Senin, 29 September 2025


 

Aceh Besar, 30 September 2025 – Meunasah Gampong Lam Lumpu, Kabupaten Aceh Besar, menjadi pusat kegiatan pengabdian masyarakat melalui acara penguatan kapasitas aparatur gampong dalam penyelesaian perkara melalui peradilan adat. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Program Studi Hukum Keluarga Universitas Iskandarmuda Banda Aceh (UNIDA) dengan menghadirkan narasumber utama Dr. Mansari, S.HI., M.H,  dan turut melibatkan dosen dari STAI Pante Kulu serta Universitas Ubudiyah Indonesia.

Acara yang diikuti hampir 50 peserta ini melibatkan berbagai unsur masyarakat, mulai dari aparatur gampong, tokoh pemuda, tokoh perempuan, hingga pendamping desa. Kegiatan ini menjadi wadah penting bagi aparatur dalam memahami peran dan kewenangan penyelesaian perkara secara adat, sekaligus memperkuat nilai-nilai kearifan lokal di tengah masyarakat.

Selain itu, kegiatan ini juga ditandai dengan penandatanganan Implemented Agreement antara Prodi Hukum Keluarga Universitas Iskandarmuda dengan Gampong Lam Lumpu. Kesepakatan tersebut menjadi dasar kolaborasi dan sinergi ke depan dalam mendukung pengembangan kapasitas aparatur serta penguatan kelembagaan adat di tingkat gampong.

Keuchik Gampong Lam Lumpu, Fachri Johan, menyampaikan kegiatan ini sangat bermanfaat bagi aparatur gampong.

“Melalui kegiatan ini, aparatur gampong memperoleh ilmu dan pengalaman baru tentang penyelesaian perkara adat serta regulasi baru yang mengaturnya. Pemahaman ini penting agar setiap persoalan di masyarakat dapat ditangani secara bijak dan tetap berpijak pada nilai-nilai adat yang berlaku,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Program Studi Hukum Keluarga Universitas Iskandarmuda, Rizkal, S.HI., M.H, menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk nyata sinergi kampus dengan masyarakat.

“Kegiatan pengabdian ini tidak hanya memberikan wawasan teoritis, tetapi juga praktik penyelesaian perkara yang sesuai dengan kearifan lokal. Implemented Agreement yang ditandatangani hari ini menjadi momentum awal untuk memperkuat kerja sama akademisi dengan gampong, sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara berkelanjutan,” ungkap Rizkal.

Narasumber kegiatan, Dr. Mansari, S.HI., M.H, menekankan bahwa penyelesaian perkara melalui peradilan adat perlu dipahami bukan hanya sebagai mekanisme hukum, tetapi juga sebagai sarana menjaga persaudaraan.

“Adat memiliki nilai luhur yang menjadi pedoman masyarakat Aceh sejak dahulu. Melalui penyelesaian secara adat, maka aparatur gampong dapat menegakkan keadilan sekaligus menjaga ikatan sosial yang harmonis di tengah-tengah masyarakat,” tutur Dr. Mansari dalam pemaparannya.

Ketua Panitia, Erha Saufan Hadana, S.HI., M.Ag dan Via Nurjannah, S.HI., M.Ag menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang telah mendukung terlaksananya kegiatan ini.

“Terima kasih kami sampaikan kepada Prodi Hukum Keluarga Universitas Iskandarmuda, pihak gampong, serta seluruh peserta. Tanpa kerja sama dan dukungan semua pihak, kegiatan ini tidak akan berjalan sukses. Semoga ilmu yang diperoleh menjadi bekal bagi aparatur dalam melaksanakan tugas sehari-hari,” ujarnya.

Kegiatan penguatan kapasitas ini tidak hanya memperkaya wawasan aparatur gampong, tetapi juga membuka jalan bagi kolaborasi jangka panjang antara akademisi dan masyarakat. Dengan adanya kesepakatan kerja sama, Gampong Lam Lumpu diharapkan menjadi contoh penerapan peradilan adat yang kuat, adil, dan selaras dengan nilai-nilai kearifan lokal Aceh.



Kamis, 11 September 2025

Asas in dubio pro reo merupakan prinsip penting dalam hukum pidana yang mengajarkan bahwa ketika hakim berada dalam keadaan ragu terhadap kesalahan terdakwa, maka keraguan tersebut harus diartikan untuk kepentingan terdakwa. Prinsip ini lahir dari pemikiran bahwa kebebasan seseorang lebih penting dijaga daripada risiko menghukum orang yang belum tentu bersalah. Dengan kata lain, asas ini menempatkan asas keadilan dan kepastian hukum secara seimbang. Di banyak negara, termasuk Indonesia, asas ini menjadi salah satu pilar perlindungan hak asasi manusia di bidang peradilan pidana. Hakim yang mengabaikan asas ini dapat berisiko melanggar hak konstitusional terdakwa. Oleh karena itu, asas in dubio pro reo menjadi benteng terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan kehakiman.

Secara filosofis, asas ini lahir dari pandangan moral bahwa menghukum orang yang tidak bersalah merupakan ketidakadilan yang lebih berat daripada membebaskan orang yang bersalah. Dalam praktiknya, asas ini menuntut hakim agar benar-benar teliti dalam menilai alat bukti dan keterangan saksi sebelum menjatuhkan putusan. Jika bukti yang ada tidak cukup kuat, maka putusan harus berpihak pada terdakwa, bukan sebaliknya. Prinsip ini bukan hanya sebuah aturan teknis, melainkan juga cermin integritas hakim dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, asas in dubio pro reo menegaskan bahwa pengadilan harus menjadi arena pencarian kebenaran yang berkeadilan, bukan sekadar menghukum. Pandangan ini juga mengingatkan hakim agar tidak tergesa-gesa dalam menjatuhkan vonis.

Dalam konteks hukum positif Indonesia, asas in dubio pro reo tidak tertulis secara eksplisit dalam KUHP, tetapi melekat dalam prinsip-prinsip peradilan yang adil (fair trial). Putusan Mahkamah Agung beberapa kali mengutip asas ini sebagai pedoman dalam memutus perkara pidana. Oleh sebab itu, asas ini bersifat universal, melintasi batas sistem hukum dan budaya. Di tingkat pengadilan, penerapan asas ini tercermin dalam putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum ketika bukti tidak cukup kuat. Dengan begitu, asas ini tidak hanya menjadi teori, tetapi juga panduan praktis bagi hakim. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan substansial lebih diutamakan daripada sekadar keadilan formal.

Jika dikaitkan dengan hukum Islam, prinsip serupa sebenarnya telah dikenal dalam kaidah fikih. Salah satu kaidah yang paling relevan adalah “al-yaqin la yazulu bisy-syak” yang berarti keyakinan tidak hilang karena keraguan. Dalam konteks peradilan pidana Islam, kaidah ini mengharuskan hakim untuk hanya menghukum apabila terdapat bukti yang jelas dan meyakinkan. Nabi Muhammad SAW sendiri dalam beberapa hadis menekankan agar hakim menghindari menjatuhkan hukuman hudud apabila terdapat unsur keraguan. Hal ini menunjukkan bahwa Islam mendahulukan perlindungan hak asasi manusia daripada menghukum seseorang dengan bukti yang belum pasti. Prinsip ini secara substansial sejalan dengan in dubio pro reo.

Dalam sistem peradilan Islam, para fuqaha menekankan kehati-hatian hakim dalam memutus perkara pidana, terutama yang menyangkut hukuman berat seperti hudud atau qishash. Imam al-Syafi’i, misalnya, menyatakan bahwa jika ada dua kemungkinan dalam suatu perkara pidana—satu memberatkan dan satu meringankan—maka hakim wajib mengambil yang meringankan. Pendekatan ini menunjukkan bahwa hukum Islam mengutamakan aspek pencegahan ketidakadilan daripada penerapan hukuman yang berpotensi keliru. Prinsip ini juga menjaga integritas lembaga peradilan dan mengurangi risiko kriminalisasi orang yang tidak bersalah. Dengan kata lain, asas kehati-hatian dalam hukum Islam adalah bentuk nyata dari perlindungan terhadap terdakwa. Praktik ini mencerminkan keselarasan antara prinsip in dubio pro reo dengan nilai-nilai syariah.

Dengan demikian, baik dalam sistem hukum positif maupun hukum Islam, asas in dubio pro reo berfungsi sebagai pagar etis dan normatif bagi hakim. Prinsip ini memastikan bahwa tujuan hukum untuk mencapai keadilan substantif dapat tercapai dengan tetap melindungi hak terdakwa. Dalam konteks Indonesia, penerapan asas ini menjadi penting karena negara mengakui nilai-nilai hukum Islam yang hidup di masyarakat. Harmonisasi kedua sistem ini dapat memperkuat legitimasi putusan pengadilan, khususnya di daerah yang menerapkan hukum Islam seperti Aceh. Selain itu, penerapan asas ini juga mendorong terciptanya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Dengan asas ini, masyarakat dapat melihat bahwa pengadilan bukan hanya lembaga penghukum, tetapi juga penjaga keadilan dan perlindungan bagi manusia. 


Rabu, 10 September 2025

Dalam tradisi hukum, dikenal konsep judge-made law yang merujuk pada peran hakim sebagai pembentuk hukum melalui putusan-putusan pengadilan. Hakim tidak hanya berfungsi sebagai “corong undang-undang” yang menerapkan teks secara mekanis, tetapi juga sebagai penafsir dan pengembang hukum sesuai konteks sosial yang dihadapi. Di Indonesia, meskipun sistem hukum menganut tradisi civil law, peran hakim tetap penting dalam mengisi kekosongan atau ketidakjelasan norma yang ada. Melalui putusan, hakim menciptakan kaidah baru yang menjadi pedoman bagi perkara sejenis di masa mendatang. Hal ini menunjukkan bahwa hakim memiliki fungsi kreatif selain fungsi yudisialnya. Dengan demikian, judge-made law memperlihatkan dinamika hukum yang hidup mengikuti perkembangan masyarakat.

Peran hakim sebagai pembentuk hukum dapat terlihat saat undang-undang tidak mengatur secara rinci suatu persoalan atau menimbulkan multitafsir. Dalam situasi seperti ini, hakim harus menggunakan metode penafsiran, asas hukum, dan doktrin untuk menemukan keadilan substantif. Proses ini menghasilkan yurisprudensi, yakni putusan pengadilan yang bernilai preseden dan menjadi sumber hukum tidak tertulis. Masyarakat dan praktisi hukum kemudian menjadikan putusan tersebut sebagai acuan untuk menyelesaikan kasus serupa. Dengan kata lain, hakim tidak hanya menegakkan hukum tetapi juga memperluas dan memperkaya hukum. Ini adalah bentuk nyata bahwa judge-made law berakar pada kebutuhan praktis masyarakat atas kepastian hukum.

Dalam perspektif sosiologi hukum, judge-made law muncul karena hukum positif kadangkalanya tidak mampu mengantisipasi seluruh peristiwa sosial. Kehidupan masyarakat terus berubah sehingga norma tertulis memerlukan “penyesuaian” agar relevan dengan situasi aktual. Hakim, sebagai pihak yang langsung menangani sengketa nyata (in concreto), memiliki akses untuk memahami konteks sosial dan dampak dari keputusannya. Oleh karena itu, putusan hakim sering menmberika.nilai-nilai baru yang sedang berkembang di masyarakat. Proses ini memperlihatkan bahwa hakim menjadi penengah antara norma tertulis dan realitas sosial. Dengan kata lain, hakim berperan sebagai penghubung antara hukum yang statis dan masyarakat yang dinamis.

Contoh nyata peran hakim sebagai pembentuk hukum dapat dilihat dalam kasus-kasus perdata dan pidana di Indonesia yang belum diatur secara komprehensif. Misalnya, dalam kasus pembagian harta bersama antara pasangan suami dan istri yang tidak mengatur bila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami dan istri. KHI hanya mengatur bila terjadi perceraian maka setengah harta bersama untuk duda dan setengah untuk janda. Kemudian ada hakim yang memutuskan dengan porsi 1/3 untuk suami dan 3/4 untuk istri. Putusan-putusan semacam ini kemudian menjadi yurisprudensi yang diikuti oleh pengadilan tingkat lebih rendah. Ini menunjukkan bagaimana kreativitas hakim menghasilkan norma baru yang tidak sekadar menafsirkan undang-undang. Pada titik ini, judge-made law berperan sebagai pelengkap kelemahan legislasi. Sehingga masyarakat memperoleh kepastian hukum dari putusan yang konsisten dan berulang.

Meski demikian, peran hakim sebagai pembentuk hukum sering menuai perdebatan. Sebagian pihak menganggap hakim tidak memiliki legitimasi untuk menciptakan hukum karena kewenangan legislasi berada di tangan lembaga legislatif. Namun, dalam praktiknya, putusan hakim menjadi kebutuhan mendesak untuk menjawab masalah hukum yang tidak terjawab oleh undang-undang. Hal ini penting untuk menjaga fungsi peradilan sebagai penjaga keadilan substantif, bukan hanya kepastian formal. Dengan judge-made law, hukum menjadi lebih adaptif terhadap perkembangan zaman tanpa harus menunggu proses legislasi yang panjang. Oleh karena itu, hakim dalam konteks ini dipandang sebagai penjaga dan sekaligus pembaru hukum.

Hakim sebagai judge-made law memperlihatkan bahwa hukum bukan semata-mata produk legislatif, tetapi juga hasil konstruksi yudisial. Peran kreatif hakim memastikan bahwa hukum tidak kehilangan relevansinya di tengah dinamika sosial yang cepat. Yurisprudensi yang lahir dari putusan pengadilan memperkaya sistem hukum nasional dengan norma-norma baru yang lebih responsif. Kontribusi ini juga memperkuat fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial dan perlindungan hak masyarakat. Dengan demikian, hakim tidak hanya menjadi pelaksana hukum tetapi juga pembentuk arah perkembangan hukum. Konsep judge-made law menunjukkan pentingnya keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan dalam setiap putusan.


Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages