Oleh
: Mansari
Negara
Indonesia dikenal dengan bangsa yang kaya akan budaya, adat istiadat, suku,
bahasa dan agama. Di wilayah Asia Timur tidak ada negara dan bangsa yang
menandingi Indonesia dalam hal kemajemukan, baik topografis maupun sosial dan
kultural. Maka untuk merumuskan kebangsaan Indonesia, kita lebih baik mengutip
konsep Ernest Renan mengenai “apa itu bangsa”
yaitu “le desire d’etre ensemble” (keinginan untuk
bersama-sama). Berbeda dengan negara lain seperti Jepang yang merupakan
bangsa-etnis dengan kemajemukan yang sangat minim baik dalam hal ras, bahasa,
maupu kepercayaan.
Kebangsaan
Indonesia baru mulai dimantapkan secara konkrit pada tahun 1928, melalui
peristiwa nasional yang kemudian dikenal sebagai “Sumpah Pemuda”, yaitu satu
bangsa, satu tanah air, satu bahasa yakni bahasa Indonesia (Satjipto: 2009:
191). Pemuda-pemuda yang ada pada waktu itu masih berhimpun dalam wadah yang
terkotak-kotak seperti “Jong Ambon” dan “Jong Celebes”. Politik
Kolonial Belanda memang menghendaki Indonesia tidak bersatu agar memudahkan
penguasaan. Berbagai macam kategorisasi diciptakan seperti pembagian ke dalam
golongan-golongan Eropa, Timur Asing dan Pribumi, masing-masing dengan ranah
yurisdiksi yang berbeda-beda. Pembedaan serta pemisahan secara yuridis tersebut
akhirnya menimbulkan pembedaan secara sociologi juga.
Keragaman
budaya yang dimiliki bangsa Indonesia menjadi aset brillian dalam pembangunan
bangsa. Namun suatu hal yang tidak bisa dipungkiri dalam keberagaman tersebut
adalah adanya golongan yang dianggap mayoritas dan minoritas terutama sekali
dalam hal agama. Kelompok mayoritas sering kali meng-klaim dirinya sebagai
superior dan menganggap golongan minoritas sebagai inferior. Akibat pelabelan
demikian, yang superior menganggap dirinya berkuasa sementara inferior selalu
berada pada posisi yang tertindas.
Masa
otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
untuk mengatur dan mengelola daerah dengan sebesar-besarnya memberikan peluang
munculnya konflik sosial berbasis etnisitas. Dalam kaitan akses dan perebutan
sumber daya di daerah yang bersifat structural seperti potensi ekonomi dan
kekuasaan politik, manifestasi etnisitas sering menimbulkan ketegangan dan
konflik sosial di antara pihak-pihak yang berkepentingan. Provinsi Aceh
misalnya, yang mayoritasnya didominasi oleh suku Aceh, sehingga suku lain yang
ada di Aceh seperti Gayo yang jumlah minoritas merasa didiskreditkan dan
diperlakukan secara tidak adil. Akibatnya
muncullah wacana untuk membentuk Provinsi baru yakni Provinsi Aceh Leuser
Antara (ALA) agar keadilan terealisasikan. Tapi sekarang Provinsi tersebut
belum berhasil dibentuk karena masih adanya anggapan bahwa pembentukan Provinsi
baru hanya dikarenakan hasrat kepentingan penguasa untuk meraih kekuasaan.
Berpotensi
Menimbulkan Konflik
Karakter
bangasa Indonesia dapat dilihat dari segi kemajemukan masyarakat yang tersusun
oleh keragaman kelompok etnik (etnik group) atau suku bangsa beserta
tradisi budayanya. Pluralitas dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat
Indonesia bukan hanya berpeluang
menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat di masa mendatang. Potensi timbulnya
konflik sosial yang dapat mengancam sendi-sendi integrasi negara-bangsa (nation-state)
pun suatu yang tidak bisa dielakkan. Hal tersebut tidaklah mustahil terjadi
bila dinamika kemajemukan sosial budaya itu tidak dapat dikelola secara
professional dan bertanggungjawab.
Sebagai
Negara kepulauan yang masyarakatnya bersifat majemuk (plural society),
pemerintah dan masyarakat Indonesia harus belajar banyak dari sejarah
perjalanannya sendiri tentang bagaimana mengelola kemajemukan tersebut agar
menjadi modal sosial pembangunan bangsa. Sebagai unsur pembentuk system sosial
masyarakat majemuk, kelompok-kelompok etnik memiliki kebudayaan, batas-batas
sosial, dan sejumlah atribut atau ciri-ciri budaya yang menandai identitas dan
eksistensi mereka. Kebudayaan yang dimiliki kelompok etnik menjadi pedoman
kehidupan mereka dan atribut-atribut budaya yang ada, seperti adat istiadat,
tradisi, bahasa, kesenian, agama dan paham keagamaan, kesamaan leluhur, asal
usul daerah, sejarah sosial, pakaian tradisional, atau aliran ideologi politik
menjadi pembeda suatu kelompok etnik dari kelompok etnik yang lain. Kebudayaan dan
atribut sosial budaya sebagai penanda identitas kelompok etnik memiliki sifat
stabil, konsistensi dan bertahan lama.
Agama dan
Disintegrasi Banga
Sebagai
negara pluralism dalam berbagai sendi kehidupan, Indonesia mengakui keberadaan
agama-agama. Dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa negara
menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan itu. Namun sayangnya dalam
kehidupan beragama seringkali menimbulkan intoleransi antar umat beragama. Tindakan-tindakan
anarkis yang menjurus pada pengrusakan dan pembakaran rumah ibadah sering
sekali menghiasi media massa. Toleransi kehidupan antar umat beragama menjadi
barang yang sangat langka di Indonesia.
Banyak
fakta empiris intoleransi umat beragama yang menunjukkan kepada kita betapa
rakyat Indonesia tidak menyadari keberagaman dan ideology bangsa yakni
Pancasila. Tepatnya pada tanggal 1 Agustus 2011, gereja Batak Karo Protestan
(GBKP), Gereja Methodist Indonesia (GMI) dan Gereja Pentakosta dibakar di
Provinsi Riau (Supriadi Purba Mergana: 2012: 74).
Betapa
memilukan dan memalukan hal itu terjadi di Negara yang majemuk ini. Bukankah
setiap warga Negara bebas memeluk dan beribadah sesuai dengan keyakinan
agamanya. Bukankah setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality
before the law). Lalu kenapa hal itu itu ? Itulah serentetan pertanyaan
yang harus dijawab demi menjaga persatuan bangsa dan terhindar dari reintegrasi
bangsa yang tidak kita inginkan sama sekali.
Tindakan-tindakan
yang demikian sebagai bukti bahwa yang melakukan hal tersebut tidak memahami
Islam secara utuh. Pemahaman Islam secara benar dan mendalam oleh seseorang
akan melahirkan sikap saling toleran, cinta kasih, dan benci terhadap
kekerasan. Islam tidak menganjurkan kepada pemeluknya bahwa perbedaan harus
disikapi dengan kekerasan atau pemaksaan kehendak. Islam memperkenalkan sebuah
institusi yang mampu menampung semua pemikiran dengan latar belakang yang
berbeda, yaitu institusi musyawarah. Institusi ini tidak saja mampu
mengakomodir semua perdebatan, namun yang terpenting adalah perbedaan diarahkan
kepada situasi kehidupan positif bagi kehidupan manusia.
Membangun
Bangsa Mulai Dari Diri Sendiri
Dengan kalimat mewujudkan diri sebagai negara Kesatuan Republik
Indonesia pada hakikatnya setiap golongan, kelompok, suku, agama dan yang
berbeda satu dengan lainnya melebur dan bersepakat membentuk kesukuan bangsa
yang satu, yaitu bangsa Indonesia. Karena itu, setiap generasi bangsa berdiri satu
dengan lainnya dengan sejajar. Semua suku bangsa saling memberikan potensi
terbaik yang mereka miliki kepada Negara kesatuan RI. Untuk itulah kita harus
membangun bangsa kita, dimulai dari diri kita sendiri, Untuk mejadi unsur
terbaik yang bisa memberikan kiprah gemilang menuju cita-cita besar para founding
fathers kita.
Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia sekaligus ideology atau
pandangan hidup bersama yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang beraneka
ragam dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat (Alfian: 1985: 105). Kita
tidak ingin mewujudkan generasi masa depan yang otaknya penuh dengan ilmu,
tetapi dadanya kosong dari iman. Sebab, kita tidak ingin menjadi bangsa yang
hanya kaya dari segi materi tetapi miskin dari segi rohani.
Keberagaman
merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dielakkan, namun bukan berarti
merusakkan. Akan tetapi keberagaman akan membuat bangsa kita menjadi kuat.
Seperti sebuah pepatah yang mengatakan bersatu kita teguh, bercerai kita
runtuh. Kemerdekaan Indonesia diraih berkat adanya persatuan dan kesatuan
dengan menggalang berbagai kekuatan sehingga mampu menaklukkan Belanda.
Persatuan dan kesatuan merupakan karakter bangsa seperti yang dikatakan Bung
Karno sebagai “Nation anda character building”. Di mana ada persatuan di
sana pasti ada kesatuan dan rasa persatuan dan kesatuan inilah yang mengantar
Indonesia ke hadapan pintu gerbang kemerdekaannya pada Tahun 1945.
Keberagaman
menjadi sebuah kekuatan yang dapat mempersatukan bangsa. Semboyan Malaysia, “Bersekutu Bertambah Mutu”,
sangat cocok disematkan kepada bangsa Indonesia dalam menegakkan persatuan
bangsa. Persatuan yang kokoh akan menimbulkan kekuatan yang luar biasa.
Untuk itu, mari bersama-sama membangun bangsa Indonesia tercinta dengan
saling memahami keberagaman, menjaga persatuan dan kesatuan. Tidak ada istilah
mayoritas dan minoritas, tapi kita semua bangsa Indonesia.
Wallahu ‘alam.
0 comments:
Posting Komentar