Rabu, 20 April 2011


Kata pengantar
Segala puji bagi Allah yang sudah memberikan kesempatan bagi saya untuk menulis sebuah makalah dengan judul poligami “dalam teks dan konteks”. Atas kesempatan dan kehendaknNyalah penulis bisa menyelesaikan tulisan ini, mudah-mudahan dengan hadirnya tulisan ini dapat memberikan manfa’at bagi semua pembaca dan dapat khususnya bagi para penulis sendiri.
Selanjutnya selawat dan salam kepada nabi Muhammad SAW, yang telah melakukan reformasi dan telah berhijrah dari alam yang tidak berpengetahuan kepada alam yang penuh ilmu pengetahuan, khususnya di bidang agama.
Terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membimbing penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini, semoga beliau dan keluarga selalu tetap dalam lindungan Allah SWT.







Pendahuluan
Pernikahan merupakan perbuatan yang sunat dilakuka oleh setiap muslim. Dalam setiap perkawinan, kata-kata yang tidak asing lagi ditelinga kita adalah kata-kata talak, iddah, ila’ dan khulu’. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis ingin mengupas masalah-masalah tersebut secara berurutan.
Talak merupakan jalan terakhir atau solusi terakhir dalam sebuah perkawinan, apabila suatu perkawinan tidak terwujud seperti yang diharapkan dalam agama yaitu sakinah mawaddah dan warahmah, hal ini bisa kita lihat dalam surat ar-ruum dalam ayat 21. Perbuatan yang halal namun sangat dibenci oleh allah yaitu talak, dengan adanya talak maka banyak sekali akibat yang muncul daripadanya, antara lain anak-anak terlantar, dan timbul kekesalan dalam diri hati istri.
Talak merupakan hal yang mutlak yang diberikan oleh allah kepada suami, dan tidak diberikan kepada istri, namun pada istri ada juga yang disebut khulu’. Khulu’ ini disebut juga talak tebus, apabila istri ingin melakukan khulu’ maka istri harus memberi sebagian harta untuk suaminya. Biasanya istri melakukan khulu’ karena tidak sanggup lagi melihat pertengkaran dan percekcekan dalam rumah tangga dan pada akhirnya menjadi KDRT. Oleh karena itulah, allah mensyari’atkan khulu’ bagi kaum wanita, untuk menyelesaikan hal-hal yang demikian.
‘iddah merupakan waktu menunggu yang sudah digarisbawahi oleh allah dalam al-qur-an dalam surat al-baqarah ayat 228. Dalam ayat tersebut terdapat kata al-muthallaqatu, kata ini merupakan kata atau lafaz umum, dan dipahami seluruh wanita artinya tidak membedakan wanita hamil, wanita monopouse, wanita ditinggal mati dan wanita yang belum pernah dicampur sama sekali.




 Ayat 226-227
                           
   •    

Artinya :
Kepada orang-orang yang meng’ila istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya allah maha pengampun lagi maha penyanyang .(226)
Dan jika mereka berazam hendak menjatuhkan talak (menceraikan isteri), maka Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, lagi Maha mengetahui.

Hukum yang dapat diambil dari ayat 226-227 surat al-baqarah
Ulama berpendapat bahwa, ila’ merupakan sumpahnya suami tidak akan mencampiri istrinya selama empat bulan lebih, dan apabila kurang dari empat bulan maka hall itu tersebut tidak dinamakan dengan ila’. Dan ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa apabila seorang suami bersumpah tidak mencampuri istrinya, meski sehari saja, maka hal tersebut sudah disebut dengan ila’.
Menurut ibnu mas’ud, ibnu abi laila, apabila dia tidak mencampuri istrinya selama dalam waktu empat bulan maka, hubungan mereka terputus ( tertalak) atau disebut juga dengan talak ba’in. ada juga ulama yang mengatakan bahwa apabila dalam waktu empat bulan suami tidak tidak melanggar sumpah dan kembali kepada istrinya maka suami tersebut boleh kembali kepada istrinya dan talaknya tidak jatuh. Namun kalau dia melanggar sumpahnya, maka dia diwajibkan membaya kafarat sumpah. Tentang kafarat ini bisa dilihat dalam surat al-maidah, yaitu member makan sepuluh orang miskin atau member pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup demikian maka harus berpuasa selama tiga hari.

Surah al-baqarah ayat 228
                                             
Dan isteri-isteri Yang diceraikan itu hendaklah menunggu Dengan menahan diri mereka (dari berkahwin) selama tiga kali suci (dari haid). dan tidaklah halal bagi mereka menyembunyikan (tidak memberitahu tentang) anak Yang dijadikan oleh Allah Dalam kandungan rahim mereka, jika betul mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suami mereka berhak mengambil kembali (rujuk akan) isteri-isteri itu Dalam masa idah mereka jika suami-suami bertujuan hendak berdamai. dan isteri-isteri itu mempunyai hak Yang sama seperti kewajipan Yang ditanggung oleh mereka (terhadap suami) Dengan cara Yang sepatutnya (dan tidak dilarang oleh syarak); Dalam pada itu orang-orang lelaki (suami-suami itu) mempunyai satu darjat kelebihan atas orang-orang perempuan (isterinya). dan (ingatlah), Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.

Hukum yang dapat diambil
Orang yang dicerai oleh suaminya, maka dia harus menunggu tiga kkali quru’. Ada ulama yang mengartikan bahwa quru’ itu suci dan ada juga yang mengartikan quru’ itu dengan haid.
Macam-macam ‘iddah :
1. Iddah wanita hamil, masa iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya ( surah al-ahzab ayat 49)
2. Iddah orang monopouse, masa iddahnya adalah dengan perhitungan bulan ( surah at-thalaq ayat 4).
3. Iddah orang ditinggal mati oleh suaminya, maka masa iddahnya adalah selama empat bulan 10 hari (al-baqarah ayat 234).
4. Perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, namun ia belum pernah mencampurinya, maka bagi ia tidak adaiddah sama sekali.
Secara ringkas hukum yang dapat diambil dari ayat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Penjelasan mengenai masa iddah wanita yang ditalak jika ia sedang haidh ialah menunggu selama tiga kali haidh atau tiga kali suci.
2. Seseorang wanita yang ditalak haram hukumnya menyembunyikan haidh atau kehamilan yang telah diciptakan allah didalam rahimnya dengan maksud apapun.
3. Seseorang suami lebih berhak untuk merujuk istrinya yang ditalaknya, jika belum habis masa iddahnya, bahkan dikatakan ia adalah tetap menjadi istrinya berdasar dalil jika ia meninggal, suaminya tetap mewarisinya dan sebaliknya jika suaminya yang meninggal maka iapun mewarisinya. Dan wanita ini tidak halal untuk dilamar atau dinikahi selama ia dalam masa iddah.
4. Penetapan hak-hak bagi masing-masing suami istri atas pasangannya.
5. Penetapan kepemimpinan seorang lai-laki terhadap wanita, karena allah telah memberikan kepadanya berbagai keistimewaan yang tidak ditemukan pada wanita.
Asbabun nuzul ayat 228 surat al-baqarah

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa asma’ binti yazid bin as-sakan al-anshariyah berkata mengenai turunnya ayat tersebut, sebagai berikut : pada zaman rasulullah SAW, aku ditalak oleh suamiku disaat belum ada hukum ‘iddah bagi wanita, yaitu menunggu setelah bersuci dari tiga kali quru’. ( diriwayat oleh abu daud dan ibnu abi hatim. Yang bersumber dari asma’ binti yazid bin as-sakan)
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa isma’il bin ‘abdillah al-ghifari menceraikan istrinya, qathilah. Di zaman rasulullah SAW, ia sendiri tidak mengetahui bahwa istrinya itu hamil. Setelah ia mengetahuinya, iapun rujuk kepada istrinya. Istrinya melahirkan dan meninggal. Demikian juga bayinya. Maka turunlah ayat diatas, yang menegaskan betapa pentingnya masa ‘iddah bagi wanita, untuk mengetahui hamil tidaknya seseorang istri. (diriwayatkan oleh ats-tsa’labi dan hibatullah bin salamah didalam kitab an-nasikh, yang bersumber dari al-kalbi dan muqatil).

Surat al-baqarah Ayat 229

                                                   
Talak (yang boleh dirujuk kembali itu hanya) dua kali. sesudah itu bolehlah ia (rujuk dan) memegang terus (isterinya itu) Dengan cara Yang sepatutnya atau melepaskan (menceraikannya) Dengan cara Yang baik dan tidaklah halal bagi kamu mengambil balik sesuatu dari apa Yang telah kamu berikan kepada mereka (isteri-isteri Yang diceraikan itu) kecuali jika keduanya (suami isteri takut tidak dapat menegakkan aturan-aturan hukum Allah. oleh itu kalau kamu khuatir Bahawa kedua-duanya tidak dapat menegakkan aturan-aturan hukum Allah, maka tidaklah mereka berdosa - mengenai bayaran (tebus talak) Yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya (dan mengenai pengambilan suami akan bayaran itu). itulah aturan-aturan hukum Allah maka janganlah kamu melanggarnya; dan sesiapa Yang melanggar aturan-aturan hukum Allah, maka mereka itulah orang-orang Yang zalim.

Hukum yang dapat diambil dari ayat 229

Talak terbagi kepada dua :

1. Talak raj’I, yaitu talak yang dapat dirujuk. Yang termasuk talak raj’I ialah talak satu dan dua, sebelum habisnya masa ‘iddah, maka suami boleh merujuk kembali kepada istrinya.
2. Talak ba’in, yaitu talak yang tidak dapat dirujuk lagi oleh suami. Apabila suami ingin kembali kepada istrinya, maka istri ttersebut harus menikahi dengan orang lain dulu, kemudian menceraikannya.
. wanita yang ditalak sebanyak tiga kali, tidak halal bagi suaminya sampai ia menikah dengan orang lain, lalu orang itu menalaknya atau meninggal.
Para suami haram baginya untuk mengambil kembali mahar yang telah diberikan kepada istri tanpa kerelaannya, kecuali dalam kondisi-kondisi tersebut istri dibolehkan untuk memberikan hartanya kepada suami yaitu dalam hal apabila istri tidak mau lagi hidup bersama suami, dan hal tersebut disebut dengan khulu’.
Secara ringkas hukumnya dapat disebutkan sebagai berikut :
1. Wanita yang ditalak sebanyak tiga kali tidak halal bagi suaminya sampai ia menikah dengan orang lain, lalu orang itu menalaknya atau meninggal
2. Disyari’atkannya khulu’ yang berarti seseorang istri tidak suka untuk hidup terus bersama suaminya dengan cara memberikan harta kepada suaminya sebagai ganti nafkah yang pernah ia berikan kepadanya selama menjalani hidup berumah tangga.
3. Wajib berhenti pada batas-batas ketentuan Allah dan haram melewatinya.
Asbabun nuzul ayat 229 surat al-baqarah
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seorang laki-laki menalak istrinya sekehendak hati. Menurut anggapan bahwanya, selama rujuk itu dilakukan dalam masa ‘iddah, wanita itu tetap istrinya, walaupun sudah seratus kali ditalak ataupun lebih. Laki-laki itu berkata kepada istrinya “ demi allah, aku tidak akan menalakmu, dan kamu tetap berdiri disampingku sebagai istriku, dan aku tidak akan menggaulimu sama sekali.” Istrinya berkata : “ apa yang kamu lakuakan ? “suaminya menjawab : “aku menceraikanmu, kemudian apabila habis ‘iddahmu, aku akan rujuk lagi.” Maka menghadaplah wanita itu kepada rasulullah untuk menceritakan hal itu. Rasulullah terdiam, hingga turunlah ayat tersebut. (diriwayatkan oleh at-tirmidzi, al-hakim, dan lain-lain, yang bersumber dari ‘aisyah.
Dalam riwayat lain diriwayatkan bahwa seorang laki-laki memakan harta benda istrinya dari maskawin yang ia berikan sewaktu kawin, dan juga harta lainnya. Ia menganggap bahwa perbuatannya itu tidak berdosa. Maka turunlah ayat, yang melarang merampas harta istri. ( diriwayatkan oleh abu daud di dalam kitab an-nasikh wal-mansukh, yang bersumber dari ibnu ‘abbas).
Ayat 230 surah al-baqarah
                    •            
Sesudah (diceraikan dua kali), itu jika diceraikan pula (bagi kali Yang ketiga) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sesudah itu, sehingga ia berkahwin Dengan suami Yang lain. setelah itu kalau ia diceraikan (oleh suami baharu itu dan habis idahnya), maka mereka berdua (suami lama dan bekas isterinya) tidaklah berdosa untuk kembali (maskahwin semula), jika mereka kuat menyangka akan dapat menegakkan aturan-aturan hukum Allah dan itulah aturan-aturan hukum Allah, diterangkanNya kepada kaum Yang (mahu) mengetahui dan memahaminya.
Hukum yang dapat diambil dari ayat 230
Jika seorang perempuan yang telah bercerai dengan suaminya dengan talak tiga, maka tidak halal lagi bagi perempuan itu kawin dengan bekas suaminya, kecuali ia terlebih dahulu kawin dengan laki-laki yang lain. Kemudian setelah mereka bercerai dengan suaminya yang kedua, barulah dia suami yang kedua itu, seandainya hanya bermaksud supaya dapat nikah kembali dengan bekas suaminya yang pertama, maka perkawinan itu dinamakan “al-muhallil wal muhalla lahu”, atau yang lebih popular dalam ungkapan bahasa Indonesia “cina buta”.
Secara ringkas hukumnya dapat disebutkan sebagai berikut :
1. Wanita yang ditalak tiga tidak halal bagi yang mentalaknya kecuali dengan dua syarat : pertama, wanita itu menikah dengan laki-laki lain selain dia dengan nikah yang sah. Kedua, mereka berdua yakin bahwa hubungan antara keduanya menjadi baik dan tidak akan berulang kembali perselisihan yang menyebabkan talak tiga kali.
2. Kematian suami yang kedua sama halnya seperti talaknya sehingga wanita itu sah untuk kembali kepada suaminya yang pertama.
3. Jika wanita yang tertalak tiga kali itu menikah dengan niat akan berontak terhadap suami sehingga ia mau mentalaknya, agar ia dapat kembali kepada suaminya yang pertama, maka nikahnya itu tidak halal karena berniat untuk penghalalan.
Asbabun nuzul ayat 230 surat al-baqarah
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat ini berkenaan dengan pengaduan ‘aisyah binti ‘abdirrahman bin ‘atik kepada rasulullah SAW. Bahwa ia telah ditalak oleh suaminya yang kedua (‘abdurrahman bin zubair al-qurazi) dan akan kembali kepada suaminya yang pertama (rifa’ah bin wahb bin ‘atik) yang telah menalak ba’in kepadanya. ‘aisyah berkata “ ‘abdurrahman bin zubair telah menalak saya sebelum menggauli. Apakah saya boleh kembali kepada suami yang pertama ? “nabi menjawab “tidak, kecuali kamu telah digauli suamimu yang kedua”.
Kejadian ini membenarkan seorang suami yang telah menalak bain istrinya untuk mengawini kembali istrinya, setellah istrinya itu digauli dan diceraikan oleh suaminya yang kedua.( diriwayatkan oleh ibnul mundzir yang bersumber dari muqatil bin hibban)
Ayat 231 al baqarah
                                          •   •     
Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu) kemudian mereka (hampir) habis tempo idahnya maka bolehlah kamu pegang mereka (rujuk) Dengan cara Yang baik atau lepaskan mereka Dengan cara Yang baik. dan janganlah kamu pegang mereka (rujuk semula Dengan maksud memberi mudarat, kerana kamu hendak melakukan kezaliman (terhadap mereka); dan sesiapa Yang melakukan demikian maka Sesungguhnya Dia menganiaya dirinya sendiri. dan janganlah kamu menjadikan ayat-ayat hukum Allah itu sebagai ejek-ejekan (dan permainan). dan kenanglah nikmat Allah Yang diberikan kepada kamu, (dan kenanglah) apa Yang diturunkan kepada kamu Iaitu Kitab (Al-Quran) dan ilmu hikmat, untuk memberi pengajaran kepada kamu dengannya. dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah: Sesungguhnya Allah Maha mengetahui akan tiap-tiap sesuatu.

Hukum yang dapat diambil dari ayat 231
Al-Qurtubi berkata bahwa ayat ini menjadi dalil, bahwa perempuan yang telah dicerai oleh suaminya dengan talak satu atau talak dua, sebelum habis masa ‘iddahnya, si suami berhak memegangnya, artinya merujuk kembali. Tetapi hendaknya memegang nya itu dengan cara yang baik, ma’ruf, dengan tidak bermaksud hendak menganiaya perempuan itu. Andaikata tidak dapat dirasakannya akan hidup dengan rukun damai kembali diantara suami-istri itu, maka lepaslah dia dengan tidak merujuki kembali dengan cara yang baik pula, sehingga habislah masa ‘iddahnya.
Secara ringkas dapat disebutkan hukumnya sebagai berikut :
1. Tidak boleh bagi seseorang untuk rujuk kembali kepada mantan istrinya dengan tujuan untuk menyakitinya hingga dia meminta khulu’daengan imbalan harta.
2. Larangan bermain-main dengan hukum syara’ dengan tidak memperhatikan dan melaksanakannya.

Asbabun nuzul ayat 231 surat al-baqarah
Dalam suatu riwayat dikemukakan ada seorang laki-laki yang menceraikan istrinya, kemudian merujuknhya sebelum habis ‘iddahnya, terus menceraikannya lagi dengan maksud menyusahkan dan mengikat istrinya agar tidak bisa kawin dengan yang lain, maka turunlah ayat tersebut diatas.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa turunnya ayat ini berkenaan dengan sabit bin yasar al-anshari yang menalak istrinya. Teatpi setelah hampir habis ‘iddahnya, ia merujuknya lagi, lalu menceraikannya lagi, dengan maksud menyakiti istrinya. (diriwayatkan oleh ibnu jarir yang bersumber dari as-suddi).
Ayat 232 al baqarah
                                    
Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu habis masa idah mereka ' maka janganlah kamu (Wahai wali-wali nikah) menahan mereka daripada berkahwin semula Dengan (bekas) suami mereka, apabila mereka (lelaki dan perempuan itu) bersetuju sesama sendiri Dengan cara Yang baik (yang dibenarkan oleh Syarak). Demikianlah diberi ingatan dan pengajaran Dengan itu kepada sesiapa di antara kamu Yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian adalah lebih baik bagi kamu dan lebih suci. dan (ingatlah), Allah mengetahui (akan apa jua Yang baik untuk kamu) sedang kamu tidak mengetahuinya.
Hukum yang dapat diambil dari ayat 232
Dalam ayat ini bisa diambil dua masalah pokok :
Pertama, bekas suami yang telah menceraikan istrinya, ialah agar tidak menghalangi perempuan yang telah dicerainya dan telah sampai pada ‘iddahnya untuk kawin dengan laki-laki lain yang bakal menjadi suaminya.
Kedua, ditujukan kepada wali, artinya janganlah para wali menghalang-halanginya untuk menikah dengan orang lain atau dengan pria yang lain, apabila bekas istri tersebut berkehendak untuk melaksanakannya.
Jika wali terus menerus menghalang-halangi saudarinya untuk menikah dengan orang lain dan tidak mau menikahkannya, maka saudari tersebut dapat menikahkan dirinya dengan perantaraan wali sultan.
Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan wali dalam nikah :
Pertama, abu hanifah berkata, perempuan itu dapat menikahkankan dirinya sendiri dengan tidak berwali, asalkan dengan laki-laki yang sekufu dengan perempuan itu dan cukup mempunyai mahar mitsil, dan tidak boleh dihalangi oleh walinya.
Kedua, abu yusuf berbeda pendapat dengan abu hanifah, beliau berkata “ tidak boleh perempuan nikah dengan tidak ada wali. Jika walinya enggan menikahkannya dengan laki-laki yang disukainya, sedang laki-laki itu sekufu dengan dia maka boleh kadi menikahkan perempuan itu dengan tidak seizin walinya, karena wali itu menghalangi.
Secara ringkas dapat disebutkan hukumnya sebagai berikut :
1. Menghalang-halangi atau melarang wanita yang tertalak untuk rujuk kepada orang yang telah mentalaknya.
2. Kewajiban wali terhadap wanita, karena sasaran dalil pada ayat 232 adalah untuk para wali.

Asbabun nuzul surat al-baqarah ayat 232
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ma’qil bin yasar mengawinkan saudaranya kepada seorang laki-laki muslim. Beberapa lama kemudian, dicerainya dengan satu talak. Setelah habis ‘iddanya, mereka berdua ingin kembali lagi. Maka datanglah laki-laki tadi bersama ‘umar bin al-khatab untuk meminangnya. Ma’qil menjawab “hai orang celaka! Aku muliakan kamu, dan aku kawinkan kamu dengan saudaraku, tapi kamu ceraikan dia. Demi Allah, ia tidak akan kukembalikan kepada mu”. Maka turunlah ayat diatas yang melarang wali menghalangi hasrat perkawinan kedua orang tersebut.
Ketika ma’qil mendengar ayat itu, ia berkata : “ aku dengar, dan ku ta’ati Rabb-ku.” Ia memanggil orang itu dan berkata “aku kawinkan kamu kepadanya dan aku muliakan kamu.” (diriwayatkan oleh al-bukhari, abu daud, at-tirmidzi dan lain-lain, yang bersumber dari ma’qil bin yasar. Dan diriwayatkan pula oleh ibnu marduwauh dari beberapa sumber).

Ayat 233 surah al baqarah
          •                                                   •    •   •     
Dan ibu-ibu hendaklah menyusukan anak-anak mereka selama dua tahun genap Iaitu bagi orang Yang hendak menyempurnakan penyusuan itu; dan kewajipan bapa pula ialah memberi makan dan pakaian kepada ibu itu menurut cara Yang sepatutnya. tidaklah diberatkan seseorang melainkan menurut kemampuannya. janganlah menjadikan seseorang ibu itu menderita kerana anaknya, dan (jangan juga menjadikan) seseorang bapa itu menderita kerana anaknya; dan waris juga menanggung kewajipan Yang tersebut (jika si bapa tiada). kemudian jika keduanya (suami isteri mahu menghentikan penyusuan itu Dengan persetujuan (yang telah dicapai oleh) mereka sesudah berunding, maka mereka berdua tidaklah salah (melakukannya). dan jika kamu hendak beri anak-anak kamu menyusu kepada orang lain, maka tidak ada salahnya bagi kamu apabila kamu serahkan (upah) Yang kamu mahu beri itu Dengan cara Yang patut. dan bertaqwalah kamu kepada Allah, serta ketahuilah, Sesungguhnya Allah sentiasa melihat akan apa jua Yang kamu lakukan.
Hukum yang dapat diambil
Allah SWT menerangkan tentang batas waktu penyusuan itu dengan firmanNya “ (selama) dua tahun bagi siapa yang hendak menyempurnakan susuannya.
Malik berkata susuan yang mengharamkan itu sebelum ia berumur dua tahun, baik dia itu menyusui sedikit, umpamanya sekali menyusu saja atau banyak. Susuan sesudah anak itu berumur dua tahun, tidak mengharamkan lagi. Menurut riwayat Qasim dari malik, tidak mengapa sebulan atau dua bulan dari dua tahun. (tafsir Al-khazim dan majmuk At-tafasir).
Dalam tafsir syaikh abu bakar jabir al-jazairi menjelaskan isi kandungan ayat diatas sebagai berikut :
1. Keterangan batasan yang paling lama untuk penyusuan yaitu dua tahun penuh. Karena itu, lebih dari dua tahun tidak dianggap sesuai syariat.
2. Bolehnya mengambil upah dalam menyusui.
3. Kewajiban para kerabat memberi nafkah satu sama lain dalam kondisi fakir.
4. Boleh bagi sang ayah mengambil ibu susu untuk anaknya dari selain ibu kandungnya.
Ayat 234 al-baqarah
                           
Dan orang-orang Yang meninggal dunia di antara kamu, sedang mereka meninggalkan isteri-isteri hendaklah isteri-isteri itu menahan diri mereka (beridah) selama empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis masa idahnya itu maka tidak ada salahnya bagi kamu mengenai apa Yang dilakukan mereka pada dirinya menurut cara Yang baik (yang diluluskan oleh Syarak). dan (ingatlah), Allah sentiasa mengetahui Dengan mendalam akan apa jua Yang kamu lakukan.

Hukum yang dapat diambil dari ayat 234 surat al-baqarah
Adapun ‘iddah perempuan yang ditinggal suaminya sebab wafat adalah empat bulan sepuluh hari. Menurut keterangan zajaj, gunanya supaya dapat diketahui apakah dia hamil atau tidak, karena dalam waktu sepanjang itu dapat diketahui gerak-gerik anak yang berada dalam perut ibunya, dan kalau sebenarnya dia telah hamil, maka dia berpindah kepada iddah hamil, bukan iddah wafa lagi, yaitu sampai dia melahirkan anak yang ada dalam kandungannya itu. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa ‘iddah bagi wanita tersebut adalah ‘iddah wanita ditinggal mati dan ‘iddah hamil.
Para ulama berbeda pendapat tentang ‘iddah budak dan ‘iddah perempuan merdeka, ada yang mengatakan ‘iddahnya sama seperti diterangkan oleh Ashim dan ada juga yang mengatakan ‘iddahnya budak dua bulan lima hari seperti diterangkan ibnu arabi.
Dalam tafsirnya syaikh abu bakar jabir al-jazairi menjelaskan isi kandungan ayat diatas sebagai berikut :
1. Penjelasan masa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari dan as-sunnah menjelaskan bahwa masa iddahnya budak perempuan adalaah setengahnya.
2. Kewajiban al ihdad (berduka cita) bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, yaitu dengan tidak berhias, memakai wangi-wangian, tidak menampakkan diri pada para peminang dan menetap dirumah yang ditinggalkan suami untuknya, maka dia tidak boleh keluar kecuali ada darurat.
3. Haramnya meminang wanita dalam masa iddah dan bolehnya meminang dengan sindiran tanpa kata-kata yang jelas.
4. Haramnya akad nikah dengan wanita yang sedang dalam masa iddah sebelum habis masa iddahnya, karena melamar saja sudah diharamkan. Barangsiapa yang menikahi seorang wanita sebelum habis masa iddahnya, maka mereka berdua harus dipisahkan dan wanita itu tidak halal baginya setelah mereka berdua diberi putusan harus pisah.
5. Mutlaknya pengawasan Allah pada saat sunyi dan terang, dan penghindaran diri dari sebab-sebab yang menjerumuskan seorang hamba pada perbuatan yang diharamkan.
Ayat 235 al-baqarah
                          •            •         •    
Dan tidak ada salahnya bagi kamu tentang apa Yang kamu bayangkan (secara sindiran), untuk meminang perempuan (yang kematian suami dan masih Dalam idah), atau tentang kamu menyimpan Dalam hati (keinginan berkahwin Dengan mereka). Allah mengetahui Bahawa kamu akan menyebut-nyebut atau mengingati) mereka, (yang demikian itu tidaklah salah), akan tetapi janganlah kamu membuat janji Dengan mereka di Dalam sulit, selain dari menyebutkan kata-kata (secara sindiran) Yang sopan. dan janganlah kamu menetapkan Dengan bersungguh-sungguh (hendak melakukan) akad nikah sebelum habis idah Yang ditetapkan itu. dan ketahuilah Sesungguhnya Allah mengetahui apa Yang ada Dalam hati kamu, maka beringat-ingatlah kamu akan kemurkaanNya, dan ketahuilah, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyabar.
Hukum yang dapat diambil dari surah al-baqarah ayat 235
Dalam ayat ini allah menerangkan tentang kebolehan seseorang untuk meminang seseoramg yang ditalak bain oleh suaminya, sedangkan wanita tersebut dalam masa ‘iddah. Pinangan yang dilakukan harus dengan jalan sindiran atau tidak langsung kepadanya, dan itulah yang dimaksud dengan ‘aradhtum. Sebaliknya diharamkan meminang perempuan yang masih dalam masa ‘iddah dengan terus terang, karena dikahwatirkan wanita tersebut akan berdusta menerangkan ‘iddahnya sebab ia juga ingin cepat dinikahi oleh laki-laki yang meminangnya itu.
Ayat 236 al-baqarah
                           

Tidaklah kamu bersalah dan tidaklah kamu menanggung bayaran maskahwin) jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu sentuh (bercampur) Dengan mereka atau (sebelum) kamu menetapkan maskahwin untuk mereka. Walaupun demikian, hendaklah kamu memberi "Mut'ah" (pemberian saguhati) kepada mereka (yang diceraikan itu). iaitu: suami Yang senang (hendaklah memberi saguhati itu) menurut ukuran kemampuannya; dan suami Yang susah pula menurut ukuran kemampuannya, sebagai pemberian saguhati menurut Yang patut, lagi menjadi satu kewajipan atas orang-orang (yang mahu) berbuat kebaikan.
Hukum yang dapat diambil dari ayat 236
1. Penjelasan tentang hukum wanita yang dicerai sebelum dicampuri dan penyebutan jumlah maharnya, bahwasanya dia hanya mendapatkan mut’ah (pemberian) sesuai dengan kondisi ekonomi yang menceraikan, kaya atau miskin.
2. Keterangan hukum wanita yang dicerai sebelum dicampuri dan telah dikatakan padanya jumlah mahar, bahwanyasanya ia wajib
Ayat 237 surat al-baqarah
                                 •     
Dan jika kamu ceraikan mereka sebelum kamu sentuh (bercampur) Dengan mereka, padahal kamu sudah menetapkan kadar maskahwin untuk mereka, maka mereka berhak mendapat separuh dari maskahwin Yang telah kamu tetapkan itu, kecuali jika mereka memaafkannya tidak menuntutnya); atau (pihak) Yang memegang ikatan nikah itu memaafkannya (memberikan maskahwin itu Dengan sepenuhnya). dan perbuatan kamu bermaaf-maafan (halal menghalalkan) itu lebih hampir kepada taqwa. dan janganlah pula kamu lupa berbuat baik dan berbudi sesama sendiri. Sesungguhnya Allah sentiasa melihat akan apa jua Yang kamu kerjakan.
Hukum yang dapat diambil dari ayat 237
Para ulama telah berijma; tentang ayat ini, seseorang yang menalak istrinya dan telah ditetapkan maharnya tapi belum dicampuri, maka wajib ia membayar separoh mahar yang telah disebutkan dalam akad nikah. Demikian juga telah sepakat ulama menerangkan, bahwa seseorang perempuan yang suaminya wafat dan belum sempat mereka itu bersatu, wajib dibayarkan kepadanya mahar penuh dan dia menerima pusaka dari suaminya itu dan dia juga menjalankan iddah wafat. Tetapi dia tidak berhak menerima mut’ah, dan berhak menerima mahar mitsil, andaikata tidak ditetapkan berapa maharnya ketika kawin. Kecuali jika perempuan yang telah tertalak tersebut mema’afkan laki-laki tadi, tidak usah membayarnya, atau diberi ma’af oleh orang ditangannya terpegang akad nikah.







Daftar pustaka
1. Shaleh, dahlan, asbabun nuzul (latar belakang historis turunnya ayat-ayat al-qur’an, edisi kedua, cv penerbit diponegoro, bandung : 2009.
2. Abdul halim hasan, tafsir al-ahkam,cet 1, Jakarta : 2006.
3. Abu bakar jabir al-jazairi, tafsir al-qur-an al-aisar, darus sunnah press, jakarta : 2006
4. Al-qur-anul kariim









0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages