Jumat, 07 Oktober 2011

Kata pengantar
Segala puji bagi Allah yang telah memberkan pencerahan kepada penulis untuk menulis sebuah makalah dengan judul kafaah dalam perkawinan. Sungguh takkan selesai masalah ini tanpa kehendak dari Allah.
Salam dan sejahtera kepada baginda Rasulullah SAW beserta keluarga dan seluruh para sahabat yang telah berpartisipasi dalam membawa islam ini dari alam jahiliah kepada alam islamiah dan dari alam yang tidak berpengetahuan kepada alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Beliau adalah orang yang paling berjasa dalam membawa islam ini. Dengan islamlah segalanya akan teratur dan tertata dengan baik dari segala aturan, baik aturan ibadah, mua’amalah, siayasah dan dalam hal al-syakhshiyah.
Penulis sangat berterima kasih kepada dosen pembimbing yang suda bersusah payah dalam membimbing penulis sehingga tulisan yang berjudul kafaah dalam perkawinan dapat terselesaikan. Tulisan ini tidak luput daripada kekurangan dan kekhilafan dalam penulisannya, baik dari segi penyusunan kata-katanya, dari pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ulama yang barangkali tidak begitu lengkap. Oleh sebab itu penulis sangat memerlukan masukan-masukan dan kritikan-kritikan yang produktif dari para pembaca, sehingga tulisan ini lengkap dan sistematis.
Demikianlah semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca dan penambahan daftar pustaka bagi penyusunan-penyusunan tulisan yang lain. Akhirnya penulis mengucapkan wabillahi taufiq walhidayah. wassalam


Penulis

Mansari
11090813
Pendahuluan
Perkawinan merupakan suatu perintah dari Allah SWT untuk membentuk keluarga yang bahagia dari dunia sampai ke akhirat kelak. Terdapat beberapa istilah dalam suatu perkawinan, antara lain adalah talak, rujuk, iddah, ila’, li’an dan kafaah. Penulisan pada kesempatan ini akan mengupas panjang lebar masalah kafaah. Mulai dari pengertian, pendapat ulama, hak-hak dalam kafaah dan criteria-kriteria yang digunakan oleh ulama dalam masalah kafaah.
Kafaah merupakan suatu hal dalam perkawinan yang terjadi sebelum akad nikah dilaksanakan. Terjadi perbedaan pendapat ulama dalam masalah kafaah ini, ada yang megatakan kafaah merupakan syarat perkawinan dengan beralasan pada hadis nabi yang diriwayatkan oleh al-dar Quthniy yang dianggap lemah oleh kebanyakan ulama yang artinya “janganlah kamu mengawinkan perempuan kecuali dari yang sekufu dan jangan mereka dikawinkan kecuali dari walinya”. Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa pekawinan tidak sah apabila dilaksanakan oleh laki-laki dan perempuan yang tidak sekufu dengannya. Ulama yang mengatakan kafaah syarat dalam perkawinan adalah imam ahmad.
Sementara ada satu pendapat lagi yang mengatakan bahwa kafaah merupakan sebagai pelengkap dari perkawinan. Perkawinan tetap sah apabila telah terpenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah ditentukan dalam perkawinan meskipun calon pengantin tersebut tidak kafaah atau tidak tidak setara/sekufu, baik dari segi keturunan, ekonomi, profesi, kekayaan, kemerdekaan diri, dan kualitas keberagamaannya maupun kebangsaannya. Criteria utama yang digunakan dalam masalah kafaah adalah keberagaman, bahkan menurut ulama malikiah hanya keberagamaanlah yang dapat dijadikan kafaah. Dalil yang digunakan oleh ulama yang mengatakan kafaah bukan syarat perkawinan adalah :
انّ أكر مكم عند ا الله أتقا كم
Artinya:
“Yang paling mulia diantaramu disisi Allah ialah yang paling bertakwa diantaranya”
Perempuan mempunyai hak penentuan kafaah, karena perempuanlah yang akan menikah. Perempuan dapat menolak walinya apabila wali menikahkannya dengan orang yang tidak kafaah dengannya. Adapun yang dijadikan standar kafaah itu adalah status social perempuan, karena dialah yang akan dipinang oleh laki-laki. Laki-laki yang mengawininya paling tidak sederajat dengan perempuan, seandainya lebih tidak menjadi halangan untuk melangsungkan perkawinan atas dasar persetujuan perempuan tadi.
















Kafaah
Definisi kafaah
Kafaah menurut bahasa berarti setara, seimbang atau keserasian/kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding. Menurut istilah kafaah adalah keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kafaah merupakan persesuaian antara suami dan istri dalam suatu pernikahan baik dari segi status social, akhlak, serta kekayaan dan lain sebagainya. Keseimbangan utama yang sangat diperhatikan dalam masalah kafaah adalah keseimbangan dalam agama yaitu dalam hal akhlak dan moral. Hal ini harus diperhatikan, karena dengan nilai-nilai agama dan moral akan membentuk atau akan membawa kepada tujuan pernikahan yaitu terciptanya keluarga sakinah mawaddah warahmah (SAMARA).
Kafaah juga dapat dijadikan tolak ukur dalam masyarakat dan merupakan harga diri dan gengsi dalam suatu keluarga. Keluarga merasa harga dirinya jatuh bila anak perempuannya menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu atau dengan laki-laki yang lebih rendah status sosialnya.

Pendapat ulama tentang kafaah dalam pernikahan
Kedudukan kafaah dalam pernikahan terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Menurut ulama syafi’iyah, malikiah dan hanafiah bahwa kafaah dalam pernikahan bukan salah satu syarat dari pernikahan, pernikahan akan tetap sah apabila tidak terpenuhi kafaah (persesuain ) tersebut. Mereka mengambil dalil dari firman Allah :
انّ أكر مكم عند ا الله أتقا كم
Artinya :
“Yang paling mulia disisi diantaramu disisi Allah ialah yang paling bertakwa diantaramu”.
Inilah alasan yang digunakan oleh para ulama syafi’I, maliki, dan hanafi. Menurut mereka takwalah yang dapat mebedakan antara satu orang dengan orang lain. Sedangkan menurut imam ahmad bin hambal atau imam hambali, ada dua riwayat tentang pendapat beliau. Riwayat pertama mengatakan bahwa kafaah merupakan tidak termasuk syarat dan rukun pernikahan dengan beralasan seperti firman Allah di atas. Sedangkan riwayat yang kedua mengatakan bahwa kafaah merupakan salah satu syarat sahnya pernikahan, artinya seorang laki-laki tidak sah menikahi seorang perempuan kalau tidak sekufu, begitu juga dengan perempuan tidak sah menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu dengannya. Dalil yang mereka gunakan adalah sepotong hadis hadis nabi yang diriwayatkan oleh al-Dar Quthni yang dianggap lemah oleh kebanyakan ulama yang bunyinya :
لآ تنكحوا اانساء الأّ من ا لأكفا ء ؤ لأ تز ؤ جؤ هنّ ألأ من الأ ولئاء
Artinya :
Janganlah kamu mengawinkan perempuan kecuali dari yang sekufu dan jangan mereka dikawinkan kecuali dari walinya.
Dari hadis diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan tidak sah kalau tidak sekufu. Namun hadis ini menurut para ulama adalah hadis dhaif, dan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Ulama mengharuskan pernikahan itu didasarkan pada persetujuan perempuan. Perempuan yang dinikahkan oleh walinya dengan laki-laki yang tidak sekufu dengannya, maka perempuan tersebut dapat menyampaikan keberatannya dan boleh tidak menikah dengan laki-laki tersebut. Seandainya salah satu pihak mengatakan laki-laki tersebut sudah memenuhi criteria kafaah dan di lain pihak mengatakan tidak, maka hal tersebut harus diselesaikan oleh pihak ketika yaitu peradilan.
Kriteria kafaah menurut para ulama
Jumhur ulama berbeda pendapat dalam menentukan criteria kafaah ini, seperti yang telah diuraikan oleh al-jaziry sebagai berikut :
Menurut ulama hanafiah yang menjadi dasar kafaah adalah sebagai berikut :
1. Nasab atau keturunan
2. Islam
3. Hirfah (profesi)
4. Kemerdekaan dirinya,
5. Diyanah atau tingkat kualitas keberagamaannya dalam islam, dan
6. kekayaan
menurut ulama malikiah yang menjadi criteria kafaah hanyalah diyanah atau kualitas keberagamaannya dan bebas dari cacat fisisk. Sedangkan menurut ulama syafi’iyah yang menjadi criteria kafaah itu adalah sebagai berikut :
1. kebangsaan atau nasab
2. kualitas keberagamaan
3. kemerdekaan diri
4. usaha atau profesi
menurut ulama hanabilah yang menjadi criteria kafaah itu adalah sebagai berikut :
1. kualitas keberagamaan
2. usaha atau profesi
3. kekayaan
4. kemerdekaan diri, dan
5. kebangsaan
dari criteria-kriteria diatas dapat disimpulkan bahwa ulama sepakat tentang criteria utama dalam kafaah adalah agama atau diyanahnya, bukan pada kekayaan, status social, dan profesi. Bahkan ulama malikiah diniyah inilah yang dijadikan sebagai criteria kafaah. Kesepakatan tersebut didasarkan pada firman Allah yang disebutkan diatas juga berdalil dengan firman Allah dalam surat as-sajdah ayat 18 :
         
(jika demikian halnya) maka Adakah orang Yang beriman sama seperti orang Yang fasik? mereka tidaklah sama (dalam menerima balasan).
Ulama-ulama yang sepakat mengatakan criteria utama kafaah diniyah tidak menempatkan kafaah sebagai syarat atau rukun dalam suatu pernikahan. Kafaah ini hanyalah keutamaan bila dibandingkan dengan yang lain. Dengan demikian seorang wali harus menikahi anaknya, meskipun tidak setara antara calon suami dan istri. Perbedaan kafaah tidak dapat dijadikan alasan oleh wali untuk tidak menikahi anaknya kepada suami dan tidak boleh beralih kepada wali hakim.

Hak atas kafaah
Kafaah dalam pernikahan adalah hak perempuan dan para wali ashabahnya. Mereka sama-sama mempunyai hak dalam menentukan kafaah. Salah satu pihak mengatakan sudah setara sementara yang lain tidak maka pihak yang lain tersebut dapat mencegah pernikahan tersebut.
Wali yang berhak menolak akad nikah apabila tidak terpenuhi kafaah adalah wali ashabah yang dekat. Sedangkan wali yang jauh hubungan nasab dengan perempuan mempunyai hak pencegahan pernikahan karena tidak sekufu apabila wali yang dekat tidak ada.
Menurut pendapat abu hanifah dan Muhammad apabila seorang perempuan mempunyai beberapa saudara, sebagian saudara mengatakan sekufu dan sebagian lagi mengatakan tidak sekufu, maka yang dapat diterima adalah pendapat mereka yang mengatakan setuju. Kerelaan sebagian orang dianggap kerelaan sebagian yang lain, karena hak itu terbukti untuk mereka semua. Sementara menurut Abu yusuf dan Zafar berpendapat bahwa kerelaan salah satu pihak tidak menggugurkan yang lainnya, karena kesetaraan itu hak bagi mereka semua.


















Daftar pustaka

 Abd. Rahman ghazaly, fiqh munakahat, kencana media prada, Jakarta : 2003.
 Abdul majid Mahmud mathlub, panduan hukum keluarga sakinah, era intermedia, cet pertama, Solo : 2005.
 Amir syarifuddin, hukum perkawinan islam di Indonesia (antara fiqh munakahat dan undang-undang perkawinan), prenada media, cet 1, Jakarta : 2006.

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages