BAB SATU
PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan
yang sangat tercela, terkutuk dan sangat dibenci oleh sebagian besar
masyarakat, tidak hanya oleh masyarakat dan bangsa Indonesia, tapi juga oleh
masyarakat bangsa di dunia. Oleh karena itu, usaha penanggulangan dan
pemberantasan korupsi merupakan seluruh usaha bangsa di dunia internasional.
Keprihatinan dunia internasional terlihat dengan berulangkalinya masalah ini
dibicarakan di berbagai forum internasional walaupun dengan ungkapan dan
sebutan yang macam-macam.[1]
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan di
Indonesia sebagai bangsa yang besar memerangi kejahatan korupsi yang dilakukan
oleh oknum-oknum yang memiliki jabatan di pemerintahan. Sehingga dibentuklah
lembaga yang khusus untuk menangani korupsi di Indonesia yang disebut dengan
Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, akhir-akhir ini, posisi KPK mulai melemah
dikarenakan ketentuan UU yang mengatur tentang KPK yang menuntut untuk direvisi
kembali. Banyaknya penetapan tersangka terhadap koruptor yang diajukan
praperadilan, dan dimenangkan oleh pemohon sebagai bukti bahwa UU KPK sangatlah
lemah.
Kasus-kasus penetapan tersangka yang diajukan
praperadilan telah memberikan format baru dalam dunia peradilan Indonesia. Hal
ini dikarenakan diberikan perluasan terhadap objek praperadilan melebihi dari
ketentuan yang telah ditetapkan dalam KUHAP. Perubahan itu berawal dari
dikabulkannya praperadilan yang diajukan oleh Budi Gunawan terhadap penetapan
dirinya sebagai tersangka. Hakim Sarpin yang mengadili perkara tersebut
mengabulkan gugatan Budi Gunawan dengan memperluas objek praperadilan yaitu
penambahan penetapan tersangka sebagai objek peradilan.
Sebelumnya objek praperadilan terdiri dari sah
atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan. Demikianlah
ketentuan yang diatur dalam Pasal 79 KUHAP. Permohonana praperadilan dapat
dimohonkan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya bila dinilai tidak sesuai
dengan prosedur yang ditetapkan.[2]
Perluasan
objek praperadilan yang dilakukan oleh hakim Sarpin dapat memperbaharui system
hukum pidana Indonesia. Akibat, Pasal yang mengatur objek praperadilan
dijudicial review-kan kepada Mahkamah
Konstitusi. Berdasarkan pengajuan permohonan tersebut, Hakim Mahkamah
Konstitusi mengabulkan dan menyatakan bahwa penetapan tersangka menjadi salah
satu objek praperadilan berdasarkan putusan Nomor Nomor
21/PUU-XII/2014.
Dengan
dikabulkannya perluasan objek praperadilan oleh Mahkamah Konstitusi, maka
menjadi angin segar bagi para koruptor untuk mengajukan penetapan dirinya
sebagai tersangka kepada Pengadilan Negeri yang memiliki yurisdiksi untuk
mengadilinya. Akibatnya banyak koruptor yang mengajukannya dan ada yang
diterima, namun ada pula yang ditolak oleh Hakim tunggal yang mengadilinya.
Kasus praperadilan terakhir yang menyedot
perhatian publik adalah permohonan praperadilan yang dimohonkan oleh Dirjen
Pajak Hadi Poernomo. Dalam kasus Hadi Poernomo, diadili oleh hakim tunggal Haswandi
di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Berdadsarkan pemeriksaan di persidangan,
hakim memutuskan mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukannya dan
menetapkan bahwa penetapan tersangka kepada dirinya tidak sah. Alasannya adalah
penyidik yang melakukan penyidikan terhadap dirinya yakni Dadi tidak menyandang
status “Penyidik Pegawai Negeri Sipil” di Instansi asalnya yakni Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan, tetapai hanya sebagai auditor. Begitu juga dengan
penyidik KPK Ambarita, dengan diberhentikannya
secara terhormat dari Polri sejak 25 November 2014, maka status penyidik dalam
dirinya juga telah hilang sejak ia diberhentikan. Artinya, penyidikan KPK atas
HP juga tidak sah karena Penyelidik dan Penyidiknya memang tidak sah.
Berdasarkan
permasalahan di atas, maka penelitian ini menarik untuk dikaji dari aspek
yuridis yang mengatur tentang itu. Untuk itu, judul penulisan ini adalah “Suatu
Tinjauan Yuridis Terhadap Permohonan Praperadilan Hadi Poernomo”.
B. Rumusan Masalah
Untuk mengantisipasi agar
pembahasan tidak menyebar luas, kiranya pembahasan ini akan dibatasi dengan dua
formulasi pertanyaan berikut ini:
1.
Apa dasar pertimbangan hakim
mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh Hadi Poernomo?
2.
Bagaimanakan tinjauan
yuridis terhadap dikabulkannya permohonan praperadilan yang diajukan oleh Hadi Poernomo?
C. Tujuan
dan Manfaat Penulisan
Penulisan ini memiliki tujuan yang
hendak dicapai yaitu:
1. Untuk mengetahui
pertimbangan-pertimbangan yang digunakan hakim dalam mengabulkan permohonan
praperadilan yang dimohonkan oleh Hadi Poernomo.
2. Untuk mengetahui tinjauan yuridis
berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia terkait dikabulkannya
permohonan praperadilan yang diajukan oleh Hadi Poernomo.
Dari penulisan ini diharapkan
dapat memberikan manfaat dalam pengembangan pengetahuan dalam kajian ilmu hukum
di perguruan tinggi khususnya di Fakultas Hukum agar dapat memperbanyak
literature yang membahan tentang objek praperadilan. Karena masalah perluasan
objek praperadilan termasuk persoalan baru yang menggongcangkan jagat raya kajian
hukum di Fakultas Hukum. kajian mengenai itu, tentu belum banyak, karena
baru-baru diputuskan. Oleh karenanya, dengan adanya penulisan ini dapat
memberikan sumbangsih pemikiran yang dapat dijadikan referensi oleh penulis
atau peneliti lainnya mengenai objek praperadilan.
BAB DUA
DASAR-DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MENGABULKAN PERMOHONAN
PRAPERADILAN HADI POERNOMO
2.1.
Dasar Pertimbangan Hakim
Salah satu syarat foemalitas yang harus
dipenuhi dalam setiap putusan adalah adanya pertimbangan-pertimbangan hukum
oleh hakim yang mengadili perkara tersebut. ketiadaan pertimbangan hukum dalam
putusan akan berakibat fatal demi huku. Hal ini diatur dalam Pasal 197 Ayat (1)
huruf d Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan pertimbangan yang
disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang
diperoleh dari pemeriksaan di siding yang menjadi dasar penentuan kesalahan
terdakwa. Ayat (2) Pasal tersebut menyatakan kalau ketentuan tersebut tidak
dipenuhi, kecuali yang tersebut pada huruf (g), putusan batal demi hukum[3].
Oleh karenanya, hakim wajib memberikan pertimbangan-pertimbangan yang
menentukan kesalahan terdakwa supaya putusan yang diputuskan mempunyai kekuatan
hukum.
Begitu juga dengan putusan yang diputuskan oleh
hakim yang mengadili kasus Hadi Poernomo dengan perkara:
36 PID.PRAP/2015/PN.JKT yang telah memberikan
pertimbangan-pertimbangannya sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di
persidangan. Untuk memudahkan dalam mengananalisa putusan hakim tersebut,
terlebih dahulu akan diuraikan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan hakim.
Hal ini bertujuan untuk memudahkan dalam menganalisanya.
1.
Menimbang
bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang
menyatakan bahwa penetapan tersangka masuk ke dalam obyek praperadilan.
2. Menimbang bahwa KPK tidak melaksanakannya
sesuai dengan prosedur yang diatur di dalam UU KPK. Hadi ditetapkan sebagai
tersangka dalam kasus dugaan penyelahgunaan wewenang pada 21 April 2014.
Penetapan tersangka itu bertepatan dengan tanggal penerbitan Surat Perintah
Penyidikan Nomor Sprindik-17/01/04/2014.
3. Menimbang, dengan demikian, harus ada proses
penyidikan terlebih dahulu sebelum ditetapkan tersangkanya.
4. Menimbang bahwa tindakan penyelidikan yang
dilakukan Dadi Mulyadi dan penyidikan yang dilakukan Ambarita Damanik tidak
sah. Pasalnya, Dadi tidak menyandang status penyelidik pegawai negeri sipil di
instansi asalnya di Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Status Dadi
hanya sebatas sebagai auditor.
5.
Menimbang
bahwa Ambarita telah diberhentikan secara terhormat dari Polri sejak 25
November 2014. Dengan demikian, status penyidik yang sebelumnya melekat
kepadanya telah hilang sejak ia diberhentikan.
6.
Menimbang
bahwa penyidikan dan penyelidikan tidak sah, maka proses penyidikan terhadap
Hadi Poernomo dihentikan.
2.2. Landasan
Yuridis yang Digunakan Hakim
Sebelum
dianalisis lebih jauh perlu juga dijelaskan landasan-landasan yuridis yang
digunakan hakim dalam memutuskan kasus Hadi Poernomo. Melalui yuridis itulah
yang akan dianalisa putusan tersebut sesuai atau tidaknya dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sebagai Negara hukum harus menjadikan hukum
sebagai panglima dan menempatkan supremasi hukum di atas segala-galanya. Untuk
itulah, disini perlu diuraikan aspek yuridis yang dipergunakan hakim dalam
memutuskan perkara tersebut. adapun yang menjadi landasan yuridis bagi hakim
dalam memutuskan kasus tersebut adalah sebagai berikut:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa penetapan tersangka masuk ke dalam obyek
praperadilan.
2. UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Dalam dictum amar putusan hakim memutuskan :
DALAM EKSEPSI :
Menolak eksepsi Termohon untuk seluruhnya;
DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan permohonan Pra Peradilan Pemohon
untuk sebahagian;
2. Menyatakan Penyidikan yang dilakukan oleh
Termohon berkenaan dengan peristiwa pidana sebagaimana dinyatakan dalam
penetapan sebagai Tersangka terhadap diri Pemohon yang diduga melanggar Pasal 2
ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan
atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 JIS Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP adalah
tidak sah oleh karenanya penyidikan aquo tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat dan oleh karena itu di perintahkan kepada Termohon untuk menghentikan
penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan, No. Sprin DIK-17/01/04/2014
tanggal 21 April 2014;
3. Menyatakan menurut hukum tindakan Termohon
menetapkan Pemohon sebagai Tersangka yang melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal
3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 JIS Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP berdasarkan Surat Perintah
Penyidikan No. Sprin Dik-17/01/04/2014 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan
atas hukum dan oleh karenanya Penetapan Tersangka aquo tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
4. Menyatakan Penyitaan yang dilakukan Termohon
terhadap barang milik Pemohon adalah tidak sah dan oleh karenanya tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
5. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau
penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan
penetapan Tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
6. Membebankan biaya perkara kepada Termohon
sebesar NIHIL;
7. Menyatakan tidak dapat diterima tuntutan
Pemohon untuk yang lain dan selebihnya.
BAB TIGA
SUATU TINJAUAN YURIDIS BERDASARKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP KASUS HADI POERNOMO
3.1.
Analisa Yuridis Kasus Hadi Poernomo
Setelah memperhatikan
pertimbangan-pertimbangan yang digunakan hakim tunggal hakim Haswandi dalam
mengadili kasus Hadi Poernomo dengan Nomor register perkara Nomor 36 PID.PRAP/2015/PN.JKT, tim penulis berpendapat bahwa
hakim Hadi Poernomo telah menerapkan hukum secara benar. Pegangannya adalah rule
of law, dan ia hanya menerapkan aturan hukumnya yang terdapat dalam UU
kepada kasus Hadi Poernomo. Artinya ia tidak melakukan penemuan hukum terhadap
kasus tersebut.
Hal ini dapat dipahami bahwa
berbagai keputusan yang diambil hakim, telah menggunakan landasan hukum secara
cermat dan teliti. Masalah penetapan tersangka sebagai objek praperadilan
sebagaimana yang diajukan Hadi, mempunyai legalitasnya yaitu berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
Dari putusan itu, Mahkamah Konstitusi memberikan perluasan objek praperadilan
dengan menambahkan petetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Perluasan
itu dikarenakan adanya pihak yang mengajukan judicial review terhadap Pasal 77
yang mengatur tentang objek praperadilan. Dalam Pasal 77 KUHAP hanya
menyebutkan “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang:
a. Sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
b. Ganti kerugian
dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada
tingkat penyidikan atau penuntutan.
Bila diperhatikan ketentuan Pasal 77 KUHAP
yang tidak mengatur tentang penetapan tersangka sebagai objek praperadilan,
akan tetapi dengan diajukann judicial review terhadap Pasal tersebut, maka
diberikan putusan oleh MK dengan memperluasn objek praperadilan dengan
penambahan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan melalui putusan Nomor
21/PUU-XII/2014. Putusan tersebut berawal dari permohonan
praperadilan kasus Budi Gunawan yang dikabulkan oleh Hakim Sarpin. Adanya
putusan tersebut, dapat dijadikan rujukan oleh hakim-hakim lain dalam
memutuskan perkara-peraka yang sama. Karena substansi keputusan tersebut sama
kedudukannya dengan Undang-Undang yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.
Untuk itu, sangat beralasan bagi hakim Haswandi mengutip putusan tersebut
sebagai dasar dalam mengadili kasus praperadilan.
Penerapan itu
sesuai dengan asas legalitas yang terdapat dalam hukum pidana yang menyatakan
bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dipidina kecuali atas kekuatan
Undang-Undang pidana yang ada sebelum perbuatan dilakukan.[4]
Karenanya, apa yang dijadikan landasan yuridis oleh hakim memang sudah ada
ketentuan hukum yang mengaturnya.
Dalam kasus
Hadi Poernomo hakim mengabulkan permohonan praperadilan. Sehingga menyisakan
tanda tanya besar bagi pengamat hukum Indonesia. Hal ini dikarenakan, hakim
menyatakan bahwa penetapan Hadi sebagai tersangka tidak sah dikarenakan
penyidik atau penyelidik yang melakukan penyidikan terhadap kasus dirinya tidak
sah. Padahal sebelum kasus itu mencuat, sudah banyak kasus korupsi yang
dilakukan oleh penyidik yang sama, tapi tidak mempersoalkannya. Dengan
dikabulkannya praperadilan Hadi menjadi alasan bagi koruptor-koruptor lain
untuk mempersoalkan keabsahan penyidik dan penyelidik dari KPK. Sehingga boleh
jadi, koruptor lain bisa keluar dari jeratan hukum.
Tapi itulah
kelemahan UU KPK yang mengatur tentang penyidikan dan penyelidik. Pasal 43 Ayat
(1) UU Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi
Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Selanjutnya Pasal 45
Ayat (1) UU yang sama menyatakan Penyidik adalah Penyidik pada Komisi
Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi. Memperhatikan kedua ketentuan tersebut, maka dikabulkannya gugatan
praperadilan Hadi Poernomo mendapat pembenaran.
Tindakan
penyelidikan yang dilakukan Dadi Mulyadi dan penyidikan yang dilakukan Ambarita
Damanik tidak sah. Karena, Dadi tidak menyandang status penyelidik Pegawai
Negeri Sipil di instansi asalnya di Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
(BPKP). Status Dadi hanya sebatas sebagai auditor. Dengan demikian sangat
beralasan hukum bagi hakim untuk mengabulkan praperadilan Hadi Poernomo. Penyidikan
dan penyelidik adalah penyidik yang tidak sah menurut hukum yang berlaku.
Meskipun
sebagian dari putusan hakim yang telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,
tapi ada juga yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku yakni pada
point tiga amar putusan yang menentukan penyidikan terhadap Hadi Poernomo
dihentikan. Padahal dalam UU KPK tidak membenarkan penghentian penyidikan bila
telah ditetapkan sebagai tersangka. Di samping itu, putusan tersebut memutuskan
lebih dari yang dimintakan oleh pemohon (ultra petita). Hal ini sangat
bertentangan dengan hukum acara yang berlaku yang tidak boleh mengabulkan selain
yang dimintakan. Dalam kasus tersebut, pemohon hanya memintakan agar penetapan
tersangka dinyatakan tidak sah. Sebaliknya hakim mengabulkan melebihi dari itu
dengan memerintahkan menghentikan penyidikan terhadap kasus Hadi Poernomo.
Melihat
putusan yang demikian, sebenarnya KPK memiliki peluang untuk mempersoalkan
hakim Haswandi melalui Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal itu disebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah,
merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan
terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta”. Tapi nyata
belum dipersoalkan sampai saat ini.
Dengan
memperhatikan berbagai kelemahan yang dimiliki oleh UU Nomor 30 Tahun 2002
Tentang KPK dengan tidak diberikannya pengangkatan penyidikan dari POLRI, maka
jurus andalan yang harus ditempuh adalah supaya segera disahkan Peraturan
pemerintah pengganti UU (Perlu). Pengeluaran Perpu ini sangat beralasan karena
dalam keadaan darurat atau mendesak. Sehingga bila ini tidak dilakukan maka,
untuk sementara waktu tidak bisa ditangkap koruptor karena tidak memiliki
penyidik yang diangkat dan diberhentikan dari KPK. Karenanya, tindak pidana
korupsi akan semakin merajalela di Indonesia dan koruptor akan berfoya-foya.
BAB EMPAT
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan
permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa
point penting sebagai inti dari penelitian ini, yaitu:
1.
Dalam menemutuskan kasus Hadi Poernomo, hakim
tunggal Haswandi telah mempertimbangkan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa penetapan
tersangka masuk ke dalam obyek praperadilan, KPK tidak melaksanakannya sesuai dengan
prosedur yang diatur di dalam UU KPK, harus ada proses penyidikan terlebih
dahulu sebelum ditetapkan tersangkanya, tindakan penyelidikan yang dilakukan
Dadi Mulyadi dan penyidikan yang dilakukan Ambarita Damanik tidak sah, dan
pertimbangannya bahwa Ambarita telah diberhentikan secara terhormat dari Polri
sejak 25 November 2014.
2.
Setelah memperhatikan
pertimbangan-pertimbangan yang digunakan hakim tunggal hakim Haswandi dalam
mengadili kasus Hadi Poernomo dengan Nomor register perkara Nomor 36 PID.PRAP/2015/PN.JKT, tim penulis berpendapat bahwa
hakim Hadi Poernomo telah menerapkan hukum secara benar. Pegangannya adalah rule
of law, dan ia hanya menerapkan aturan hukumnya yang terdapat dalam UU
kepada kasus Hadi Poernomo. Artinya ia tidak melakukan penemuan hukum terhadap
kasus tersebut.
4.2. Saran
Dengan
memperhatikan uraian yang telah dibahas dalam bab satu hingga bab empat, maka disarankan
segerai KPK diperkuat kembali dengan merivisi ketentuan perundang-undangan yang
ada. Mengingat banyak ketentuan-ketentuan KPK masih sangat lemah, sehingga
dapat dicarikan alasan oleh kuasa hukum koruptor untuk membebaskan kliennya
dari tindak pidana korupsi. Di samping itu, perlu juga dikeluarkan peraturan
pemerintah pengganti UU agar KPK lebih kuat kembali sebelum dibentuk atau
direvisi UU KPK. Bila hal ini tidak dilakukan segera, maka akan menimbulkan
malapetaka besar dalam pembangunan bangsa mengingat merajalelanya para koruptor
yang menghisap uang Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Eddy O.S.
Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Semarang:
Erlangga, 2009.
Muladi, Barda
Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Pustaka Alumni, 2007.
M. Yahya
Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), ed. 2, Jakarta: Sinar
Grafika, 2002.
Andi Hamzah, Hukum
Acara Pidana Indonesia, Ed. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Status Penyelidik/Penyidik
Pada sesungguhnya jika diamati secara cermat
dalam Pasal 43 maupun Pasal 45 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK, putusan
praperadilan yang memenangkan HP mengandung kebenaran bersesuaian dengan UU KPK
itu sendiri, terkait dengan status Penyelidik KPK dan status Penyidik KPK yang
harus berasal dari Polri atau PPNS.
Agar lebih
jelas saya kutip ketentuan tersebut. Pasal 43 UU KPK “Penyelidik KPK adalah Penyelidik pada KPK
yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Lalu Pasal 45 UU KPK menegaskan
“Penyidik adalah Penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK.”
Harus dipahami
untuk meluruskan kesimpangsiuran tafsir yang terjadi oleh sejumlah pengamat
saat ini, cara memaknai Pasal 43 dan Pasal 45 tersebut bukan pada frasa “diangkat
dan diberhentikan” tetapi
frasa “Penyelidik/Penyidik”pada KPK…
yang harus ditafsirkan lebih awal. Sehingga tertafsir hanyalah pejabat yang
menyandang status Penyelidik/ Penyidik… dapat diangkat dan diberhentikan oleh
KPK.
Selain itu
dengan melihat ketentuan lain dalam UU KPK juga terdapat racio logis yang menguatkan kalau Penyelidik dan
Penyidik KPK harus dari Polri atau PPNS, dengan terdapatnya frasa “mereka
yang akan diangkat sebagai Penyelidik/Penyidik KPK diberhentikan sementara dari
instansi Kepolisian… (Vide: Pasal 39 ayat 3 UU KPK).
Mustahil kiranya terdapat klausula “pemberhentian sementara” kalau KPK dapat
mengangkat Penyelidik/ Penyidik independen.
Itupun memang dalam UU KPK tidak terdapat
ketentuan syarat dan tata cara pengangkatan Penyelidik/Penyidik KPK, sehingga
rujukan tentang syarat dan tata cara pengangkatan jabatan demikian harus
berdasarkan pada Perundang-Undangan di luar UU KPK. Alhasil, tafsir sistematis
Penyelidik/ Penyidik KPK harus menunjuk pada Pasal 4 dan Pasal 6 KUHAP.
Terkait
dengan adanya sejumlah pendapat yang menyatakan kalau pada dasarnya KPK
dapat mengangkat Penyidik independen berdasarkan Pasal 38 ayat 2, dalam hemat
saya “tidak
sependapat dengan argumentasi tersebut.”Sebab Pasal 38 hanya
merupakan pengecualian atas Pasal 7 ayat 2 KUHAP dalam relasinya dengan
“wewenang” Penyidik Tindak Pidana Korupsi untuk tidak berkoordinasi dan
mendapat pengawasan dari Penyidik Polri. Satu pun dalam klausulanya, tidak ada
frasa yang bisa termaknai “status Penyidik independen”, kiranya bukan dari
unsur Polri atau PPNS yang bisa diangkat oleh KPK. Sehingga dalil Pasal 38
sebagai basis “Penyidik independen” sudah pasti tertolak dengan sendirinya.
Tafsir Hukum
Satu-satunya
jalan sesuai dengan racio
logis dalam penalaran
yuridis yang dibenarkan, sehingga KPK dapat mengangkat Penyelidik dan Penyidik
independen. Yaitu, dengan kembali pada konsideran UU KPK itu sendiri. Sembari
mengikutsertakan corak tafsir hukum teleologis dan futuristik.
Tafsir teleologis
maupun futuristik sejalan dengan konsideran dalam beberapa poinnya: (a)…Pemberantasan tindak pidana korupsi perlu
ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi
telah merugikan keuangan negara.”(b) Bahwa lembaga pemerintah yang menangani
perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam
memberantas tindak pidana korupsi; (c)…Perlu dibentuk Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Maka berdasarkan tiga konsideran tersebut,
terdapat “kesepahaman” hadirnya lembaga KPK adalah lembaga independen yang
dituntut untuk bekerja secara profesional, intensif, dan
berkesinambungan. Ada terbersit harapan agar KPK menangani perkara tindak
pidana korupsi secara efektif, sebab lembaga yang ada pada saat itu (Kepolisian
dan Kejaksaan) “terkesan” tidak efektif menangani perkara tindak pidana
korupsi.
Dalam konteks demikian, secara teleologis
(tujuan) tersingkap sebuah makna “KPK dibentuk karena ada ketidakpercayaan
terhadap Kepolisian dan Kejaksaan.” Sehingga alur (tafsir) futuristiknya (ke
depannya) KPK harus bersifat independen. Termasuk, dalam perekrutan Penyelidik
dan Penyidik KPK sebenarnya tidak boleh dari unsur Kepolisian (Polri), sebab
institusi Kepolisian dari awal tidak dapat efektif menangani perkara tindak
pidana korupsi. Belum lagi, gugurnya “independensi” KPK tat kala akan melakukan
penyidikan dugaan Perkara korupsi di institusi Kepolisian jika Penyidiknya dari
Kepolisan.
Lantas, kalau demikian, lagi-lagi akan
mengemuka sebuah pertanyaan: Kenapa KPK merekrut Penyelidik dan Penyidik dari
Polri pada hal lembaga ini tidak bisa efektif dalam penanganan tindak pidana
korupsi? Jawabannya, tak ada alasan selain KPK yang sudah harus cepat bekerja
pada waktu itu, agar dapat menjalankan fungsi-fungsinya, akhirnya
penyelidik/penyidik Polri diperbantukanlah ke KPK.
Tentunya dalam
jangka penjang mau tidak mau manakala Penyelidik dan Penyidik KPK yang bersifat
independen agar memiliki legalitas, sehingga tidak ada lagi Penyelidik/
Penyidik illegal,
UU KPK harus direvisi dengan mengintegrasikan ketentuan “sahnya
Penyelidik/Penyidik independen yang dapat diangkat oleh KPK.” Dalam revisi
tersebut harus memuat syarat-syarat dan tata cara pengangkatan
Penyelidik/Penyidik independen yang akan menjalankan fungsinya masing-masing di
KPK.
Pastinya,
dibalik solusi alternatif tersebut akan muncul pertanyaaan lainnya; Kenapa
Penyelidik/Penyidik KPK tidak diatur dalam Peraturan KPK saja. Jawabannya,
tidak mungkin, sebab tidak ada “delegasi” Perundang-Undangan (UU
KPK) yang berbunyi demikian; “selanjutnya
penyelidik/penyidik KPK akan diatur melalui Peraturan KPK.”
Oleh karena itu, metode memberi legalitas
Penyelidik/Penyidik independen memang hanya dengan revisi UU KPK saja. Cuma
masalahnya, “legalitas” itu dibutuhkan sekarang, dan hanyalah Perppu bisa
mewadahinya.
Penerbitan
Perppu selalu terkait dengan alasan yang “genting” dan memaksa. Dalam hemat
Penulis hal demikian memungkinkan dengan bersandar pada beberapa alasan. Pertama, KPK bekerja dalam fungsi
penindakan korupsi sebagai “penyelamat” kerugian keuangan negara guna mencegah
hambatan pembangunan nasional. Kedua,
dengan tuntutan pekerjaan KPK, dalam kondisi faktualnya terdapat 371 perkara
korupsi yang penyelidik dan penyidiknya diangkat sendiri oleh KPK, maka perkara
tersebut bisa menimbulkan “ketidakpastian” hukum kalau Penyelidik/Penyidiknya
dipermasalahkan.
Landasan
konstitusional sehingga Perppu perlu dihadirkan “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa
Presiden dapat menerbitkan Perppu” a quo dengan syarat-syarat dalam putusan MK
Nomor: 138/ PU-VII/ 2009. Ada kebutuhan hukum mendesak, sebab kondisi
faktualnya Penyelidik/Penyidik KPK telah menjalankan fungsinya masing-masing
dalam menyelesaikan perkara korupsi sesuai dengan SOP KPK dan peraturan yang
berlaku, hanya saja karena status pejabat bersangkutan tidak sah sehingga
segala tindakan dan dokumen perkaranya juga menjadi tidak sah. Demikian pula
terdapat “kekosongan hukum” yang meniscayakan secara asali KPK membutuhkan
Penyelidik/Penyidik independen tetapi “legalitasnya” dalam UU KPK tidak diatur.
Terakhir, dalam hal penerbitan Perppu harus
ada “ketidakpastian hukum” juga menjadi prasyarat, pada dasarnya memenuhi untuk
“Perppu Penyelidik/Penyidik KPK”, sebab ketidakabsahan Penyelidik/Penyidik KPK
akan menimbulkan ketidakpastian dalam forum Praperadlan yang menguji
sah/tidaknya penetapan tersangka. Perppu harus menutup celah terjadinya
“inkonsistensi” putusan praperadilan karena efek Penyelidik/Penyidik independen
KPK yang tidak sah.
Sudah saatnya Presiden Jokowi membuktikan
janjinya akan memperkuat KPK dengan jalan penerbitan “Perppu Penyelidik dan
Penyidik KPK”. Kalau komisionernya saja bisa dikuatkan dengan Perppu,
tidak ada alasan lain Penyelidik dan Penyidik independen juga harus dikuatkan.
Sebab apalah arti Komisioner KPK kalau “Penyelidik/Penyidik independen” yang
bekerja secara totalitas, tetapi berada dalam ancaman “kelumpuhan” di
Praperadilan nantinya.
[1] Muladi, Barda
Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Pustaka Alumni,
2007), hlm. 143.
[2] M. Yahya
Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), ed. 2, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2002), hlm. 8-9.
[3] Andi Hamzah, Hukum
Acara Pidana Indonesia, Ed. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 288.
[4] Eddy O.S.
Hiariej, Asas Legalitas & Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana,
(Semarang: Erlangga, 2009), hlm. 18-19.
0 comments:
Posting Komentar