Kamis, 11 September 2025

Asas in dubio pro reo merupakan prinsip penting dalam hukum pidana yang mengajarkan bahwa ketika hakim berada dalam keadaan ragu terhadap kesalahan terdakwa, maka keraguan tersebut harus diartikan untuk kepentingan terdakwa. Prinsip ini lahir dari pemikiran bahwa kebebasan seseorang lebih penting dijaga daripada risiko menghukum orang yang belum tentu bersalah. Dengan kata lain, asas ini menempatkan asas keadilan dan kepastian hukum secara seimbang. Di banyak negara, termasuk Indonesia, asas ini menjadi salah satu pilar perlindungan hak asasi manusia di bidang peradilan pidana. Hakim yang mengabaikan asas ini dapat berisiko melanggar hak konstitusional terdakwa. Oleh karena itu, asas in dubio pro reo menjadi benteng terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan kehakiman.

Secara filosofis, asas ini lahir dari pandangan moral bahwa menghukum orang yang tidak bersalah merupakan ketidakadilan yang lebih berat daripada membebaskan orang yang bersalah. Dalam praktiknya, asas ini menuntut hakim agar benar-benar teliti dalam menilai alat bukti dan keterangan saksi sebelum menjatuhkan putusan. Jika bukti yang ada tidak cukup kuat, maka putusan harus berpihak pada terdakwa, bukan sebaliknya. Prinsip ini bukan hanya sebuah aturan teknis, melainkan juga cermin integritas hakim dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, asas in dubio pro reo menegaskan bahwa pengadilan harus menjadi arena pencarian kebenaran yang berkeadilan, bukan sekadar menghukum. Pandangan ini juga mengingatkan hakim agar tidak tergesa-gesa dalam menjatuhkan vonis.

Dalam konteks hukum positif Indonesia, asas in dubio pro reo tidak tertulis secara eksplisit dalam KUHP, tetapi melekat dalam prinsip-prinsip peradilan yang adil (fair trial). Putusan Mahkamah Agung beberapa kali mengutip asas ini sebagai pedoman dalam memutus perkara pidana. Oleh sebab itu, asas ini bersifat universal, melintasi batas sistem hukum dan budaya. Di tingkat pengadilan, penerapan asas ini tercermin dalam putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum ketika bukti tidak cukup kuat. Dengan begitu, asas ini tidak hanya menjadi teori, tetapi juga panduan praktis bagi hakim. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan substansial lebih diutamakan daripada sekadar keadilan formal.

Jika dikaitkan dengan hukum Islam, prinsip serupa sebenarnya telah dikenal dalam kaidah fikih. Salah satu kaidah yang paling relevan adalah “al-yaqin la yazulu bisy-syak” yang berarti keyakinan tidak hilang karena keraguan. Dalam konteks peradilan pidana Islam, kaidah ini mengharuskan hakim untuk hanya menghukum apabila terdapat bukti yang jelas dan meyakinkan. Nabi Muhammad SAW sendiri dalam beberapa hadis menekankan agar hakim menghindari menjatuhkan hukuman hudud apabila terdapat unsur keraguan. Hal ini menunjukkan bahwa Islam mendahulukan perlindungan hak asasi manusia daripada menghukum seseorang dengan bukti yang belum pasti. Prinsip ini secara substansial sejalan dengan in dubio pro reo.

Dalam sistem peradilan Islam, para fuqaha menekankan kehati-hatian hakim dalam memutus perkara pidana, terutama yang menyangkut hukuman berat seperti hudud atau qishash. Imam al-Syafi’i, misalnya, menyatakan bahwa jika ada dua kemungkinan dalam suatu perkara pidana—satu memberatkan dan satu meringankan—maka hakim wajib mengambil yang meringankan. Pendekatan ini menunjukkan bahwa hukum Islam mengutamakan aspek pencegahan ketidakadilan daripada penerapan hukuman yang berpotensi keliru. Prinsip ini juga menjaga integritas lembaga peradilan dan mengurangi risiko kriminalisasi orang yang tidak bersalah. Dengan kata lain, asas kehati-hatian dalam hukum Islam adalah bentuk nyata dari perlindungan terhadap terdakwa. Praktik ini mencerminkan keselarasan antara prinsip in dubio pro reo dengan nilai-nilai syariah.

Dengan demikian, baik dalam sistem hukum positif maupun hukum Islam, asas in dubio pro reo berfungsi sebagai pagar etis dan normatif bagi hakim. Prinsip ini memastikan bahwa tujuan hukum untuk mencapai keadilan substantif dapat tercapai dengan tetap melindungi hak terdakwa. Dalam konteks Indonesia, penerapan asas ini menjadi penting karena negara mengakui nilai-nilai hukum Islam yang hidup di masyarakat. Harmonisasi kedua sistem ini dapat memperkuat legitimasi putusan pengadilan, khususnya di daerah yang menerapkan hukum Islam seperti Aceh. Selain itu, penerapan asas ini juga mendorong terciptanya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Dengan asas ini, masyarakat dapat melihat bahwa pengadilan bukan hanya lembaga penghukum, tetapi juga penjaga keadilan dan perlindungan bagi manusia. 


Rabu, 10 September 2025

Dalam tradisi hukum, dikenal konsep judge-made law yang merujuk pada peran hakim sebagai pembentuk hukum melalui putusan-putusan pengadilan. Hakim tidak hanya berfungsi sebagai “corong undang-undang” yang menerapkan teks secara mekanis, tetapi juga sebagai penafsir dan pengembang hukum sesuai konteks sosial yang dihadapi. Di Indonesia, meskipun sistem hukum menganut tradisi civil law, peran hakim tetap penting dalam mengisi kekosongan atau ketidakjelasan norma yang ada. Melalui putusan, hakim menciptakan kaidah baru yang menjadi pedoman bagi perkara sejenis di masa mendatang. Hal ini menunjukkan bahwa hakim memiliki fungsi kreatif selain fungsi yudisialnya. Dengan demikian, judge-made law memperlihatkan dinamika hukum yang hidup mengikuti perkembangan masyarakat.

Peran hakim sebagai pembentuk hukum dapat terlihat saat undang-undang tidak mengatur secara rinci suatu persoalan atau menimbulkan multitafsir. Dalam situasi seperti ini, hakim harus menggunakan metode penafsiran, asas hukum, dan doktrin untuk menemukan keadilan substantif. Proses ini menghasilkan yurisprudensi, yakni putusan pengadilan yang bernilai preseden dan menjadi sumber hukum tidak tertulis. Masyarakat dan praktisi hukum kemudian menjadikan putusan tersebut sebagai acuan untuk menyelesaikan kasus serupa. Dengan kata lain, hakim tidak hanya menegakkan hukum tetapi juga memperluas dan memperkaya hukum. Ini adalah bentuk nyata bahwa judge-made law berakar pada kebutuhan praktis masyarakat atas kepastian hukum.

Dalam perspektif sosiologi hukum, judge-made law muncul karena hukum positif kadangkalanya tidak mampu mengantisipasi seluruh peristiwa sosial. Kehidupan masyarakat terus berubah sehingga norma tertulis memerlukan “penyesuaian” agar relevan dengan situasi aktual. Hakim, sebagai pihak yang langsung menangani sengketa nyata (in concreto), memiliki akses untuk memahami konteks sosial dan dampak dari keputusannya. Oleh karena itu, putusan hakim sering menmberika.nilai-nilai baru yang sedang berkembang di masyarakat. Proses ini memperlihatkan bahwa hakim menjadi penengah antara norma tertulis dan realitas sosial. Dengan kata lain, hakim berperan sebagai penghubung antara hukum yang statis dan masyarakat yang dinamis.

Contoh nyata peran hakim sebagai pembentuk hukum dapat dilihat dalam kasus-kasus perdata dan pidana di Indonesia yang belum diatur secara komprehensif. Misalnya, dalam kasus pembagian harta bersama antara pasangan suami dan istri yang tidak mengatur bila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami dan istri. KHI hanya mengatur bila terjadi perceraian maka setengah harta bersama untuk duda dan setengah untuk janda. Kemudian ada hakim yang memutuskan dengan porsi 1/3 untuk suami dan 3/4 untuk istri. Putusan-putusan semacam ini kemudian menjadi yurisprudensi yang diikuti oleh pengadilan tingkat lebih rendah. Ini menunjukkan bagaimana kreativitas hakim menghasilkan norma baru yang tidak sekadar menafsirkan undang-undang. Pada titik ini, judge-made law berperan sebagai pelengkap kelemahan legislasi. Sehingga masyarakat memperoleh kepastian hukum dari putusan yang konsisten dan berulang.

Meski demikian, peran hakim sebagai pembentuk hukum sering menuai perdebatan. Sebagian pihak menganggap hakim tidak memiliki legitimasi untuk menciptakan hukum karena kewenangan legislasi berada di tangan lembaga legislatif. Namun, dalam praktiknya, putusan hakim menjadi kebutuhan mendesak untuk menjawab masalah hukum yang tidak terjawab oleh undang-undang. Hal ini penting untuk menjaga fungsi peradilan sebagai penjaga keadilan substantif, bukan hanya kepastian formal. Dengan judge-made law, hukum menjadi lebih adaptif terhadap perkembangan zaman tanpa harus menunggu proses legislasi yang panjang. Oleh karena itu, hakim dalam konteks ini dipandang sebagai penjaga dan sekaligus pembaru hukum.

Hakim sebagai judge-made law memperlihatkan bahwa hukum bukan semata-mata produk legislatif, tetapi juga hasil konstruksi yudisial. Peran kreatif hakim memastikan bahwa hukum tidak kehilangan relevansinya di tengah dinamika sosial yang cepat. Yurisprudensi yang lahir dari putusan pengadilan memperkaya sistem hukum nasional dengan norma-norma baru yang lebih responsif. Kontribusi ini juga memperkuat fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial dan perlindungan hak masyarakat. Dengan demikian, hakim tidak hanya menjadi pelaksana hukum tetapi juga pembentuk arah perkembangan hukum. Konsep judge-made law menunjukkan pentingnya keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan dalam setiap putusan.


Rabu, 20 Agustus 2025


 

Dalam penelitian hukum, kemampuan menyusun pernyataan argumentatif menjadi salah satu indikator utama kualitas akademis suatu tulisan. Argumentasi yang kuat memastikan bahwa pendapat yang disampaikan tidak bersifat subjektif semata, tetapi didukung oleh logika, fakta, dan dasar hukum yang sah. Tanpa argumentasi, sebuah karya hukum hanya akan menjadi deskripsi normatif yang tidak memiliki daya kritis terhadap permasalahan. Oleh karena itu, mahasiswa hukum maupun peneliti hukum perlu memahami bagaimana menyusun argumen yang tepat, sistematis, dan persuasif. Penulisan argumentatif bukan hanya sekadar menyatakan pendapat, tetapi menunjukkan kemampuan analisis terhadap norma, teori, dan realitas sosial. Hal ini yang membedakan tulisan akademik hukum dengan laporan biasa yang hanya menyajikan informasi tanpa penalaran mendalam.

Unsur pertama dalam pernyataan argumentatif adalah klaim, yaitu pendapat atau posisi yang diambil penulis terhadap suatu isu hukum. Klaim harus jelas dan spesifik, sehingga pembaca mengetahui arah dari argumen yang akan dibangun. Klaim yang kabur akan membuat tulisan menjadi ambigu dan sulit dipahami. Misalnya, klaim yang baik adalah: “Hukuman cambuk di Aceh perlu direformulasi menjadi pidana penjara.” Klaim ini menunjukkan sikap penulis dan memberikan titik fokus yang jelas bagi pembahasan. Sebaliknya, jika penulis hanya menulis “Hukuman cambuk di Aceh menimbulkan masalah,” klaim tersebut masih terlalu umum dan tidak memberikan arah yang tegas.

Unsur berikutnya adalah dasar hukum, yaitu pijakan normatif yang mendukung klaim penulis. Dalam penelitian hukum, setiap pendapat harus memiliki legitimasi hukum agar tidak dianggap sebagai opini pribadi. Dasar hukum dapat berupa peraturan perundang-undangan, asas hukum, doktrin, atau putusan pengadilan. Misalnya, ketika menyatakan bahwa hukuman cambuk melanggar hak asasi manusia, penulis dapat merujuk pada Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 yang menjamin perlindungan dari perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Dengan memberikan rujukan ini, argumen menjadi lebih kuat dan tidak mudah dipatahkan. Sebaliknya, argumen tanpa dasar hukum akan terlihat lemah dan tidak akademis.

Selain dasar hukum, argumen juga memerlukan alasan yang logis dan, jika memungkinkan, bukti empiris. Alasan logis menghubungkan klaim dengan dasar hukum secara rasional, sementara bukti empiris memberikan validasi faktual. Misalnya, alasan logis dapat berupa penjelasan bahwa hukuman cambuk di ruang publik menimbulkan trauma sosial dan melanggar prinsip HAM. Bukti empiris dapat berupa hasil wawancara dengan pejabat Dinas Syariat Islam yang menyatakan bahwa pelaku sering mengalami tekanan psikologis setelah dicambuk. Kombinasi antara logika dan bukti empiris membuat argumen tidak hanya normatif, tetapi juga relevan dengan realitas sosial. Dengan demikian, pernyataan argumentatif menjadi lebih kredibel dan berdaya persuasi tinggi.

Pernyataan argumentatif yang berkualitas juga harus mampu mengantisipasi kontra-argumen yang mungkin muncul. Hal ini menunjukkan bahwa penulis memiliki pemahaman mendalam terhadap isu dan tidak hanya berpikir satu arah. Misalnya, sebagian pihak berpendapat bahwa hukuman cambuk efektif menimbulkan efek jera. Penulis dapat menanggapi dengan mengatakan bahwa efektivitas tersebut tidak boleh mengorbankan martabat manusia sebagaimana diatur dalam konstitusi. Setelah menyanggah kontra-argumen, penulis harus menegaskan kembali klaimnya, misalnya dengan menyatakan bahwa reformulasi hukuman menjadi pidana penjara adalah solusi yang lebih manusiawi dan sesuai dengan prinsip HAM. Penegasan ini penting agar pembaca tidak bingung dengan posisi penulis.

Pernyataan argumentatif yang memenuhi semua unsur tersebut memberikan dampak besar terhadap kualitas akademik sebuah tulisan hukum. Pertama, tulisan menjadi sistematis dan terstruktur karena setiap klaim diikuti dengan dasar hukum, alasan logis, dan bukti. Kedua, tulisan terlihat lebih ilmiah karena menggunakan pendekatan analitis, bukan hanya deskriptif. Ketiga, tulisan memiliki daya persuasi yang kuat sehingga dapat mempengaruhi cara pandang pembaca atau bahkan kebijakan hukum. Sebagai contoh, argumen yang disusun dengan baik dapat mendukung rekomendasi revisi suatu peraturan. Oleh karena itu, kemampuan menyusun pernyataan argumentatif bukan hanya keterampilan menulis, tetapi juga bagian dari kompetensi profesional seorang sarjana hukum.


Jumat, 15 Agustus 2025



 Dalam perjalanan hidup, ada masa-masa ketika seseorang harus berjuang sendiri, melangkah tanpa banyak bercerita pada orang lain tentang apa yang sedang ia upayakan. Bukan karena ingin menyembunyikan, melainkan karena sadar bahwa perjuangan sejati sering kali lebih kuat bila dilakukan dalam diam.

Orang yang berjuang sendiri biasanya memiliki keteguhan hati yang berbeda. Ia tidak sibuk mencari pengakuan, tidak sibuk meminta orang lain melihat betapa keras ia berusaha. Ia paham bahwa hasil kerja keraslah yang nantinya akan berbicara. Seperti benih yang tumbuh di bawah tanah: ia diam, tak terlihat, namun perlahan menguat hingga akhirnya menembus permukaan sebagai pohon yang kokoh.

Berjuang tanpa banyak bicara juga mengajarkan kemandirian mental. Saat seseorang terlalu sering menceritakan apa yang sedang ia lakukan, ia bisa terjebak dalam dua hal: pertama, berharap dukungan yang belum tentu datang; kedua, kehilangan semangat ketika mendapat komentar negatif. Dengan berjuang sendiri, seseorang belajar untuk tidak bergantung pada validasi orang lain. Energinya terkonsentrasi pada tindakan, bukan pada penilaian.

Selain itu, berjuang dalam diam melatih kerendahan hati. Tidak semua hal perlu diumumkan, tidak semua langkah perlu diketahui orang. Kesuksesan yang lahir dari kerja keras yang senyap akan lebih bernilai, karena orang lain melihat hasilnya, bukan sekadar mendengar wacananya. Justru diamnya perjuangan membuat pencapaian terasa lebih berwibawa.

Ada pula kekuatan spiritual dalam berjuang sendiri. Saat tidak banyak bercerita, seseorang lebih sering berkomunikasi dengan dirinya sendiri dan Tuhannya. Ia merenung, mengevaluasi, dan memperbaiki langkah tanpa banyak gangguan. Dari sini lahir rasa tenang, karena ia tahu perjuangan itu murni, bukan demi tepuk tangan, melainkan demi tujuan yang diyakini.

Namun, berjuang sendiri bukan berarti menutup diri sepenuhnya. Ada kalanya orang memang butuh berbagi untuk meminta nasihat atau dukungan. Tetapi, inti dari perjuangan mandiri adalah tidak menjadikan orang lain sebagai tumpuan utama. Kekuatan ada pada diri, bukan pada sorakan atau dukungan semata.

Berjuang sendiri adalah jalan untuk membuktikan bahwa seseorang mampu berdiri tegak dengan kakinya sendiri. Diamnya langkah-langkah itu bukan kelemahan, melainkan tanda keteguhan. Dan ketika hasilnya tiba, orang lain akan segan, karena perjuangan yang lahir dari kesunyian selalu lebih murni, lebih tulus, dan lebih kuat.




 


Menjadi pribadi yang disegani bukanlah perkara mudah. Rasa segan berbeda dengan sekadar rasa hormat formal yang muncul karena jabatan atau status. Segan lahir dari hati, tumbuh karena kualitas pribadi yang membuat orang lain menaruh respek. Untuk mencapainya, ada sejumlah sikap dan nilai yang perlu dibangun dengan kesadaran dan konsistensi.

Pertama, integritas dan konsistensi adalah fondasi utama. Orang akan segan pada sosok yang perkataannya sejalan dengan perbuatannya. Seorang pemimpin yang menuntut disiplin, misalnya, akan kehilangan wibawa jika ia sendiri sering terlambat. Sekali saja janji diingkari atau sikap berubah-ubah tanpa alasan yang jelas, kepercayaan akan luntur, dan rasa segan ikut menghilang. Karena itu, konsistensi dalam tindakan menjadi kunci agar orang melihat kita sebagai pribadi yang dapat diandalkan.

Kedua, sikap tegas namun bijaksana. Tegas berarti memiliki prinsip yang jelas, tidak mudah digoyahkan oleh tekanan atau rayuan. Namun ketegasan harus disertai kebijaksanaan: tahu kapan berbicara, kapan mendengarkan, dan kapan bertindak. Sosok yang bisa memimpin dengan tenang, tanpa harus meninggikan suara, akan jauh lebih disegani dibanding mereka yang suka membentak. Tegas membuat orang patuh, bijaksana membuat orang ikhlas menerima.

Ketiga, kemampuan menguasai diri. Orang yang mudah marah dan reaktif cenderung kehilangan wibawa. Sebaliknya, mereka yang tetap tenang meski dalam situasi sulit justru memancarkan kekuatan batin. Bayangkan seorang guru yang menghadapi murid nakal. Guru yang marah-marah mungkin ditakuti, tetapi guru yang menegur dengan tenang dan penuh kontrol akan lebih disegani, karena ketenangan itu mencerminkan kematangan jiwa.

Keempat, kompetensi dan pengetahuan. Rasa segan muncul secara alami ketika seseorang terbukti ahli dan mampu memberi manfaat nyata. Seorang dokter yang piawai menangani pasien, seorang dosen yang menguasai bidangnya, atau seorang pengrajin yang menghasilkan karya berkualitas—semua mendapat penghargaan bukan karena memaksa, tetapi karena kompetensinya. Pengetahuan menjadi sumber wibawa yang tak terbantahkan.

Kelima, kerendahan hati tanpa kehilangan wibawa. Orang yang meremehkan orang lain akan dijauhi, bukan disegani. Justru mereka yang tetap rendah hati meskipun berilmu tinggi atau berstatus tinggi akan lebih dihormati. Kerendahan hati membuat orang merasa dihargai, dan dari situ lahirlah rasa segan.

Keenam, keadilan dalam perlakuan. Rasa segan sulit tumbuh jika seseorang dikenal pilih kasih. Pemimpin yang adil, yang memperlakukan semua orang secara setara, akan selalu dihormati. Ia dipandang sebagai sosok yang bisa dipercaya menjaga kepentingan bersama, bukan hanya kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Keberanian mengambil sikap. Orang tidak akan segan pada pribadi yang mudah diatur atau selalu takut membuat keputusan. Sebaliknya, keberanian membela kebenaran, menolak yang salah, dan berdiri tegak di tengah tekanan, membuat seseorang dipandang berwibawa. Keberanian itu menegaskan bahwa ia punya prinsip yang tak bisa dibeli atau digoyahkan.


 

Rasa takut sering kali menjadi penghalang utama seseorang untuk berkembang. Banyak orang punya mimpi besar, tapi berhenti di tengah jalan karena terjebak dalam bayangan risiko yang terasa menakutkan. Padahal, keberanian bukan berarti tidak ada rasa takut, melainkan kemampuan untuk melangkah meski rasa takut itu masih ada.

Orang yang berani mengambil risiko biasanya memiliki pola pikir berbeda. Mereka melihat risiko bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai peluang untuk belajar dan bertumbuh. Misalnya, seorang mahasiswa yang takut presentasi di depan kelas mungkin membayangkan dirinya salah bicara, ditertawakan, atau mendapat nilai buruk. Tetapi bila ia mencoba mengubah cara pandangnya, ia bisa melihat presentasi itu sebagai kesempatan untuk melatih kemampuan bicara, membuktikan pemahaman, sekaligus memperkuat rasa percaya diri. Dengan begitu, risiko yang tadinya menakutkan berubah menjadi jembatan menuju kemajuan.

Untuk bisa tidak takut mengambil risiko, seseorang perlu melatih penguasaan diri. Rasa takut sering muncul karena kita terlalu sibuk membayangkan kegagalan. Maka, penting untuk memindahkan fokus dari kemungkinan buruk menuju apa yang bisa diperoleh bila berhasil. Latihan kecil bisa dimulai dengan hal sederhana, seperti berani mengajukan pendapat dalam diskusi, mencoba kegiatan baru, atau mengambil peran yang selama ini dihindari. Setiap langkah kecil akan menumpuk keberanian baru, hingga pada akhirnya rasa takut berkurang dan digantikan oleh keyakinan.

Selain itu, orang yang tidak takut mengambil risiko biasanya memiliki persiapan yang matang. Mereka tidak asal melompat ke situasi berbahaya, tetapi menghitung kemungkinan, menyiapkan rencana cadangan, dan memahami konsekuensi dari tindakannya. Dengan cara ini, risiko bukan dihindari, melainkan dikendalikan.

Yang tak kalah penting, keberanian juga lahir dari keyakinan pada diri sendiri. Seseorang yang percaya pada kemampuannya akan lebih siap menghadapi tantangan apa pun. Ia sadar bahwa mungkin saja gagal, tapi ia juga yakin bisa bangkit kembali. Karena itu, kunci agar tidak takut mengambil risiko adalah menumbuhkan mentalitas belajar: setiap kegagalan hanyalah bagian dari proses menuju keberhasilan.

Dengan pola pikir seperti ini, seseorang akan semakin berani melangkah. Ia tidak lagi dikuasai oleh rasa takut, melainkan menjadikan risiko sebagai bagian dari perjalanan hidup yang memperkaya pengalaman.


Rabu, 16 April 2025

 


Dalam suasana penuh khidmat dan kebanggaan, Dr. Mansari, SH.I., M.H. berhasil mempertahankan disertasinya dalam sidang promosi doktor yang digelar di Aula lantai 3 Gedung Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Selasa, 15 April 2025. Disertasi berjudul "Reinterpretasi Model Pembagian Harta Bersama di Indonesia (Studi terhadap Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Implikasi Hukumnya dalam Kasus Cerai Hidup)" ini membawa angin segar dalam pemikiran hukum keluarga Islam di Indonesia. Dalam paparannya, Dr. Mansari mengemukakan pentingnya pengembangan paradigma baru dalam pembagian harta bersama, yang tidak lagi kaku berdasarkan ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selama ini, pasal tersebut cenderung mengatur pembagian setengah untuk suami dan setengah untuk istri tanpa mempertimbangkan faktor-faktor tanggung jawab dalam rumah tangga. Padahal, dalam realitas hukum, pelaksanaan tanggung jawab masing-masing pihak dapat sangat berpengaruh terhadap keadilan dalam pembagian tersebut.

Teori yang dikembangkan oleh Dr. Mansari adalah model pembagian harta bersama berbasis implementasi tanggung jawab. Artinya, dalam proses perceraian, pengadilan harus mempertimbangkan apakah masing-masing pihak—baik suami maupun istri—telah melaksanakan kewajibannya selama menjalani rumah tangga. Jika tanggung jawab tidak dilaksanakan atau terdapat unsur nusyuz, maka hal tersebut dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menetapkan porsi harta yang akan dibagikan. Teori ini tidak meniadakan prinsip pembagian setengah-setengah, tetapi memberi ruang keadilan dalam situasi khusus. Sehingga, dalam kondisi normal, pembagian bisa tetap proporsional, tetapi dalam kondisi ketimpangan, porsi tersebut dapat berubah demi asas keadilan.

Sidang terbuka ini dipimpin langsung oleh Direktur Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Prof. Eka Srimulyani, M.A., Ph.D., yang juga memandu jalannya diskusi akademik dengan cermat. Hadir pula sejumlah penguji bergelar profesor dan doktor dari dalam dan luar negeri yang memberikan pertanyaan kritis namun konstruktif. Salah satu penguji eksternal yang diundang khusus adalah Prof. Madya Siti Zubaidah dari University of Malaya, Malaysia. Selain itu, penguji internal yaitu Prof. Dr. Al Yasa Abubakar, MA, Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA, Dr. Husna M. Amin, M. Hum. Dr. Sabirin, S.Sos.I., M.H, Prof. Dr. Khairuddin, M.Ag, dan Prof. Dr. Soraya Devy, M.Ag.

Dalam proses penyusunan disertasi, Dr. Mansari dibimbing oleh para promotor berpengalaman yaitu Prof. Dr. Khairuddin, M.Ag. sebagai promotor utama, dan Prof. Dr. Soraya Devy, M.Ag. sebagai co-promotor. Keduanya memuji ketekunan dan orisinalitas pemikiran dari mahasiswa bimbingannya. Penelitian yang mendalam terhadap yurisprudensi Mahkamah Agung, serta relevansinya terhadap kasus cerai hidup, menjadi poin kuat dari disertasi tersebut. Dr. Mansari menunjukkan kemampuan akademik tinggi dengan mengkaji doktrin, praktik hukum, serta prinsip-prinsip keadilan secara terpadu. Keberhasilannya ini diharapkan dapat menjadi rujukan penting bagi hakim-hakim di Mahkamah Syar’iyah.

Salah satu fondasi pemikiran teori baru ini adalah kaidah fikih klasik, yakni al-hukmu yadūru ma‘al ‘illati wujūdan wa ‘adaman serta al-jazā’u min jinsil ‘amal. Kedua prinsip ini menjelaskan bahwa hukum Islam bersifat dinamis dan harus mempertimbangkan alasan yang melatarbelakangi terjadinya perbuatan. Jika seseorang tidak melaksanakan kewajibannya, maka konsekuensi hukumnya pun harus sepadan dengan amal perbuatannya. Dalam konteks pembagian harta bersama, maka pembagian harus selaras dengan tingkat tanggung jawab yang telah diemban dalam rumah tangga. Konsep ini membawa hukum lebih responsif terhadap kondisi nyata yang dihadapi pasangan suami istri.

Dengan pendekatan reinterpretatif terhadap yurisprudensi Mahkamah Agung, Dr. Mansari menunjukkan bahwa terdapat ruang untuk membentuk model keadilan yang lebih kontekstual dalam hukum keluarga Islam. Selama ini, hakim sering terikat oleh norma-norma tekstual tanpa mempertimbangkan realitas sosial yang menyertainya. Penelitian ini membuka jalan baru bagi para akademisi dan praktisi hukum untuk mempertimbangkan pendekatan yang lebih berbasis substansi dan tanggung jawab pasangan suami istri. Dr. Mansari mendorong agar Mahkamah Syar’iyah dan Mansarilebih berani dalam menerapkan prinsip keadilan substantif dalam pembagian harta bersama. Sebab, keadilan sejati bukan hanya terletak pada persamaan angka, tetapi juga pada kesesuaian antara hak dan kewajiban.

Keberhasilan Dr. Mansari ini menjadi momentum penting bagi pengembangan studi hukum Islam di Indonesia, khususnya dalam bidang hukum keluarga. Teori yang ia kembangkan berpotensi menjadi rujukan bagi reformasi kebijakan dan putusan pengadilan dalam perkara perceraian. Para penguji menilai karya ilmiah ini tidak hanya bernilai akademis, tetapi juga memiliki signifikansi praktis yang tinggi. Ke depan, pendekatan tanggung jawab dalam pembagian harta bersama dapat menjadi model alternatif yang lebih adil dan adaptif terhadap konteks masyarakat Indonesia. Disertasi ini diharapkan menjadi awal dari berbagai penelitian lanjutan dalam bidang hukum Islam yang lebih progresif.




Jumat, 21 Februari 2025

 


Program Studi Fiqh Modern Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh menyelenggarakan pelatihan "Membangun Logika Berfikir Kritis dan Analitis" pada 21 Februari 2025. Kegiatan ini diinisiasi oleh Ketua Program Studi, Prof. Dr. Syahrizal Abbas, yang memiliki komitmen kuat untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Pelatihan ini dihadiri oleh belasan mahasiswa dari berbagai angkatan, mulai dari angkatan 2019 hingga angkatan 2024. Kehadiran mahasiswa dari berbagai angkatan menciptakan suasana diskusi yang dinamis dan interaktif. Dalam sambutannya, Prof. Syahrizal Abbas menekankan pentingnya kemampuan berpikir kritis dalam penyusunan disertasi agar karya ilmiah yang dihasilkan memiliki argumentasi yang kuat dan sistematis.

Tujuan utama pelatihan ini adalah untuk membantu mahasiswa dalam membangun argumentasi yang kritis dan analitis dalam penyusunan disertasi. Dalam pelatihan ini, peserta dilatih untuk mengasah kemampuan berpikir logis sehingga dapat menyusun alur berpikir yang runtut dan terstruktur. Dengan kemampuan berpikir yang kritis dan sistematis, diharapkan mahasiswa dapat menyajikan argumen yang lebih tajam dan valid dalam disertasi mereka. Selain itu, pelatihan ini juga bertujuan untuk membentuk pola pikir yang analitis agar mahasiswa mampu mengkaji isu-isu kontemporer dalam fiqh modern dengan pendekatan yang lebih kritis. Hal ini penting agar karya ilmiah yang dihasilkan tidak hanya bermanfaat secara akademis, tetapi juga relevan dengan permasalahan masyarakat.

Pelatihan ini dikemas dalam bentuk diskusi interaktif dan studi kasus untuk melatih kemampuan berpikir kritis secara praktis. Para peserta diajak untuk menganalisis berbagai isu kontemporer dalam fiqh modern dengan menggunakan pendekatan logika yang tajam dan argumentasi yang valid. Studi kasus yang dipilih disesuaikan dengan isu-isu terkini yang relevan dengan disiplin ilmu fiqh modern, ada yang membahas isu ekonomi Islam, kewarisan, hukum jinayat, harta bersama dan lain sebagainya, sehingga peserta dapat menghubungkan teori dengan praktik. Metode diskusi interaktif yang diterapkan mendorong peserta untuk saling bertukar pendapat dan mempertajam argumentasi masing-masing. 

Kegiatan ini mendapatkan antusiasme yang tinggi dari para peserta, terlihat dari keaktifan dalam berdiskusi dan mengajukan pertanyaan kritis. Para peserta mengapresiasi metode pelatihan yang tidak hanya berfokus pada teori, tetapi juga pada penerapan praktis dalam menyusun argumentasi ilmiah. Mahasiswa merasa terbantu dalam menyusun alur berpikir yang lebih runtut dan logis dalam penyusunan disertasi. Selain itu, pelatihan ini juga membantu peserta dalam mengidentifikasi kekurangan dalam argumentasi dan memperbaikinya secara konstruktif. Melalui pelatihan ini, peserta diharapkan mampu menghasilkan karya ilmiah yang lebih kritis, sistematis, dan relevan dengan perkembangan ilmu fiqh modern.

Pelatihan ini diharapkan menjadi langkah awal dalam menciptakan budaya berpikir kritis di kalangan mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry. Prof. Dr. Syahrizal Abbas menyampaikan harapannya agar pelatihan serupa dapat terus dilaksanakan secara berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas akademik mahasiswa. Selain itu, kegiatan ini juga menjadi wadah bagi mahasiswa untuk memperluas wawasan dan memperdalam pemahaman tentang metodologi berpikir kritis dan analitis. Melalui kemampuan berpikir yang lebih kritis, mahasiswa mampu memberikan kontribusi ilmiah yang signifikan dalam bidang fiqh modern. 


Sabtu, 09 November 2024

 


Dalam dunia penulisan, ada keistimewaan tersendiri ketika seorang penulis mendapatkan dukungan atau endorsement dari tokoh terkenal atau ahli dalam bidang tertentu. Bagi banyak penulis, ini adalah momen yang penuh kebahagiaan sekaligus pengakuan. Endorsement dari tokoh yang dihormati tidak hanya memberikan nilai tambah bagi karya tulis mereka, tetapi juga membangun jembatan kepercayaan dengan para pembaca.

Bayangkan seorang penulis yang telah mencurahkan tenaga dan pikirannya dalam suatu karya, tiba-tiba mendapatkan tawaran kerjasama dari seorang pengendorse. Bukan sekadar dukungan, tapi ini adalah bentuk apresiasi yang tulus atas kualitas dan kedalaman tulisan tersebut. Penulis merasa dihargai dan diakui, merasakan bahwa buah pikirannya beresonansi dengan orang-orang penting yang mungkin jauh lebih berpengalaman atau dikenal publik.

Dalam proses ini, hubungan antara penulis dan pengendorse tumbuh menjadi kolaborasi yang saling menguntungkan. Penulis mendapatkan dorongan moral dan pengakuan yang meningkatkan kredibilitasnya, sementara pengendorse turut menyampaikan pesan melalui karya yang mungkin saja mewakili nilai-nilai atau ide yang ingin disebarluaskannya. Pada akhirnya, kebahagiaan ini tidak hanya dirasakan oleh penulis, tetapi juga mengalir ke pembaca yang semakin percaya akan kualitas isi buku atau tulisan yang mereka baca.


Selasa, 05 November 2024

 



Mansari, seorang dosen dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, turut serta dalam konferensi internasional di Malaysia yang bertajuk The 3rd Samarah International Conference on Islamic Family Law and Islamic Law (SICOIFL 3) dan The First El-Usrah International Conference (El-Usrah ICON 1). Acara ini diselenggarakan bersama oleh UIN Ar-Raniry dan Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) di Fakultas Pengajian Islam, UKM, Selangor, pada Kamis, 24 Oktober 2024.

Dalam kesempatan tersebut, Mansari mempresentasikan hasil kajiannya yang berfokus pada Pembagian Harta Bersama Berbasis Implementasi Tanggung Jawab: Analisis Yuriprudensi dan Implikasi Hukumnya. Kajian ini mengeksplorasi cara pembagian harta bersama dalam konteks hukum Islam dengan mempertimbangkan tanggung jawab pihak-pihak terkait. Mansari mengkaji dan menganalisis  yuriprudensi Mahkamah Agung dalam membagi harta bersama serta implikasi hukum dari penerapan pendekatan ini dalam kehidupan berkeluarga, khususnya dalam menjaga keadilan dalam pembagian aset pasca perpisahan.



Konferensi ini menjadi platform bagi Mansari dan para akademisi dari berbagai negara untuk bertukar wawasan dan mendiskusikan isu-isu terkini dalam bidang hukum keluarga Islam. Kehadiran Mansari dalam forum ilmiah ini menegaskan peran aktif UIN Ar-Raniry dalam memajukan kajian hukum Islam di tingkat internasional, serta memperkuat kerja sama akademik antara Indonesia dan Malaysia dalam mengembangkan kajian keislaman yang bermanfaat bagi masyarakat luas.


Jumat, 30 Agustus 2024

Hukum memiliki peran penting dalam mengatur dan mempengaruhi dinamika kehidupan sosial. Dalam konteks perubahan sosial, hukum tidak hanya berfungsi sebagai aturan yang mengatur perilaku masyarakat, tetapi juga sebagai alat yang dapat mendorong perubahan, membentuk norma baru, dan memperkuat kohesi sosial. Ada tiga fungsi utama hukum dalam hubungannya dengan perubahan sosial, yaitu hukum sebagai sarana kontrol sosial, hukum sebagai alat rekayasa sosial, dan hukum sebagai sarana pengintegrasian. Masing-masing fungsi ini memiliki peran yang berbeda dalam proses transformasi sosial.

1. Hukum sebagai Sarana Kontrol Sosial

Hukum sebagai sarana kontrol sosial berfungsi untuk mengendalikan perilaku individu dan kelompok dalam masyarakat agar sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku. Kontrol sosial melalui hukum bertujuan untuk mempertahankan ketertiban dan stabilitas sosial dengan cara menetapkan batasan-batasan terhadap perilaku yang dianggap tidak sesuai atau merugikan. Dengan kata lain, hukum digunakan untuk mencegah perilaku yang bisa mengganggu tatanan sosial dan mendorong perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai dan norma yang diinginkan.

Misalnya, hukum pidana menetapkan sanksi bagi tindakan kriminal seperti pencurian, penipuan, dan kekerasan, yang bertujuan untuk mencegah dan mengendalikan perilaku yang merusak atau membahayakan masyarakat. Hukum administrasi publik mengatur tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik, memastikan bahwa pejabat publik menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum dan etika. Dengan menetapkan konsekuensi hukum bagi pelanggaran, hukum bertindak sebagai penghalang bagi perilaku yang merugikan dan sebagai pendorong bagi perilaku yang positif.

Sebagai alat kontrol sosial, hukum bekerja melalui dua mekanisme utama: pencegahan (deterrence) dan sanksi (punishment). Pencegahan berarti hukum berfungsi untuk menghalangi orang melakukan pelanggaran karena adanya ancaman sanksi. Sanksi hukum, baik berupa denda, penjara, atau hukuman lainnya, berfungsi sebagai bentuk hukuman bagi pelanggaran hukum, memberikan contoh bahwa perilaku yang menyimpang akan mendapatkan konsekuensi negatif. Dengan cara ini, hukum membantu menjaga ketertiban sosial dan mengurangi potensi konflik dalam masyarakat.

2. Hukum sebagai Alat Rekayasa Sosial

Hukum sebagai alat rekayasa sosial berfungsi untuk mengarahkan atau mendorong perubahan sosial yang direncanakan. Dalam fungsi ini, hukum digunakan secara aktif oleh pemerintah atau otoritas lain untuk mencapai tujuan-tujuan sosial tertentu, seperti meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi ketidaksetaraan, atau mempromosikan nilai-nilai baru. Hukum sebagai alat rekayasa sosial bukan hanya bertujuan untuk mempertahankan status quo, tetapi juga untuk mendorong transformasi sosial yang diinginkan.

Misalnya, Hukum yang mengatur tentang perlindungan lingkungan diterapkan untuk mengubah perilaku masyarakat dalam penggunaan sumber daya alam dan memperbaiki praktik-praktik yang merusak lingkungan. Undang-undang yang mendukung hak-hak perempuan, seperti hak untuk bekerja dan memperoleh pendidikan, bertujuan untuk mengubah norma gender tradisional dan meningkatkan kesetaraan gender dalam masyarakat.

Sebagai alat rekayasa sosial, hukum sering kali memerlukan dukungan dari berbagai pihak untuk dapat berhasil. Ini termasuk adanya dukungan dari pemerintah, lembaga penegak hukum, serta partisipasi aktif dari masyarakat dalam mematuhi dan mendukung tujuan hukum tersebut. Tanpa dukungan yang luas, hukum sebagai alat rekayasa sosial mungkin tidak efektif atau bahkan bisa menimbulkan resistensi dari masyarakat.

3. Hukum sebagai Sarana Pengintegrasian

Hukum sebagai sarana pengintegrasian berfungsi untuk menyatukan berbagai elemen dalam masyarakat, menciptakan kohesi sosial, dan memperkuat rasa kebersamaan di antara anggota masyarakat. Dalam masyarakat yang beragam dan kompleks, hukum bertindak sebagai alat untuk mengintegrasikan berbagai kelompok sosial, budaya, etnis, dan agama menjadi satu kesatuan yang lebih harmonis. Hukum menetapkan norma-norma umum yang harus diikuti oleh semua anggota masyarakat, terlepas dari latar belakang mereka, sehingga menciptakan rasa keadilan dan kesetaraan.

Sebagai contoh, konstitusi suatu negara berfungsi sebagai kerangka hukum tertinggi yang menyatukan seluruh warga negara di bawah prinsip-prinsip dasar seperti kebebasan, persamaan, dan keadilan. Hukum hak asasi manusia yang menjamin hak-hak dasar bagi semua individu tanpa diskriminasi berfungsi untuk memperkuat ikatan sosial dan mendorong inklusi sosial. Dengan cara ini, hukum membantu mengurangi perbedaan dan potensi konflik antar kelompok, serta mendorong solidaritas dan integrasi sosial.

Selain itu, hukum juga berperan dalam mengatasi konflik dengan menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa yang adil dan damai. Pengadilan dan lembaga arbitrase, misalnya, menawarkan platform untuk menyelesaikan perselisihan antar kelompok atau individu, sehingga mencegah konflik yang berkepanjangan dan berpotensi merusak kohesi sosial. Dengan demikian, hukum sebagai sarana pengintegrasian tidak hanya berfungsi untuk menyatukan masyarakat, tetapi juga untuk memelihara perdamaian dan harmoni sosial.

Hukum memainkan peran yang beragam dalam proses perubahan sosial. Sebagai sarana kontrol sosial, hukum membantu mempertahankan ketertiban dan stabilitas dengan mengendalikan perilaku masyarakat. Sebagai alat rekayasa sosial, hukum digunakan untuk mendorong transformasi sosial yang diinginkan, mengubah norma dan perilaku sesuai dengan tujuan-tujuan sosial tertentu. Sebagai sarana pengintegrasian, hukum menyatukan masyarakat yang beragam, memperkuat kohesi sosial, dan mendorong rasa kebersamaan.

Dengan memahami fungsi-fungsi ini, kita dapat melihat bagaimana hukum bukan hanya sekedar kumpulan aturan, tetapi juga alat yang dinamis dan strategis untuk mengarahkan perubahan sosial, menjaga ketertiban, dan memperkuat solidaritas dalam masyarakat. Hukum yang efektif adalah hukum yang mampu menyeimbangkan ketiga fungsi ini, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan dinamika sosial yang terus berubah dan berkontribusi secara positif terhadap perkembangan masyarakat.



Ketaatan hukum adalah perilaku mematuhi aturan dan peraturan yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang. Dalam masyarakat yang tertib, ketaatan terhadap hukum sangat penting untuk menjaga ketertiban, keamanan, dan keadilan. Namun, ketaatan hukum tidak selalu berarti hal yang sama bagi setiap orang, karena alasan di balik kepatuhan seseorang terhadap hukum bisa sangat beragam. Para ahli sosiologi dan hukum membedakan ketaatan hukum ke dalam tiga kategori utama: compliance (kepatuhan), internalization (internalisasi), dan identification (identifikasi). Setiap kategori ini menunjukkan tingkat kedalaman dan kesadaran yang berbeda dalam mematuhi hukum.

1. Compliance (Kepatuhan)

Compliance atau kepatuhan adalah bentuk ketaatan hukum yang paling dasar dan sering kali bersifat eksternal. Dalam konteks ini, seseorang mematuhi hukum bukan karena ia setuju dengan norma atau nilai yang diwakili oleh hukum tersebut, tetapi lebih karena adanya tekanan eksternal, seperti ketakutan akan hukuman atau sanksi. Misalnya, seseorang mungkin patuh terhadap hukum lalu lintas karena takut ditilang oleh polisi, bukan karena mereka sepenuhnya menghargai pentingnya keselamatan di jalan raya.

Kepatuhan ini sering terjadi ketika hukum baru diberlakukan, dan masyarakat belum sepenuhnya memahami atau menerima hukum tersebut sebagai bagian dari sistem nilai mereka. Dalam situasi ini, masyarakat mungkin patuh semata-mata karena tidak ingin menghadapi konsekuensi negatif, seperti denda, penjara, atau sanksi sosial. Bentuk ketaatan ini bersifat sementara dan cenderung goyah, karena jika ancaman hukuman atau pengawasan berkurang, tingkat kepatuhan juga bisa menurun. Oleh karena itu, kepatuhan tidak selalu menunjukkan bahwa seseorang benar-benar setuju atau mendukung hukum tersebut.


2. Internalization (Internalisasi)

Internalization atau internalisasi adalah bentuk ketaatan hukum yang lebih mendalam daripada compliance. Dalam konteks internalisasi, seseorang mematuhi hukum karena mereka telah menyerap nilai-nilai dan norma-norma yang diwakili oleh hukum tersebut ke dalam sistem keyakinan pribadi mereka. Hukum tidak lagi dilihat sebagai aturan eksternal yang harus diikuti, tetapi sebagai bagian integral dari moralitas atau etika individu. Orang yang menginternalisasi hukum mematuhinya karena mereka percaya bahwa hukum tersebut benar, adil, dan penting untuk kebaikan bersama.

Misalnya, seseorang yang telah menginternalisasi pentingnya kejujuran tidak akan mencuri atau berbohong, bukan hanya karena takut akan hukuman, tetapi karena mereka percaya bahwa mencuri atau berbohong adalah perbuatan yang salah. Internalisasi menunjukkan tingkat ketaatan yang lebih tinggi, karena individu tersebut telah memahami dan menerima hukum sebagai bagian dari nilai-nilai pribadinya. Dalam situasi ini, bahkan jika tidak ada ancaman hukuman, individu tersebut akan tetap mematuhi hukum karena keyakinan moral atau etika yang kuat.

3. Identification (Identifikasi)

Identification atau identifikasi adalah bentuk ketaatan hukum yang berada di antara compliance dan internalization. Dalam konteks ini, seseorang mematuhi hukum karena mereka mengidentifikasi diri mereka dengan kelompok atau otoritas yang menetapkan hukum tersebut. Ketaatan ini muncul karena adanya rasa keterikatan atau kesetiaan terhadap kelompok atau institusi tertentu. Misalnya, seorang warga negara yang bangga akan identitas nasionalnya mungkin mematuhi hukum karena mereka ingin dianggap sebagai warga negara yang baik dan setia kepada negaranya.

Identifikasi bisa juga terjadi dalam konteks keagamaan, di mana seseorang mematuhi aturan atau hukum agama karena mereka mengidentifikasi diri dengan komunitas keagamaan tersebut dan ingin diakui sebagai anggota yang baik. Dalam hal ini, ketaatan terhadap hukum tidak sepenuhnya didasarkan pada ketakutan akan hukuman atau internalisasi nilai-nilai, tetapi lebih pada kebutuhan sosial untuk diterima dan diakui oleh kelompok atau otoritas yang mereka identifikasi.

Ketaatan melalui identifikasi juga bisa stabil dan tahan lama, terutama jika individu merasa ada manfaat emosional atau sosial dari keterikatan tersebut. Namun, bentuk ketaatan ini bisa berubah jika individu kehilangan rasa keterikatan atau kesetiaan mereka terhadap kelompok atau otoritas yang mengeluarkan hukum tersebut.

Ketaatan hukum dapat dilihat melalui berbagai perspektif yang menunjukkan tingkat kedalaman yang berbeda dalam pemahaman dan penerimaan individu terhadap hukum. Compliance menunjukkan ketaatan yang lebih dangkal, sering kali didorong oleh ketakutan akan hukuman. Internalization mencerminkan ketaatan yang lebih mendalam, di mana hukum dan nilai-nilai yang diwakilinya telah menjadi bagian dari keyakinan pribadi seseorang. Sementara itu, identification berada di antara kedua ekstrem ini, di mana ketaatan didorong oleh rasa keterikatan atau kesetiaan terhadap kelompok atau otoritas tertentu.

Memahami perbedaan dalam bentuk ketaatan hukum ini penting bagi pembuat kebijakan, penegak hukum, dan pendidik, karena dapat membantu mereka merancang strategi yang lebih efektif untuk meningkatkan ketaatan hukum di masyarakat. Dengan memahami motivasi di balik ketaatan seseorang, strategi yang lebih tepat dapat dikembangkan untuk mempromosikan kepatuhan hukum yang lebih berkelanjutan dan bermakna.


 Menurut Jeremy Bentham, seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka abad ke-18, tujuan utama dari hukum adalah untuk mencapai kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang yang terbesar. Pandangan ini didasarkan pada prinsip utilitarianisme, yang menganggap bahwa tindakan atau kebijakan harus dinilai berdasarkan seberapa besar mereka meningkatkan kebahagiaan atau mengurangi penderitaan di masyarakat. Bentham percaya bahwa hukum seharusnya dirancang dan diterapkan dengan tujuan akhir memaksimalkan kesejahteraan dan kebahagiaan sosial.

Jeremy Bentham mengembangkan konsep utilitarianisme dengan keyakinan bahwa setiap tindakan yang dilakukan manusia, termasuk pembentukan dan penerapan hukum, harus diukur dari seberapa besar manfaat yang dihasilkan bagi masyarakat. Menurut Bentham, kebahagiaan dapat diukur berdasarkan pengalaman kesenangan (pleasure) dan ketiadaan penderitaan (pain). Dalam konteks hukum, ini berarti bahwa peraturan dan kebijakan harus dirancang sedemikian rupa sehingga meminimalkan penderitaan dan memaksimalkan kebahagiaan untuk sebanyak mungkin orang.

Bentham menyatakan bahwa hukum harus berfungsi untuk melindungi hak-hak dasar individu, seperti hak atas kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan, serta mendorong perilaku yang meningkatkan kesejahteraan umum. Jika hukum melindungi kepentingan individu secara adil dan merata, maka hukum tersebut akan berkontribusi pada kebahagiaan masyarakat secara keseluruhan. Hukum yang baik, menurut Bentham, adalah hukum yang mengarah pada hasil yang paling positif bagi masyarakat, yaitu meningkatnya kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.

Untuk mencapai tujuan ini, Bentham menyarankan bahwa hukum harus berdasarkan penilaian rasional tentang konsekuensi dari berbagai tindakan. Misalnya, jika suatu tindakan tertentu cenderung menghasilkan lebih banyak kebahagiaan daripada penderitaan, maka tindakan itu harus diizinkan atau didorong oleh hukum. Sebaliknya, jika suatu tindakan menghasilkan lebih banyak penderitaan daripada kebahagiaan, maka tindakan itu harus dilarang atau dihukum. Dengan cara ini, hukum menjadi instrumen yang digunakan untuk mengatur perilaku individu dan masyarakat dengan cara yang memaksimalkan kebahagiaan kolektif.

Bentham juga memperkenalkan konsep "hedonic calculus" atau kalkulus hedonik sebagai metode untuk mengukur kebahagiaan. Melalui kalkulus ini, kebahagiaan diukur berdasarkan beberapa faktor, seperti intensitas, durasi, kepastian, jarak waktu, hasil yang diharapkan, tingkat kemurnian, dan jumlah orang yang terpengaruh. Dengan menggunakan kalkulus ini, pembuat undang-undang dapat mengevaluasi dampak dari berbagai kebijakan dan peraturan, dan memilih opsi yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi masyarakat.

Meskipun pandangan Bentham tentang tujuan hukum berfokus pada kebahagiaan masyarakat, pandangan ini tidak luput dari kritik. Beberapa kritik utama adalah bahwa pendekatan utilitarian sering kali mengabaikan hak-hak individu atau kelompok minoritas. Misalnya, dalam upaya untuk mencapai "kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbesar," ada risiko bahwa kepentingan minoritas dapat diabaikan atau dilanggar jika itu dianggap menguntungkan mayoritas. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan hak asasi manusia, yang terkadang tidak sejalan dengan prinsip utilitarian.

Selain itu, konsep kebahagiaan itu sendiri sangat subjektif dan dapat bervariasi dari satu individu ke individu lain. Apa yang dianggap sebagai kebahagiaan oleh satu kelompok masyarakat mungkin tidak sama dengan kelompok lain. Oleh karena itu, ada tantangan dalam menerapkan prinsip utilitarianisme Bentham dalam konteks hukum yang beragam dan kompleks, di mana kepentingan dan kebutuhan individu dapat sangat berbeda.

Meskipun ada kritik, prinsip utilitarianisme Bentham tetap relevan dalam pembentukan kebijakan publik dan hukum modern. Banyak sistem hukum kontemporer masih menggunakan pendekatan yang mirip dengan utilitarianisme dalam pembuatan undang-undang dan kebijakan publik. Misalnya, ketika pemerintah mempertimbangkan kebijakan baru, sering kali dilakukan analisis cost-benefit untuk menilai dampak potensial terhadap kesejahteraan masyarakat. Dengan cara ini, hukum dan kebijakan yang diusulkan dievaluasi berdasarkan seberapa besar mereka akan meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat secara keseluruhan.

Pendekatan Bentham ini juga relevan dalam konteks global, seperti dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat, pendidikan, lingkungan, dan hak asasi manusia. Prinsip utilitarian yang berfokus pada hasil dan kesejahteraan kolektif dapat membantu pembuat kebijakan mengembangkan solusi yang lebih adil dan efektif untuk tantangan global yang kompleks.

Jeremy Bentham melihat hukum sebagai alat untuk mencapai kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbesar. Dalam pandangannya, hukum harus dirancang untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial dan meminimalkan penderitaan, dengan menggunakan pendekatan yang rasional dan berbasis bukti. Meskipun ada tantangan dan kritik terhadap prinsip utilitarianisme ini, pandangan Bentham tetap berpengaruh dalam pembentukan hukum dan kebijakan modern, mendorong diskusi terus-menerus tentang bagaimana mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat secara keseluruhan.



Related Posts Display

Diberdayakan oleh Blogger.

Featured post

Asas in Dubio Pro reo

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Pages

Pages