Dalam penelitian hukum, kemampuan menyusun pernyataan argumentatif menjadi salah satu indikator utama kualitas akademis suatu tulisan. Argumentasi yang kuat memastikan bahwa pendapat yang disampaikan tidak bersifat subjektif semata, tetapi didukung oleh logika, fakta, dan dasar hukum yang sah. Tanpa argumentasi, sebuah karya hukum hanya akan menjadi deskripsi normatif yang tidak memiliki daya kritis terhadap permasalahan. Oleh karena itu, mahasiswa hukum maupun peneliti hukum perlu memahami bagaimana menyusun argumen yang tepat, sistematis, dan persuasif. Penulisan argumentatif bukan hanya sekadar menyatakan pendapat, tetapi menunjukkan kemampuan analisis terhadap norma, teori, dan realitas sosial. Hal ini yang membedakan tulisan akademik hukum dengan laporan biasa yang hanya menyajikan informasi tanpa penalaran mendalam.
Unsur pertama dalam pernyataan argumentatif adalah klaim, yaitu pendapat atau posisi yang diambil penulis terhadap suatu isu hukum. Klaim harus jelas dan spesifik, sehingga pembaca mengetahui arah dari argumen yang akan dibangun. Klaim yang kabur akan membuat tulisan menjadi ambigu dan sulit dipahami. Misalnya, klaim yang baik adalah: “Hukuman cambuk di Aceh perlu direformulasi menjadi pidana penjara.” Klaim ini menunjukkan sikap penulis dan memberikan titik fokus yang jelas bagi pembahasan. Sebaliknya, jika penulis hanya menulis “Hukuman cambuk di Aceh menimbulkan masalah,” klaim tersebut masih terlalu umum dan tidak memberikan arah yang tegas.
Unsur berikutnya adalah dasar hukum, yaitu pijakan normatif yang mendukung klaim penulis. Dalam penelitian hukum, setiap pendapat harus memiliki legitimasi hukum agar tidak dianggap sebagai opini pribadi. Dasar hukum dapat berupa peraturan perundang-undangan, asas hukum, doktrin, atau putusan pengadilan. Misalnya, ketika menyatakan bahwa hukuman cambuk melanggar hak asasi manusia, penulis dapat merujuk pada Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 yang menjamin perlindungan dari perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Dengan memberikan rujukan ini, argumen menjadi lebih kuat dan tidak mudah dipatahkan. Sebaliknya, argumen tanpa dasar hukum akan terlihat lemah dan tidak akademis.
Selain dasar hukum, argumen juga memerlukan alasan yang logis dan, jika memungkinkan, bukti empiris. Alasan logis menghubungkan klaim dengan dasar hukum secara rasional, sementara bukti empiris memberikan validasi faktual. Misalnya, alasan logis dapat berupa penjelasan bahwa hukuman cambuk di ruang publik menimbulkan trauma sosial dan melanggar prinsip HAM. Bukti empiris dapat berupa hasil wawancara dengan pejabat Dinas Syariat Islam yang menyatakan bahwa pelaku sering mengalami tekanan psikologis setelah dicambuk. Kombinasi antara logika dan bukti empiris membuat argumen tidak hanya normatif, tetapi juga relevan dengan realitas sosial. Dengan demikian, pernyataan argumentatif menjadi lebih kredibel dan berdaya persuasi tinggi.
Pernyataan argumentatif yang berkualitas juga harus mampu mengantisipasi kontra-argumen yang mungkin muncul. Hal ini menunjukkan bahwa penulis memiliki pemahaman mendalam terhadap isu dan tidak hanya berpikir satu arah. Misalnya, sebagian pihak berpendapat bahwa hukuman cambuk efektif menimbulkan efek jera. Penulis dapat menanggapi dengan mengatakan bahwa efektivitas tersebut tidak boleh mengorbankan martabat manusia sebagaimana diatur dalam konstitusi. Setelah menyanggah kontra-argumen, penulis harus menegaskan kembali klaimnya, misalnya dengan menyatakan bahwa reformulasi hukuman menjadi pidana penjara adalah solusi yang lebih manusiawi dan sesuai dengan prinsip HAM. Penegasan ini penting agar pembaca tidak bingung dengan posisi penulis.
Pernyataan argumentatif yang memenuhi semua unsur tersebut memberikan dampak besar terhadap kualitas akademik sebuah tulisan hukum. Pertama, tulisan menjadi sistematis dan terstruktur karena setiap klaim diikuti dengan dasar hukum, alasan logis, dan bukti. Kedua, tulisan terlihat lebih ilmiah karena menggunakan pendekatan analitis, bukan hanya deskriptif. Ketiga, tulisan memiliki daya persuasi yang kuat sehingga dapat mempengaruhi cara pandang pembaca atau bahkan kebijakan hukum. Sebagai contoh, argumen yang disusun dengan baik dapat mendukung rekomendasi revisi suatu peraturan. Oleh karena itu, kemampuan menyusun pernyataan argumentatif bukan hanya keterampilan menulis, tetapi juga bagian dari kompetensi profesional seorang sarjana hukum.
0 comments:
Posting Komentar