Buku
yang berjudul Restotatif Justice Pergeseran Orientasi Keadilan dalam Penanganan
Kasus Anak ingin melihat terhadap praktek restoratif justice dan diversi dalam
menangani kasus anak yang berkonflik dengan hukum di Aceh. Meskipun istilahnya
baru namun substansi dari kedua konsep tersebut telah dilaksanakan di Aceh
melalui peradilan adat. Istilah restoratif justice dan diversi baru
diperkenalkan dalam Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak
dan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Masyarakat
aceh sering menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dalam kehidupannya dengan
melibatkan berbagai pihak yang terlibat, dalam hal ini adalah pihak pelaku dan
korban. Keduanya dipertemukan untuk mencarikan solusi yang tepat untuk
mengakhiri persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Begitu juga konsep
restoratif justice yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 di mana para pihak
baik pelaku maupun korban dan pihak-pihak lainnya ikut dilibatkan.
Selanjutnya
konsep diversi adalah pengalihan dari proses peradilan formal kepada non
formal. Hal yang sama juga diberlakukan dalam konteks penyelesaian kasus pada
masyarakat Aceh yang selalu ingin menghindari dari proses peradilan formal.
Bahkan ada Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat
Istiadat yang memberikan peluang kepada aparatur gampong atau tokoh adat untuk
menyelesaikannya.
Hal
yang membedakan dalam UU SPPA adalah hanya diberlakukan kepada anak-anak yang
diduga melakukan tindak pidana. Sementara penyelesaian kasus dalam masyarakat
Aceh, jika masih digolongkan tindak pidana ringan dapat dimungkinkan
diselesaikan di luar pengadilan. Baik dilakukan oleh orang dewasa maupun
anak-anak.
Delapan
belas kasus tersebut adalah, perselisihan dalam rumah tangga; sengketa antara
keluarga yang berkaitan dengan faraidh; perselisihan antar warga; khalwat
meusum; perselisihan tentang hak milik; pencurian dalam keluarga (pencurian
ringan); perselisihan harta sehareukat; pencurian ringan; pencurian ternak
peliharaan; pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
persengketaan di laut persengketaan di pasar; penganiayaan ringan; pembakaran
hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat); pelecehan, fitnah,
hasut, dan pencemaran nama baik; pencemaran lingkungan (skala ringan); ancam
mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan perselisihan-perselisihan lain
yang melanggar adat dan adat istiadat.
Keadilan
yang diinginkan dalam restoratif justice adalah keadilan pemulihan bukan
pembalasan. Anak yang diduga melakukan tindak pidana tidak langsung diberikan
penghukuman, akan tetapi perlu adanya pembinaan. Kalau dalam system peradilan
pidana lebih mengedepankan keadilan formal procedural, maka dalam keadilan
restoratif korban tetap diberikan kesempatan untuk bertemu serta
bertanggungjawab kepada korban yang mengalami kerugian akibat dari perbuatan
pelaku.
Secara
keseluruhan buku RESTORATIF JUSTICE Pergeseran Orientasi Keadilan dalam
Penanganan Kasus Anak menguraikan tentang pola penanganan kasus anak yang
berkonflik dengan hokum yang dilakukan berdasarkan UU SPPA serta memadukannya
dengan pola penyelesaian kasus yang diselesaikan oleh Masyarakat Aceh. Semoga
kehadiran buku ini dapat berguna bagi khalayak ramai yang ingi mengkaji tentang
penyelesaian kasus melalui peradilan adat aceh, khususnya tentang anak. Dalam
buku ini juga menjelesakan hubungan antara restoratif justice dan diversi dalam
penanganan kasus dalam kehidupan masyarakat aceh.
Buku
tersebut diterbitkan oleh Zhahir Publishing Yogyakarta, Februari 2018.
0 comments:
Posting Komentar