rusjdi Ali
Muhammad, Khairizzaman, Konstelasi Syari’at Islam di Era Global.,,,,,hlm.
104-105.
[9] Ahmad Rofiq,
Hukum Islam di Indonesia, cet. 3, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),
hlm. 107.
0 comments:
Posting Komentar