Satpol
PP-WH dan Pentungannya
Oleh:
Mansari
Berbagai aksi
kekerasan, intimidasi dan teror merupakan tantangan serius yang dihadapi oleh
Satpol PP-WH dalam menegakkan syariat Islam. Fenomena tersebut membuat hati
miris dan memprihatinkan sehingga memerlukan solusi untuk membendung dan
mengantisipasi agar ke depan tidak terulang kembali. Aksi kekerasan terakhir menimpa
Danton Wilayatul Hisbah saat patroli dengan mobil operasional menjelang subuh pada
minggu 26/10/2014 yang sempat menyita perhatian public.
Namun apa hendak dikata, penegak hukum syariat tidak dipersenjatai
lengkap saat melaksanakan tugas. Mereka hanya diberikan sebatang pentungan
untuk menertibkan dan menggerebek tempat-tempat maksiat. Sehingga tidak jarang
menimbulkan aksi kekerasan, pemukulan saling menyerang antara petugas dengan
masyarakat yang ditertibkan. Seperti letusan senjata api saat petugas Wilayatul
Hisbah Kota Banda Aceh saat menggerebek salah satu salon di Peunayong pada 16
Agustus 2014 lalu. Pengeroyokan kadis syariat Islam Langsa oleh sekumpulan
pemuda mabuk ketika membubarkan “Pesta Keaboard” di Gampong Karang Anyar (25/8)
dan sederetan aksi kekerasan lainnya yang dialami oleh satpol PP-WH dalam
menjalankan tugas yang diembankan kepadanya. Ini merupakan tantangan besar bagi
mereka untuk memelihara dan menjaga eksistensi syariat Islam di Aceh. Keinginan
yang kuat tanpa diberikan sarana pendukung yang lengkap mustahil terwujud
seperti yang diharapkan. Sebaliknya mereka akan mengalami nasib yang sama bila
tidak ada langkah antipati dan memberikan fasilitas perlengkapan complete
saat melaksanakan tugas.
Polisi
Inggris Meninggalkan Pentungan
Ratusan tahun
yang lalu, Polisi Inggris sangat dikagumi sekaligus disegani oleh masyarakat.
Sikap kegentlemen-an warga Inggris tertuang pula pada sikap hormat mereka
sangat tinggi kepada polisi. Meskipun senjata yang digunakannya berupa
pentungan tapi tidak ada tindakan kekerasan yang menimpanya. Akhirnya pada
tahun 1994, polisi Inggris terpaksa meninggalkan pentungan akibat dari
banyaknya anggota polisi Inggris yang tewas dan terluka parah akibat diserang
oleh penjahat. Bahkan Konon menurut the times, dalam tahun 1993 saja
terjadi 3.370 kali penyerangan terhadap polisi Inggris. Bahkan tahun
sebelumnya, tahun 1992 terjadi 3.606 kali penyerangan terhadap polisi Inggris. Wajarlah,
menteri dalam negeri Inggris 1994, Michael Howard, telah menyetujui untuk
mengganti senjata pentungan menjadi senjata api berupa pistol Smith
& Wessons Caliber 38. (Prof. Achmad Ali: 2012, 240)
Peralihan penggunaan “pentungan”
kepada “senjata api” merupakan sebuah
tuntutan zaman yang tidak dapat dielakkan mengingat para penjahat sering
melakukan aksi premanisme. Mau tidak mau turut sebagai konsekuensi perubahan
sosial mempengaruhi perubahan hukum dan penegakannya. Bagi penegak hukum
syariat di Aceh, melihat aksi pengeroyokan, pengancaman yang sering
dipertontonkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tidak mustahil
meniru perubahan seperti yang dilakukan oleh Polisi Inggris. Sangat sulit
kiranya hukum syari’at akan dapat ditegakkan, bila kita masih mempertahankan
pentungan yang selama ini dibawa ke mana-mana oleh Satpol PP-WH. Lauren M.
Friedman pernah mengungkapkan bahwa suatu hukum akan berlaku efektif dengan
terpenuhinya tiga unsur, yaitu substansi hukum (substantional of law), penegak
hukum (law enforcement) dan budaya hukum (culture of law).
Meskipun qanun-qanun jinayah dan acara jinayah telah tersusun secara sistematis
dalam bentuk produk hukum, tidak mempunyai arti apa-apa tanpa adanya penegak
hukum yang mampu melaksanakan segala aturan-aturan yang telah ditetapkan serta
memberikan sarana dan prasana pendukung yang dibutuhkan dalam pelaksanaan
tugas.
Kendala
yang terjadi di lapangan selama ini adalah kurangnya fasilitas pendukung
sehingga kerapkali terjadinya aksi kekerasan yang melukai aparat. Dalam kondisi
demikian seolah-olah para aparat tidak berdaya menghadapi oknum-oknum tertentu,
sehingga dengan mudahnya memperlakukan aparat semena-mena karena tidak ada
senjata yang dapat melumpuhkan lawan. Barangkali kita dapat membuat penelitian kecil-kecilan
dengan mengambil sampel 1000 warga masyarakat Aceh sebagai responden untuk
menilai jumlah warga masyarakat yang setuju Satpol PP-WH dipersenjatai. Di
Inggris telah dipraktekkan demikian pada saat Polisi di sana dipersenjatai, di
mana 30 % dari 1000 Responden menyetujuinya, 37 % tidak menyatakan secara
tegas, namun bila diperlukan mereka tidak keberatan dipersenjatai pistol dan
sisanya sama sekali tidak menyetujui senjata pentungan Polisi diganti dengan
Pistol.
Lalu bagaimana kita menyikapi bila hal tersebut dilakukan di Aceh,
apakah akan diterima oleh setiap lapisan masyarakat atau menyetujuinya dalam
situasi tertentu atau bahkan menolaknya dengan tegas. Penulis sangat yakin,
mayoritas masyarakat menyetujui Satpol PP-WH dipersenjatai lengkap untuk
melindungi dirinya dalam bertugas. Sebab masyarakat Aceh sangat antusias
mendukung penegakan syariat Islam di Aceh. Hanya daerah-daerah tertentu saja
yang kerapkali melakukan perlawanan saat aparat bertugas yang dapat menghambat
pemberlakuan syariat Islam.
Paradigma
Legalistic Positivisme
Paradigma yang masih mendominasi
kita terhadap penerapan syariat Islam masih dipengaruhi oleh paradigm “legalistic
positivism” yang bersumber dari paradigma Barat abad ke-17 hingga abad
ke-19. Ciri yang sangat dominan dari paradigm ini adalah hukum itu sebagaimana
yang tertuang dalam hukum positif atau perundang-undangan. Kemudian
mengharuskan dalam bentuk perintah (command), kewajiban (duties)
dan sanksi (sanction). Menjalankan syariat Islam di Aceh terancam
kedangkalan berpikir, karena orang lebih membaca huruf-huruf yang terdapat
dalam qanun daripada berusaha menjangkau makna dan nilai yang lebih dalam. Menarik
apa yang dikatakan oleh Paul Scholten, seorang Guru Besar Belanda, “hukum
memang ada dalam undang-undang, tetapi masih harus ditemukan”. Pernyataan
tersebut sekarang mendapatkan dukungan dan pembenaran kuat. Mencari hukum dalam
peraturan adalah menemukan makna dan nilai yang terkandung dalam peraturan bukan
hanya membacanya secara datar begitu saja. Qanun-qanun syariat Islam yang
berlaku di Aceh sudah seharusnya dipahami dan direnungi maknanya secara mendalam
dan hakikat dari pelarangan serta sanksi yang ditetapkan. Bila hal tersebut
dilakukan, maka tidak perlu adanya pentungan dan senjata complete bagi
Satpol PP-WH. Sebaliknya bila usaha tersebut tidak dilakukan, maka sudah
seyogyanya penegak hukum syariat diberikan kewenangan menggunakan perlengkapan yang
memadai untuk melindungi dirinya dari ancaman dan teror yang mengancam
nyawanya. Karena hal ini merupakan tuntutan zaman yang menghendaki demikian.
Mansari, Mahasiswa
Program Magister Ilmu Hukum Unsyiah Banda Aceh
0 comments:
Posting Komentar