Sabtu, 08 November 2014

Satpol PP-WH dan Pentungannya
Oleh: Mansari
Berbagai aksi kekerasan, intimidasi dan teror merupakan tantangan serius yang dihadapi oleh Satpol PP-WH dalam menegakkan syariat Islam. Fenomena tersebut membuat hati miris dan memprihatinkan sehingga memerlukan solusi untuk membendung dan mengantisipasi agar ke depan tidak terulang kembali. Aksi kekerasan terakhir menimpa Danton Wilayatul Hisbah saat patroli dengan mobil operasional menjelang subuh pada minggu 26/10/2014 yang sempat menyita perhatian public.
Namun apa hendak dikata, penegak hukum syariat tidak dipersenjatai lengkap saat melaksanakan tugas. Mereka hanya diberikan sebatang pentungan untuk menertibkan dan menggerebek tempat-tempat maksiat. Sehingga tidak jarang menimbulkan aksi kekerasan, pemukulan saling menyerang antara petugas dengan masyarakat yang ditertibkan. Seperti letusan senjata api saat petugas Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh saat menggerebek salah satu salon di Peunayong pada 16 Agustus 2014 lalu. Pengeroyokan kadis syariat Islam Langsa oleh sekumpulan pemuda mabuk ketika membubarkan “Pesta Keaboard” di Gampong Karang Anyar (25/8) dan sederetan aksi kekerasan lainnya yang dialami oleh satpol PP-WH dalam menjalankan tugas yang diembankan kepadanya. Ini merupakan tantangan besar bagi mereka untuk memelihara dan menjaga eksistensi syariat Islam di Aceh. Keinginan yang kuat tanpa diberikan sarana pendukung yang lengkap mustahil terwujud seperti yang diharapkan. Sebaliknya mereka akan mengalami nasib yang sama bila tidak ada langkah antipati dan memberikan fasilitas perlengkapan complete saat melaksanakan tugas.


Polisi Inggris Meninggalkan Pentungan
Ratusan tahun yang lalu, Polisi Inggris sangat dikagumi sekaligus disegani oleh masyarakat. Sikap kegentlemen-an warga Inggris tertuang pula pada sikap hormat mereka sangat tinggi kepada polisi. Meskipun senjata yang digunakannya berupa pentungan tapi tidak ada tindakan kekerasan yang menimpanya. Akhirnya pada tahun 1994, polisi Inggris terpaksa meninggalkan pentungan akibat dari banyaknya anggota polisi Inggris yang tewas dan terluka parah akibat diserang oleh penjahat. Bahkan Konon menurut the times, dalam tahun 1993 saja terjadi 3.370 kali penyerangan terhadap polisi Inggris. Bahkan tahun sebelumnya, tahun 1992 terjadi 3.606 kali penyerangan terhadap polisi Inggris. Wajarlah, menteri dalam negeri Inggris 1994, Michael Howard, telah menyetujui untuk mengganti senjata pentungan menjadi senjata api berupa pistol Smith & Wessons Caliber 38. (Prof. Achmad Ali: 2012, 240)
            Peralihan penggunaan “pentungan” kepada “senjata api”  merupakan sebuah tuntutan zaman yang tidak dapat dielakkan mengingat para penjahat sering melakukan aksi premanisme. Mau tidak mau turut sebagai konsekuensi perubahan sosial mempengaruhi perubahan hukum dan penegakannya. Bagi penegak hukum syariat di Aceh, melihat aksi pengeroyokan, pengancaman yang sering dipertontonkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tidak mustahil meniru perubahan seperti yang dilakukan oleh Polisi Inggris. Sangat sulit kiranya hukum syari’at akan dapat ditegakkan, bila kita masih mempertahankan pentungan yang selama ini dibawa ke mana-mana oleh Satpol PP-WH. Lauren M. Friedman pernah mengungkapkan bahwa suatu hukum akan berlaku efektif dengan terpenuhinya tiga unsur, yaitu substansi hukum (substantional of law), penegak hukum (law enforcement) dan budaya hukum (culture of law). Meskipun qanun-qanun jinayah dan acara jinayah telah tersusun secara sistematis dalam bentuk produk hukum, tidak mempunyai arti apa-apa tanpa adanya penegak hukum yang mampu melaksanakan segala aturan-aturan yang telah ditetapkan serta memberikan sarana dan prasana pendukung yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas. 
Kendala yang terjadi di lapangan selama ini adalah kurangnya fasilitas pendukung sehingga kerapkali terjadinya aksi kekerasan yang melukai aparat. Dalam kondisi demikian seolah-olah para aparat tidak berdaya menghadapi oknum-oknum tertentu, sehingga dengan mudahnya memperlakukan aparat semena-mena karena tidak ada senjata yang dapat melumpuhkan lawan. Barangkali kita dapat membuat penelitian kecil-kecilan dengan mengambil sampel 1000 warga masyarakat Aceh sebagai responden untuk menilai jumlah warga masyarakat yang setuju Satpol PP-WH dipersenjatai. Di Inggris telah dipraktekkan demikian pada saat Polisi di sana dipersenjatai, di mana 30 % dari 1000 Responden menyetujuinya, 37 % tidak menyatakan secara tegas, namun bila diperlukan mereka tidak keberatan dipersenjatai pistol dan sisanya sama sekali tidak menyetujui senjata pentungan Polisi diganti dengan Pistol.
Lalu bagaimana kita menyikapi bila hal tersebut dilakukan di Aceh, apakah akan diterima oleh setiap lapisan masyarakat atau menyetujuinya dalam situasi tertentu atau bahkan menolaknya dengan tegas. Penulis sangat yakin, mayoritas masyarakat menyetujui Satpol PP-WH dipersenjatai lengkap untuk melindungi dirinya dalam bertugas. Sebab masyarakat Aceh sangat antusias mendukung penegakan syariat Islam di Aceh. Hanya daerah-daerah tertentu saja yang kerapkali melakukan perlawanan saat aparat bertugas yang dapat menghambat pemberlakuan syariat Islam.
Paradigma Legalistic Positivisme
            Paradigma yang masih mendominasi kita terhadap penerapan syariat Islam masih dipengaruhi oleh paradigm “legalistic positivism” yang bersumber dari paradigma Barat abad ke-17 hingga abad ke-19. Ciri yang sangat dominan dari paradigm ini adalah hukum itu sebagaimana yang tertuang dalam hukum positif atau perundang-undangan. Kemudian mengharuskan dalam bentuk perintah (command), kewajiban (duties) dan sanksi (sanction). Menjalankan syariat Islam di Aceh terancam kedangkalan berpikir, karena orang lebih membaca huruf-huruf yang terdapat dalam qanun daripada berusaha menjangkau makna dan nilai yang lebih dalam. Menarik apa yang dikatakan oleh Paul Scholten, seorang Guru Besar Belanda, “hukum memang ada dalam undang-undang, tetapi masih harus ditemukan”. Pernyataan tersebut sekarang mendapatkan dukungan dan pembenaran kuat. Mencari hukum dalam peraturan adalah menemukan makna dan nilai yang terkandung dalam peraturan bukan hanya membacanya secara datar begitu saja. Qanun-qanun syariat Islam yang berlaku di Aceh sudah seharusnya dipahami dan direnungi maknanya secara mendalam dan hakikat dari pelarangan serta sanksi yang ditetapkan. Bila hal tersebut dilakukan, maka tidak perlu adanya pentungan dan senjata complete bagi Satpol PP-WH. Sebaliknya bila usaha tersebut tidak dilakukan, maka sudah seyogyanya penegak hukum syariat diberikan kewenangan menggunakan perlengkapan yang memadai untuk melindungi dirinya dari ancaman dan teror yang mengancam nyawanya. Karena hal ini merupakan tuntutan zaman yang menghendaki demikian.

Mansari, Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Unsyiah Banda Aceh




0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages