Minggu, 14 Oktober 2012

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang independen, mandiri dan tanpa interrvensi lembaga negarapun dalam melaksanakan tugas kehakiman yang diembankan kepadanya. Bahkan, ketua pengadilanpun tidak boleh campur tangan ketika majelis hamik mengadili perkara. Tuga hakim adalah menerima, memeriksa, mengadili dan ,memutuskan perkara yang diajukan oleh para pencari keadilan untuk memutuskan perselisihan antara mereka. Putusan hakim mengikat para pihak-pihak dan para pihak harus melaksanakan putusan tersebut dengan penuh keikhlasan. Hakim dalam memutuskan perkara harus memahami dan mengetahui nilai-nilai kehidupan, kebiasaan-kebiasaan (living law) dalam suatu masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menciptakan putusan yang seadil-adilnya dan membuat keputusannya lebih bijak serta sempitnya peluang untuk menempuh upaya hukum lain, seperti banding, kasasi dan peninjauan kembali (upaya hukum luar biasa). Menurut Gustav Radbruch tujuan diciptakan hukum adalah agar terciptanya keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Keputsan hakim harus sangat sulit untuk mencapai ketiga hal itu, karena sangat sulit untuk mendefinisikan nilai keadilan itu sendiri. Adalakanya adil disuatu pihak dan tidak adil dipihak yang lain, begitu juga dengan kemanfaatan yang hanya mendapatkan manfaat dan kepuasan hanyalah pihak yang menang sedangkan pihak yang kalah harus menerima kenyataan yang ada dan harus menuruti keputusan itu. Dan tidak kalah pentingnya keputusan hakim juga harus mencerminkan nilai-nilai kepastian hukum bagi semua pihak agar pihak-pihak yang berperkara menerima putusan dan melaksanakan putusan tersebut. Oleh karena itu ketelitian, kehati-hatian hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara sangat dibuthkan agar terhindar dari kecurgaan seseorang kepada hakim, dan agar putusan tersebut dapat memenuhi tiga tujuan hukum yang sudah dipaparkan oleh Gustav Radbruch yaitu terciptanya keadilan bagi masyarakat, memberikan kemanfaatan, dan menjamin kepastian hukum. Hakim dalam melaskanakan tugasnya sehari-hari selalu berhadapan dengan masyarakat dan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lain jauh berbeda, begitu juga dengan UU yang bersifat Abstrak harus diinterpretasikan oleh hakim dalam memutuskan perkara yang konkret. UU yang masih bersifat abstak atau umum harus diinterpretasikan oleh hakim dalam bebeerapa bentuk antara lain : Pertama, mengkonstatir artinya bahwa hakim harus melihat dan membenarkan perkara yang diajukan padanya melalui pembuktian yang harus dilakukan oleh para pihak dengan mengemukakan alat-alat buki yang sah menurut huku seperti yang terdapat dalam pasal 184 KUHP, yaitu keterangan saksi, keterangan Ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Adapun alat bukti yang sah dalam perkara pertama seperti yang terdapat dalam pasal 164 HIR/pasal 284 RBg/pasal 1866 KUHPerdata yaitu : alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Kedua, mengkualifisir artinya hakim harus mengetahui peristiwa-peristiwa konkret yang ada, termasuk didalamnya melacak hubungan hukum antara pihak-pihak dan menggolongkan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut termasuk ke perbuatan apa. Setelah pengelompokan, barulah hakim harus memutuskan dan menerapkan hukum yang adalam UU, kebiasaan, doktrin, yurisprudensi, traktat dan lain sebagainya. Ketiga, mengkonstituir artinya bahwa hakim setelah mengetahui duduknya perkara antara penggugat dan tergugat atau terdawa barulah hakim memutuskan perkara tersebut. Hakim pejabat pengadilan yang tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih hukum tidak ada untuk itu, akan tetapi seorang hakim harus menggali dan menemukan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Hakim dianggap mengetahui hukum meskipun UU kurang jelas atau masih kabur (Ius Curia Novit). Bahkan, meskipun hukum tidak ada terhadap perkara yang sedang diadilinya, hakim harus berijtiha dengan penuh kejelian dan kehati-hatian. Terkait hakim harus berijtihad terhadap perkara yang belum ada hukumnya, terdapat satu yang memberikan peluang agar ijtihad dilakukan oleh seorang hakim, yaitu : “apabila seorang hakim bertijtihad dan ijtihadnya benar, maka baginya mendapat pahala dua (ajroni), sedangkan apabila salah, maka hakim tersebut mendapat satu pahala (ajron).

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages