Rabu, 07 Maret 2012


BAB I
                                                           PENDAHULUAN        

A.    Latar Belakang Masalah
            Fitrah dari penciptaan manusia yaitu digariskan sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini  terbukti bahwa manusia juga di takdirkan untuk menikah atau melangsungkan perkawinan sebagaimna yang dibenarkan oleh ajaran dan hukum yang berlaku. Dimana Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang sah secara hukum islam dan negara.
            Namun sebelum perkawinan dilangsungkan ada kalanya antara calon suami dan calon istri untuk menentukan prinsip-prinsip dalam memilih pasangan yang ideal bagi keduanya, yang kemudian dilangsungkan acara lamaran atau pinangan (khitbah), guna untuk saling mengenal lebih jauh antara calon suami dan calon istri yang akan membangun sebuah keluarga yang harmonis dan sejahtera. Dan setelah dianggap layak antara kedua belah pihak untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah, maka calon suami dan istri hendak lah melangsungkan perkawinan dengan segera.

B.     Rumusan Masalah
            Adapun rumusan masalah yang akan penulis bahas dfalam makalah ini yaitu sebagai berikut :
1.      Bagaimana cara memilih jodoh yang baik demi terciptanya keluarga yang harmonis?
2.      Apa pengertian Khitbah dan bagaimanakah hukum berpacaran berdasarkan hukum perdata dan hukum pidana?
3.      Apa hukum untuk melangsungkan sebuah pernikahan (perkawinan) ?




BAB II
PEMBAHASAN
LANGKAH-LANGKAH MENUJU PERNIKAHAN
A.    Pemilihan Jodoh
      Ada beberapa prinsip yang harus dilakukan dan diperhatikan oleh seseorang yang akan melaksanakan perkawinan, dan prinsip tersebutlah yang akan menentukan bahagia atau tidaknya suatu keluarga. Dengan adanya prinsip tersebut maka sebuah keluarga akan menjadi rukun, bahagia, dan tidak pernah terjadi percekcokan dalam kelurga, meskipun ada namun tidak begitu banyak. Adapun prinsip-prinsip dalam memilih pasangan yang harus diperhatikan oleh seseorang untuk melangsungkan perkawinan adalah sebagai berikut :

1.      Prinsip pertama : Beragama
            Islam menganjurkan kita untuk memilih calon pasangan yang kuat agamanya. Apabila seseorang yang menikah dan telah memiliki nilai keagamaannya tinggi, maka pasangan kita akan terjaga dengan baik dan tidak akan melakukan ketentuan-ketentuan yang sudah dilarang dalam agamanya, namun sebaliknya apabila pasangan yang kita dapat ilmu agamanya masih sangat kurang, dan ketentuan-ketentuan yang sudah digarisbawahi dalam agama tidak dilaksanakan, maka keluarga tersebut tidak akan tercapai kepada tingkat sakinah mawaddah warahmah.

2.      Prinsip kedua : Berakhlak
            Prinsip yang kedua ini berkaitan sekali dengan prinsip yang pertama yaitu dengan prinsip beragama. Apabila seseorang sudah beragama dan sudah memiliki akhlak yang baik, pasti tidak lagi mengeluarkan kata-kata kotor atau keji kepada suaminya dan tidak akan memperolok-olok pasangannya. Lukman hakim sangat bijak ketika dia memberi nasehat kepada anaknya, beliau berkata “wahai anakku, jauhilah wanita yang berakhlak buruk, karena dia menjadikan dirimu berubah sebelum waktunya. Wahai anakku, mintalah perlindungan kepada Allah dari wanita yang berakhlak buruk dan mintalah wanita yang baik kepada-Nya”. Oleh karena itu pilihlah wanita yang berakhlak baik agar kebahagiaan akan terwujud sepanjang zaman dan akan terwujudnya suatu keluarga yang harmonis dan bahagia.

3.      Prinsip ketiga : Wanita yang masih gadis
            Islam menganjurkan kita untuk memilih wanita-wanita yang masih gadis, hal ini untuk menghindari rasa cepat bosan dan rasa tidak nyaman ketika berkumpul dengan pasangan hidup. Rasulullah SAW pernah bersabda kepada jabir bin Abdullah ketika mengetahui bahwa sahabatnya itu menikahi seorang janda “mengapa engkau tidak menikahi seorang gadis yang bisa saling bermesraan denganmu” ?. Oleh karena itu, memilih jodoh yang gadis dan yang muda-muda merupakan suatu faktor untuk mewujudkan keluarga yang kekal dan bahagia di dunia dan akhirat.

4.    Prinsip keempat : Kedekatan usia dan tingkat pendidikan
            Dalam islam diharuskan untuk memilih pasangan yang sekufu, baik dari segi tingkat pendidikannya atau dari segi tingkat umurnya. [1]
      Barang siapa yang ingin menikah maka pilihlah calon istri dan suami seperti kriteria yang sudah ditentukan dalam hadist Nabi, yang berbunyi :
عن  ابي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلي الله عليه ؤسلم قال تنكح المراة لاربع لمالها ولحسبها ولجملها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك
Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi, Beliau bersabda,” Perempuan dinikahi karena empat faktor: yaitu (1) karena harta bendanya, (2) karena kemulian leluhurnya, (3) karena kecantikannya, (4) karena kepatuhannya terhadap agama, maka utamakanlah perempuan yang taat pada agamanya, jik tidak (pasti) celaka kamu.’’ (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Basri IX: 132 no: 5090, Muslim II: 1086 no: 1466, ‘Aunul Ma’bud VI: 42 no: 2032, Ibnu Majah I: 597 no: 1858 dan Nasa’I VI: 68) [2]

B.     Khitbah (Pinangan)
      Khitbah atau pinangan merupakan ajakan kawin yang dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan dengan wasilah yang sudah dikenal oleh masyarakat luas, jika ada kecocokan, maka terjadilah kesepakatan untuk melangsungkan pernikahan.[3] Disamping sudah adanya kecocokan untuk melangsungkan pernikahan antara calon suami dan calon istri, namun kedua belah pihak perlu menyempurnakan pinangan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan pernikahan, seperti pemberian mahar, perabot rumah tangga dan lain sebagainya.[4]
      Untuk meminang seorang wanita ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh laki-laki, yaitu :
1.      Tidak ada penghalang yang dapat menghalangi pernikahan dengan yang dipinang. Yaitu seperti adanya pengahalang yang bersifat abadi (seperti: bibi, saudara sekandung atau saudara sesusuan). Dan ada yang bersifat sementara (seperti: istri orang lain, wanita yang dalam masa iddah karena cerai atau perpisahan (meninggal). Wanita-wanita tersebut diharamkan untuk dikhitbah sampai hilang sebab-sebab keharamannya.
Adapun seorang wanita yang ditinggal mati suaminya hendak dilamar, maka para ahli fikih memperbolehkan seorang laki-laki meminang dengan sindiran dan tidak boleh dengan terang-terangan, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah :
Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJŠÏù OçGôʧtã ¾ÏmÎ/ ô`ÏB Ïpt7ôÜÅz Ïä!$|¡ÏiY9$# ÷rr& óOçF^oYò2r& þÎû öNä3Å¡àÿRr& 4 zNÎ=tæ ª!$# öNä3¯Rr& £`ßgtRrãä.õtGy `Å3»s9ur žw £`èdrßÏã#uqè? #ŽÅ  HwÎ) br& (#qä9qà)s? Zwöqs% $]ùrã÷è¨B 4 Ÿwur (#qãBÌ÷ès? noyø)ãã Çy%x6ÏiZ9$# 4Ó®Lym x÷è=ö6tƒ Ü=»tFÅ3ø9$# ¼ã&s#y_r& 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ãNn=÷ètƒ $tB þÎû öNä3Å¡àÿRr& çnrâx÷n$$sù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# îqàÿxî ÒOŠÎ=ym ÇËÌÎÈ  
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.’’ (Al-Baqarah : 235)
Adapun wanita yang dalam masa iddah karena Thalak Bain seperti wanita yang di talak tiga oleh suaminya, maka diperbolehkan meminang wanita tersebut hanya dengan sindiran dan tidak diperbolehkan secara terang-terangan. Hal ini karena wanita yang dithalak bain adalah seperti wanita yang ditinggal mati oleh suaminya  karena status perkawinan mereka terputus tanpa adanya ruju’ kembali. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda kepada Fatimah Binti Qais ketika dithalak suamninya Abu Umar bin Hafsh dengan thalak  tiga. Rasulullah memerintahkan Fathimah untuk beriddah dirumha Ibnu Ummi Maktum dan bersabda kepadanya, “ketika halal bagimu, maka mintalah izin padaku.” (Hadist Shahih HR. Muslim dalam kitab Ath-Thalaq : 14800). Dan ketika masa iddah Fathimah telah selesai, Usamah bin Zaid meminang dan menikahi Fathimah.[5]

2.      Tidak sedang dalam pinangan orang lain
نهي النبي ص.م. ان يبيع بعضكم علي بيع بعض ؤ لا يخطب الر جل علي خطبة اخيه حتي يترك الخا طب قبلبه اؤ ياذن له الخاطب
Nabi SAW melarang sebagian diantara kamu menjual diatas jualan sebagian yang lain, dan tidak boleh pula seorang laki-laki melamar perempuan yang sudah dipinang saudaranya, sampai sang peminang memutuskannya terlebih dahulu, atau sang peminang mengizinkannya (melamar bekas tunangannya).” (Shahih: Sahih An-Nasa’i no:3037, Fathul Bari IX: 198 no: 5142, dan Nasa’i VI:73).[6]

Ada pula hal-hal yang diperbolehkan bagi laki-laki (peminang) dalam meminang seorang wanita, yaitu :
1.      Melihat wanita yang dipinang
2.      Boleh berbicara dengan wanita yang dipinang disertai dengan  mahram  atau salah satu dari keluarga wanita, seperti saudara laki-laki, saudara wanita atau ibu
3.      Tidak diperbolehkan bagi laki-laki yang meminang untuk berduaan dengan wanita yang dipinang tanpa adanya orang ketiga. Karena wanita yang dipinang tetap dihukumi sebagai orang lain (orang asing).[7]


C.    Hukum Pacaran Berdasarkan Hukum Pidana dan Perdata
      Penulis tidak menemukan bahan bacaan tentang pacaran berdasarkan hukum pidana dan perdata. Namun penulis hanya menemukan pacaran menurut pandangan hukum islam yang menyebutkan bahwa :
      Dalam bahasa Indonesia pacaran diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin, yang biasanya dijadikan sebagai tunangan atau kekasih. Islam sebenarnya telah meberikan batasan-batasan dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan , sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Isra’ ayat 32:
Ÿwur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ  
”Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”.

      Dengan demikian islam memiliki etika dalam pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan dan mengadakan perkenalan pula antara laki-laki dan perempuan (pacaran). Dimana tahapan umumnya dapat dijadikan sebagai berikut :
1.      Proses Ta’aruf atau perkenalan. Setelah bertemu dan tertarik satu sama lain, lalu dianjurkan untuk mengenal kepribadian, latar belakang sosial, budaya, pendidikan, keluarga, maupun agama kedua belah pihak yang telah setuju untuk melangsungkan pernikahan.
Nabi SAW memberikan tips seseorang yang hendak memilih pasangannya, yaitu mendahulukan pertimbangan keberagamaan dari pada motif kekayaan, keturunan maupun kecantikan atau ketampanan.
2.      Proses khitbah, yakni melamar.[8]

      Ada seorang bertanya kepada Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin r.a yaitu, Yang mulia Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘utsaimin r.a ditanya: “Apa pandangan agama tentang pacaran atau hubungan kasih sayang sebelum pernikahan”?
Beliau menjawab: “Adapun apabila sesudah akad nikah melakukan kasih sayang maka tidakberdosa, sedangkan melakukan kasih sayang sebelum pernikahan maka diharamkan dan tidak dibolehkan. [9]


D.    Hukum Melangsungkan Pernikahan
      Terdapat berbagai pendapat tentang hukum melaksanakan perkawinan, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Rusydi sebagai berikut :
“Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum melaksanakan perkawinan adalah sunnat. Artinya apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa. Sedangkan dikalangan Zhahiriah berpendapat bahwa hukum melaksanakan perkawinan adalah wajib, artinya apabila dilaksanakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan berdosa. Sebagian ulama Malikiah berpendapat bahwa hukum melaksanakan perkawinan adalah sunnat bagi orang-orang tertentu, wajib bagi orang-orang tertentu dan mubah bagi orang-orang tertentu tergantung kekhawatiran mereka dan keadaan mereka, sehingga timbullah hukum semacam itu.
Menurut Ibnu Rusydi perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh penafsiran terhadap ayat-ayat yang menerangkan tentang perkawinan, apakah kata-kata perintah diartikan sebagai wajib, sunnat atau mungkin mubah. Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kawin merupakan wajib bagi sebagian dan mubah bagi orang lain disebabkan oleh kemaslahatan pada diri seseorang. Qias seperti inilah yang disebut Qias Mursal, artinya suatu qias yang tidak mempunyai dasar penyandaran dan kebanyakan para ulama mengingkari qias ini dan dalam mazhab Maliki qias ini masih tetap dipegang.
Ulama Syafi’i mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, disamping ada yang sunat, wajib, haram dan makruh. Keadaan-keadaan tersebutlah yang mempengaruhi perubahan hukum dalam perkawinan. Adapun penyebab-penyebab perubahan hukum tersebut berdasarkan penjelasan sebaga berikut: [10]
1.      Hukum perkawinan wajib
            Wajib[11] hukumnya bagi seseorang yang sudah mempunyai kemampuan baik dari segi fisik, pendapatan ekonomi dan nafsu sudah memuncak untuk melangsungkan perkawinan apabila orang tersebut tidak sanggup lagi menahan nafsu seksual dan memiliki libido seksual yang tinggi. Oleh karena itu dikhawatirkan akan melakukan perzinahan, dan perzinahan sangat dilarang dalam islam. Adapun tujuan islam mewajibkan melangsungkan perkawinan kepada orang tersebut agar jelas keturunannya, seandainya tidak melangsungkan perkawinan dan nafsu sudah mendesak, namun tidak menikah dan akhirnya berzina, sehingga membuat keturunan yang tidak jelas.

2.      Hukum perkawinan sunnat
            Hukum nikah menjadi sunnat ketika orang yang hendak melangsungkan perkawinan sudah mempunyai kemampuan dan kemapuan untuk melangsungkan perkawinan baik dari segi ekonomi, kemampuan untuk memberi nafkah kepada istrinya dan sudah layak untuk kawin. Namun kalau tidak melangsungkan perkawinan maka dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melangsungkan perkawinan baginya menjadi sunnat, artinya apabila melaksanakan perkawinan mendapatkan pahala dan apabila meninggalkan tidak mendapat dosa.[12]

3.      Hukum perkawinan haram
            Hukum perkawinan menjadi haram apabila dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai kemampuan, baik dari segi ekonominya maupun dari segi fisiknya, dan tidak mempunya keinginan yang kuat untuk melangsungkan perkawinan dan apabila melangsungkan perkawinan akan mengakibatkan istrinya jadi terlantar. Oleh karena itu hukum perkawinan baginya menjadi haram, karena akan membawa kemudharatan bagi istrinya. Dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 195 melarang orang melakukan hal yang akan mendatangkan kerusakan :
(#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# Ÿwur (#qà)ù=è? ö/ä3ƒÏ÷ƒr'Î/ n<Î) Ïps3è=ök­J9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ  

1 komentar:

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages