Selasa, 10 April 2012


Perkawinan wanita hamil
Dizaman sekarang banyak sekali terjadi perzinahan, baik di kota besar ataupun di kota-kota kecil. Hal ini sudah mempengaruhi dalam perkawinan terhadap orang yang  melakukan perzinahan, yaitu kepada siapa wanita itu dikawinkan ? dan bagaimana proses melangsungkan perkawinan apakah setelah lahirnya anak dalam kandungan atau tidak ? pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan penulis jawab dalam tulisan ini.
Dalam KHI sudah diatur masalah perkawinan wanita hamil, seperti yang terdapat dalam pasal 53 :
1.      Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya
2.      Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya
3.      Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dari pasal 53 KHI dapat diambil beberapa poin penting. Pertama, apabila seseorang berzina, kemudian hamil, maka wanita tersebut dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Kedua, perkawinan dengan wanita hamil bisa dilangsungkan kapan saja dan dimana saja asalkan terpenuhi rukun dan syarat perkawinan. Apabila anak dilahirkan diluar perkwinan yang sah, maka anak tersebut dinamakan anak zina, dan anak zina tersebut hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya saja. Seperti yang terdapat dalam pasal 43 UU no. 1 tahun 1974 yaitu “anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Lebih lanjut dalam pasal 100 KHI disebutkan bahwa “anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ketiga, dengan dilangsungkannya pernikahan pada saat wanita tersebut hamil, maka tidak perlu melangsungkan perkawinan setelah anak yang dalam kandungannya lahir. Firman Allah SWT dalam surat an-nuur ayat 3 berbunyi :
ÎT#¨9$# Ÿw ßxÅ3Ztƒ žwÎ) ºpuŠÏR#y ÷rr& Zpx.ÎŽô³ãB èpuÏR#¨9$#ur Ÿw !$ygßsÅ3Ztƒ žwÎ) Ab#y ÷rr& Ô8ÎŽô³ãB 4 tPÌhãmur y7Ï9ºsŒ n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÌÈ  
Artinya :
“Lelaki Yang berzina (lazimnya) tidak ingin berkahwin melainkan Dengan perempuan Yang berzina atau perempuan musyrik; dan perempuan Yang berzina itu pula (lazimnya) tidak ingin berkahwin dengannya melainkan oleh lelaki Yang berzina atau lelaki musyrik. dan perkahwinan Yang demikian itu terlarang kepada orang-orang Yang beriman”.
Ayat diatas merupakan salah satu dalil yang menerangkan bahwa laki-laki penzina dengan perempuan penzina dan begitu juga sebaliknya perempuan penzina dengan laki-laki penzina.
Jumhur ulama berbeda pendapat dalam hal apakah wanita penzina atau wanita hamil bisa kawin dengan laki-laki yang tidak menghamilinya atau tidak. Perbedaan pendapat terletak pada kata-kata “hurrima”, sebagian ulama menafsirkan bahwa “hurrima” (haram) melangsungkan perkawinan antara seorang mukmin dengan seorang wanita penzina/wanita hamil. Namun sebagian ulama yang lain menafsirkan bahwa kata “hurrima” menerangkan kepada haramnya melakukan perzinahan.




0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages