Sabtu, 31 Maret 2018


Buku yang berjudul Restotatif Justice Pergeseran Orientasi Keadilan dalam Penanganan Kasus Anak ingin melihat terhadap praktek restoratif justice dan diversi dalam menangani kasus anak yang berkonflik dengan hukum di Aceh. Meskipun istilahnya baru namun substansi dari kedua konsep tersebut telah dilaksanakan di Aceh melalui peradilan adat. Istilah restoratif justice dan diversi baru diperkenalkan dalam Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Masyarakat aceh sering menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dalam kehidupannya dengan melibatkan berbagai pihak yang terlibat, dalam hal ini adalah pihak pelaku dan korban. Keduanya dipertemukan untuk mencarikan solusi yang tepat untuk mengakhiri persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Begitu juga konsep restoratif justice yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 di mana para pihak baik pelaku maupun korban dan pihak-pihak lainnya ikut dilibatkan.
Selanjutnya konsep diversi adalah pengalihan dari proses peradilan formal kepada non formal. Hal yang sama juga diberlakukan dalam konteks penyelesaian kasus pada masyarakat Aceh yang selalu ingin menghindari dari proses peradilan formal. Bahkan ada Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat Istiadat yang memberikan peluang kepada aparatur gampong atau tokoh adat untuk menyelesaikannya.
Hal yang membedakan dalam UU SPPA adalah hanya diberlakukan kepada anak-anak yang diduga melakukan tindak pidana. Sementara penyelesaian kasus dalam masyarakat Aceh, jika masih digolongkan tindak pidana ringan dapat dimungkinkan diselesaikan di luar pengadilan. Baik dilakukan oleh orang dewasa maupun anak-anak.
Delapan belas kasus tersebut adalah, perselisihan dalam rumah tangga; sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh; perselisihan antar warga; khalwat meusum; perselisihan tentang hak milik; pencurian dalam keluarga (pencurian ringan); perselisihan harta sehareukat; pencurian ringan; pencurian ternak peliharaan; pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan; persengketaan di laut persengketaan di pasar; penganiayaan ringan; pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat); pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik; pencemaran lingkungan (skala ringan); ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.

Keadilan yang diinginkan dalam restoratif justice adalah keadilan pemulihan bukan pembalasan. Anak yang diduga melakukan tindak pidana tidak langsung diberikan penghukuman, akan tetapi perlu adanya pembinaan. Kalau dalam system peradilan pidana lebih mengedepankan keadilan formal procedural, maka dalam keadilan restoratif korban tetap diberikan kesempatan untuk bertemu serta bertanggungjawab kepada korban yang mengalami kerugian akibat dari perbuatan pelaku.
Secara keseluruhan buku RESTORATIF JUSTICE Pergeseran Orientasi Keadilan dalam Penanganan Kasus Anak menguraikan tentang pola penanganan kasus anak yang berkonflik dengan hokum yang dilakukan berdasarkan UU SPPA serta memadukannya dengan pola penyelesaian kasus yang diselesaikan oleh Masyarakat Aceh. Semoga kehadiran buku ini dapat berguna bagi khalayak ramai yang ingi mengkaji tentang penyelesaian kasus melalui peradilan adat aceh, khususnya tentang anak. Dalam buku ini juga menjelesakan hubungan antara restoratif justice dan diversi dalam penanganan kasus dalam kehidupan masyarakat aceh.
Buku tersebut diterbitkan oleh Zhahir Publishing Yogyakarta, Februari 2018. 

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages