Asas in dubio pro reo merupakan prinsip penting dalam hukum pidana yang mengajarkan bahwa ketika hakim berada dalam keadaan ragu terhadap kesalahan terdakwa, maka keraguan tersebut harus diartikan untuk kepentingan terdakwa. Prinsip ini lahir dari pemikiran bahwa kebebasan seseorang lebih penting dijaga daripada risiko menghukum orang yang belum tentu bersalah. Dengan kata lain, asas ini menempatkan asas keadilan dan kepastian hukum secara seimbang. Di banyak negara, termasuk Indonesia, asas ini menjadi salah satu pilar perlindungan hak asasi manusia di bidang peradilan pidana. Hakim yang mengabaikan asas ini dapat berisiko melanggar hak konstitusional terdakwa. Oleh karena itu, asas in dubio pro reo menjadi benteng terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan kehakiman.
Secara filosofis, asas ini lahir dari pandangan moral bahwa menghukum orang yang tidak bersalah merupakan ketidakadilan yang lebih berat daripada membebaskan orang yang bersalah. Dalam praktiknya, asas ini menuntut hakim agar benar-benar teliti dalam menilai alat bukti dan keterangan saksi sebelum menjatuhkan putusan. Jika bukti yang ada tidak cukup kuat, maka putusan harus berpihak pada terdakwa, bukan sebaliknya. Prinsip ini bukan hanya sebuah aturan teknis, melainkan juga cermin integritas hakim dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, asas in dubio pro reo menegaskan bahwa pengadilan harus menjadi arena pencarian kebenaran yang berkeadilan, bukan sekadar menghukum. Pandangan ini juga mengingatkan hakim agar tidak tergesa-gesa dalam menjatuhkan vonis.
Dalam konteks hukum positif Indonesia, asas in dubio pro reo tidak tertulis secara eksplisit dalam KUHP, tetapi melekat dalam prinsip-prinsip peradilan yang adil (fair trial). Putusan Mahkamah Agung beberapa kali mengutip asas ini sebagai pedoman dalam memutus perkara pidana. Oleh sebab itu, asas ini bersifat universal, melintasi batas sistem hukum dan budaya. Di tingkat pengadilan, penerapan asas ini tercermin dalam putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum ketika bukti tidak cukup kuat. Dengan begitu, asas ini tidak hanya menjadi teori, tetapi juga panduan praktis bagi hakim. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan substansial lebih diutamakan daripada sekadar keadilan formal.
Jika dikaitkan dengan hukum Islam, prinsip serupa sebenarnya telah dikenal dalam kaidah fikih. Salah satu kaidah yang paling relevan adalah “al-yaqin la yazulu bisy-syak” yang berarti keyakinan tidak hilang karena keraguan. Dalam konteks peradilan pidana Islam, kaidah ini mengharuskan hakim untuk hanya menghukum apabila terdapat bukti yang jelas dan meyakinkan. Nabi Muhammad SAW sendiri dalam beberapa hadis menekankan agar hakim menghindari menjatuhkan hukuman hudud apabila terdapat unsur keraguan. Hal ini menunjukkan bahwa Islam mendahulukan perlindungan hak asasi manusia daripada menghukum seseorang dengan bukti yang belum pasti. Prinsip ini secara substansial sejalan dengan in dubio pro reo.
Dalam sistem peradilan Islam, para fuqaha menekankan kehati-hatian hakim dalam memutus perkara pidana, terutama yang menyangkut hukuman berat seperti hudud atau qishash. Imam al-Syafi’i, misalnya, menyatakan bahwa jika ada dua kemungkinan dalam suatu perkara pidana—satu memberatkan dan satu meringankan—maka hakim wajib mengambil yang meringankan. Pendekatan ini menunjukkan bahwa hukum Islam mengutamakan aspek pencegahan ketidakadilan daripada penerapan hukuman yang berpotensi keliru. Prinsip ini juga menjaga integritas lembaga peradilan dan mengurangi risiko kriminalisasi orang yang tidak bersalah. Dengan kata lain, asas kehati-hatian dalam hukum Islam adalah bentuk nyata dari perlindungan terhadap terdakwa. Praktik ini mencerminkan keselarasan antara prinsip in dubio pro reo dengan nilai-nilai syariah.
Dengan demikian, baik dalam sistem hukum positif maupun hukum Islam, asas in dubio pro reo berfungsi sebagai pagar etis dan normatif bagi hakim. Prinsip ini memastikan bahwa tujuan hukum untuk mencapai keadilan substantif dapat tercapai dengan tetap melindungi hak terdakwa. Dalam konteks Indonesia, penerapan asas ini menjadi penting karena negara mengakui nilai-nilai hukum Islam yang hidup di masyarakat. Harmonisasi kedua sistem ini dapat memperkuat legitimasi putusan pengadilan, khususnya di daerah yang menerapkan hukum Islam seperti Aceh. Selain itu, penerapan asas ini juga mendorong terciptanya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Dengan asas ini, masyarakat dapat melihat bahwa pengadilan bukan hanya lembaga penghukum, tetapi juga penjaga keadilan dan perlindungan bagi manusia.